Arief suryantoro LINGKUNGAN TROPIS (VOL.4 NO.1, MARET 2010) PENGARUH MONSUN ASIA TIMUR DAN TENGGARA TERHADAP VARIABILITAS TEMPORAL CURAH HUJAN, DENPASAR DAN MAKASAR Arief suryantoro LINGKUNGAN TROPIS (VOL.4 NO.1, MARET 2010)
Abstrak : Benua Maritim Indonesia (BMI) yang terdiri dari ribuan pulau besar dan kecil, dipisahkan oleh banyak laut dan selat, terletak di daerah tropis yang menerima radiasi matahari paling banyak, terletak diantara dua benua yang besar (Asia dan Australia) dan juga dua lautan yang besar (samudera Hindia dan Pasifik) menyebabkan wilayah BMI ini rentan terhadap variabilitas dan perubahan iklim. Beragam variabilitas curah hujan dan faktor utama yang mempengaruhi terjadinya variabilitas curah hujan tersebut. Curah hujan daerah Denpasar, Mataram dan Makassar memiliki variabilitas yang beragam, mulai dari musiman, tahunan dan antar tahunan. Faktor utama penyebab variabilitas curah hujan musiman adalah fenomena pergeseran pita konvergensi intertropis (ITCZ: InterTropical Convergence Zone). Selanjutnya, faktor-faktor utama penyebab variabilitas curah hujan tahunan adalah fenomena monsun Asia Timur dan monsun Asia Tenggara; dan faktor utama penyebab variabilitas antar tahunan curah hujan di daerah yang dipilih dalam penelitian ini dipengaruhi oleh fenomena TBO dan ENSO.
Pendahuluan : Daerah monsun Asia pada umumnya, dan wilayah monsun Indonesia pada khususnya diketahui memiliki curah hujan yang melimpah namun juga memiliki variasi spasial dan temporal (utamanya musiman) yang tinggi pula. Benua Maritim Indonesia (BMI) yang terdiri dari ribuan pulau besar dan kecil, dipisahkan oleh banyak laut dan selat, terletak di daerah tropis yang menerima radiasi matahari paling banyak, terletak diantara dua benua yang besar (Asia dan Australia) dan dua lautan yang besar pula (samudera Hindia dan Pasifik), yang menyebabkan beragam varabilitas curah hujan dan perubahan iklim. Wilayah Bumi Maritim Indonesia yang membentang dari 6°LU-11°LS; 95°BT-141°BT bagian monsum Asia Timur dan Tenggara yang paling perkembangannya dikarenakan besarnya atau luasnya benua Asia dan adanya efek daratan tinggi Tibet terhadap aliran udara. Dataran tinggi Tibet yang membujur dalam arah barat-timur merupakan penghalang atau pemisah antara massa udara kutub dan massa udara tropis.
Selanjutnya, Murakami and Ding 1982; Johnson et al Selanjutnya, Murakami and Ding 1982; Johnson et al. 1987; Luo and Yanai, 1983, 1984; He et al., 1987; Chang et al., 1991 dalam Wu and Zhang, 1998 mengungkapkan bahwa awal kemunculan (onset) monsun Asia Timur dan Asia Selatan adalah konsekwensi dari respon atmosfer terhadap perubahan termal yang kontras antara benua dan lautan dalam skala musiman. Pemanasan yang tinggi didaerah tinggi Tibet adalah hal yang fundamental didalam pembentukan dan pengendalian sirkulasi monsun musim panas BBU (Belahan Bumi Utara) yang bersesuaian dengan perioda bulan JJA (Juni, Juli, Agustus). Dari hal diatas, terlihat bahwa pemahaman yang lebih rinci terhadap perilaku monsun dan pengaruhnya terhadap variabilitas spasial dan temporal curah hujan di wilayah BMI merupakan hal yang penting. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memahami karakteristik dan mekanisme curah hujan tropis pada umumnya, dan Indonesia pada khususnya dalam kerangka penentuan standar atmosfer Indonesia.
