Hak Atas Lingkungan Hidup adalah Hak Asasi Rakyat
Memaknai permasalahan lingkungan hidup bukanlah hanya permasalahan sekedar pembuangan limbah dan pencemaran, kebakaran hutan, atau terus bertambahnya daftar spesies-spesies langka yang musnah. Di dalam lingkungan hidup terdapat materi kehidupan tentang hak-hak dasar (basic rights) manusia serta prinsip keadilan lingkungan (environmental justice) serta akses yang setara terhadap sumber-sumber kehidupan. Konflik ekologi yang telah menyebabkan krisis dan ketimpangan global yang ada tidak saja mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup akan tetapi telah mengikutsertakan penghilangan hak-hak dasar dan pelanggaran hak asasi manusia. Umat manusia dalam kehidupan adalah salah satu pelaku yang bertanggung jawab akan "kelangsungan" hidup ekosistem bumi yang ditempatinya. Dengan segala aktifitasnya untuk mencukupi kebutuhan hidup manusia, telah mempengaruhi lingkungan global. Perubahan cara manusia memanfaatkan lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupan, seperti pertanian, perkebunan besar, industri pertambangan serta pemanfaatan hutan yang berlebihan dan disamping itu kemampuan dalam penemuan teknologi, pada akhirnya mampu menciptakan revolusi industri yang dimotori oleh bangsa-bangsa dari bumi di belahan utara. Namun kemudian revolusi industri telah mengakibatkan dimulainya penghilangan keseimbangan hidup yang telah mengarah pada pemusnahan sumber-sumber kehidupan (ecosida) serta ancaman terhadap keamanan hidup manusia (human security). Bila Klaus Toepfer (Direktur Eksekutif UNEP) menyatakan hak dasar untuk hidup terancam oleh degradasi dan deforestasi, paparan bahan kimia beracun, limbah berbahaya dan pencemaran air minum, sesungguhnya ia luput untuk menyoal perampasan sumber-sumber kehidupan rakyat (agraria dan sumberdaya alam) sebagai ancaman terbesar yang dihadapi rakyat menyangkut hak dasar untuk hidup.
Walaupun belum ada Deklarasi atau Konvenan khusus tentang Hak Lingkungan Hidup sebagai Hak Asasi Rakyat, sesungguhnya berbagai dimensi yang menyangkut hak-hak dasar atas sumber-sumber kehidupan dan lingkungan hidup telah tercakup dalam Konvenan Hak-Hak Ekonomi-Sosial-Budaya (EKOSOB), Deklarasi Hak atas Pembangunan (belum diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia), Agenda 21, Piagam tentang Hak-hak dan Kewajiban- kewajiban Ekonomi Negara. Juga di berbagai kesepakatan regional seperti piagam Afrika tentang Hak-hak Asasi Manusia dan Hak-hak Rakyat. Namun demikian dalam prakteknya hak- hak rakyat atas lingkungan hidup sering diabaikan dan dilanggar secara sistematis. Kasus kekerasan terhadap rakyat dan lingkungan hidup di Bulukumba, Manggarai, Halmahera, Timika, Porsea, dan beberapa tempat lainnya terjadi lebih karena kuatnya kepentingan modal atas penduduk lokal. Begitupun kekerasan dan kasus-kasus yang terjadi di wilayah-wilayah konservasi lebih disebabkan karena perlindungan konsesi-konsesi dari kepentingan tertentu yang lebih besar daripada hak-hak masyarakat lokal. Peran Negara sebagai instrumen 'proteksi-prevensi-promosi" pada HAM tidak berjalan karena ambivalensi antara berpegang teguh pada konvensi PBB atau pada konvensi WTO dengan ideologi pasar bebasnya. Berbagai regulasi yang dijalankan oleh sistem WTO bahkan mengurangi hak-hak buruh, merampas hak-hak petani, mengurangi regulasi-regulasi negara bagi perlindungan lingkungan, liberalisasi sektor pertanahan, termasuk memotong subsidi untuk pemenuhan hak-hak dasar. Air, hutan, pangan, kesehatan, layanan sosial yang bersifat publik yang dulu merupakan HAM, kini semata-mata diperlakukan sebagai komoditi. Dengan itu maka globalisasi membawa implikasi pelanggaran HAM yang lebih struktural.
Pertanyaan : Berikan argumentasi saudara ttg. tulisan diatas, dgn mengkaitkan pd teori HAM serta hubungannya dgn negara & hukum !!