Metode penelitian: Analisis spektral terhadap deret waktu data curah hujan seperti yang dilakukan oleh Aldrian dan Susanto (2003) menunjukkan bahwa di keseluruhan wilayah BMI (daerah A, yaitu daerah di BMI dengan pola utama/dominan curah hujan bulanannya adalah monsunal; daerah B, yaitu daerah di BMI dengan pola utama/dominan curah hujan bulanannya adalah ekuatorial; maupun daerah C, yaitu daerah di BMI dengan pola utama/dominan curah hujan bulanannya adalah lokal/anti monsunal). Fenomena monsun musim dingin belahan bumi utara dan monsun musim panas belahan bumi utara, yang bersesuaian dengan perioda bulan DJF (Desember, Januari, Februari), dan perioda bulan JJA (Juni, Juli, Agustus) merupakan fenomena dominan yang mempengaruhi variabilitas curah hujan di wilayah BMI. Dari data terlihat bahwa pola angin di ketinggian 850 hPa (sekitar 1,5 km) dan di 1000 hPa (permukaan) untuk daerah-daerah Denpasar-Bali, Mataram-Nusa Tenggara Barat, dan Makassar- Sulawesi Selatan menunjukkan pola yang sedikit berbeda.
Hal ini mengindikasikan bahwa pengaruh monsun musim panas belahan bumi utara lebih berkuasa terhadap pola angin di ketinggian 850 hPa di wilayah Denpasar-Bali, Mataram-Nusa Tenggara Barat, dan Makassar-Sulawesi Selatan, namun sebaliknya pengaruh monsun musim dingin belahan bumi utara lebih berkuasa terhadap pola angin di 1000 hPa (di permukaan) untuk tiga wilayah tersebut. Mengacu dari hasil kajian Aldrian dan Susanto (2003), fenomena iklim global seperti El-Nino, La-Nina, yang memiliki perioda 3 sampai 7 tahunan; TBO (Tropospheric Biennial Oscillation) yang memiliki perioda 2 sampai 3 tahunan merupakan fenomena-fenomena yang sangat mempengaruhi variabilitas iklim di Indonesia pada umumnya, dan di Denpasar- Bali, Mataram-Nusa Tenggara Barat dan Makassar-Sulawesi Selatan. Fenomena osilasi tahunan yang memiliki perioda sekitar 1 tahunan, dan daerah pertemuan angin antar tropis, peristiwa osilasi setengah tahunan yang memiliki perioda 1 musiman (setengah tahunan) merupakan fenomena-fenomena yang sangat mempengaruhi variabilitas iklim di Indonesia.
Hasil dan pembahasan: Pola bulanan (dalam deret waktu) dan pola rata-rata bulanan curah hujan Denpasar-Bali, (08,75°LS, 115,17°BT) mencirikan pola monsunal, Mataram- Nusa Tenggara Barat, (08,53°LS, 116,67°BT), Makassar-Sulawesi Selatan, (05,07°LS, 119,55°BT). Pola bulanan suhu muka laut Samudera India Tropis (5°LU-5°LS, 60°BT-120°BT) dan Samudera Pasifik Barat Tropis (5°LU-5°LS, 120°BT-160°BT) perioda pengamatan 1951-2000. Dari gambar 5 sampai 10 di atas terlihat bahwa pola bulanan curah hujan di ketiga daerah yang ditinjau dalam penelitian ini (Denpasar, Mataram dan Makassar) selama rentang waktu 50 tahun (1951-2000) menunjukkan adanya kecenderungan naik, meskipun dengan kecuraman yang cukup landai. Intensitas curah hujan bulanan di Denpasar-Bali (08,75°LS; 115,17°BT) pada bulan Januari adalah 384 mm, sedang di Mataram-Nusa Tenggara Barat (08,53°LS; 116,67°BT) adalah 287 mm, dan di Makassar-Sulawesi Selatan (05,07°LS; 119,55°BT) sebesar 652,18 mm.
Adanya perbedaan antara nilai intensitas curah hujan rata- rata bulanan maksimum maupun minimum antara daerah Denpasar dan Mataram diduga karena adanya faktor lokal seperti angin darat dan angin laut, serta angin gunung dan angin lembah yang terakumulasi sampai skala waktu musiman ataupun bahkan sampai tahunan. Dari data koefisien korelasi suhu dapat diungkapkan bahwa terdapat korelasi suhu yang baik antara perilaku suhu muka laut bulanan di samudera India dan Pasifik barat Tropis dengan pola curah hujan bulanan di daerah Denpasar-Bali, Mataram-NTB dan Mataram-NTB selama perioda pengamatan 1951-2000. Hal ini ditunjukkan dengan adanya nilai koefisien korelasi (r) yang tinggi, r > 0,80 antara data-data suhu muka laut bulanan dan curah hujan bulanan di daerah-daerah tersebut. Adapun spektra periodisitas curah hujan di ketiga daerah yang ditinjau tersebut diperoleh dari pengolahan data deret waktu curah hujan bulanan di daerah-daerah tersebut sehingga diperoleh perioda bawah = 2 bulan dan perioda atas = 80 bulan.
Rentang perioda data ini sudah menggambarkan adanya variabilitas temporal curah hujan musiman atau setengah tahunan, tahunan dan antar tahunan (TBO dan ENSO), di daerah Denpasar - Bali, Mataram - NTB, dan Makassar - Sulawesi Selatan. Adanya variabilitas temporal curah hujan musiman (SAO), tahunan (AO) dan antar tahunan TBO dan ENSO menunjukkan bahwa wilayah Denpasar-Bali, Mataram-NTB, dan Makassar-Sulsel memiliki variabilitas temporal curah hujan yang beragam, dari musiman/setengah tahunan, tahunan, sampai antar tahunan. Faktor utama penyebab variabilitas curah hujan musiman adalah fenomena pergeseran pita konvergensi intertropis. Selanjutnya, variabilitas tahunan curah hujan di wilayah yang ditinjau ini memiliki perioda sekitar 11-12 bulan. Faktor utama penyebab variabilitas curah hujan tahunan adalah fenomena monsun Asia dan monsoon Australia.
Faktor utama penyebab variabilitas curah hujan antar tahunan (2 sampai 3 tahun) adalah fenomena osilasi dua tahunan troposfer (TBO). Di ketiga daerah yang ditinjau dalam penelitian ini (Denpasar, Mataram dan Makassar) variabilitas temporal curah hujan tahunan yang muncul dengan perioda 12 bulan, yang diduga sebagai akibat / pengaruh dari fenomena monsun musim dingin belahan bumi utara dan monsun musim panas belahan bumi utara merupakan fenomena paling dominan selama rentang pengamatan 1951-2000 ini. Adapun variabilitas temporal curah hujan antar tahunan (2 sampai 3 tahun) di wilayah Denpasar-Bali ini muncul sebanyak 6 kali dengan perioda antara 21-31 bulan. Dan variabilitas yang sama, dalam rentang waktu dan daerah pengamatan yang sama, namun untuk perioda yang lebih besar (3-7 tahun, atau 36-84 bulan), yang dikenal pula sebagai akibat fenomena global ENSO ini muncul sebanyak 5 kali dengan perioda antara 36-60 bulan.
Untuk wilayah Mataram-Nusa Tenggara Barat, TBO muncul sebanyak 5 kali dengan perioda 22-32 bulan . Sedangkan variabilitas temporal curah hujan antar tahunan ENSO di daerah ini juga muncul sebanyak 5 kali dalam rentang 1951-2000 dengan perioda antara 37-60 bulan. Untuk wilayah Makassar-Sulawesi Selatan, variabilitas temporal curah hujan antar tahunan (2 sampai 3 tahun) ini hanya muncul sebanyak 4 kali dengan perioda antara 24-31 bulan.
Kesimpulan: Curah hujan daerah Denpasar-Bali, Mataram-Nusa Tenggara barat, dan Makassar-Sulawesi Selatan memiliki variabilitas yang beragam, mulai dari musiman, tahunan, dan antar tahunan. Variabilitas curah hujan musiman (setengah tahunan) ini disebabkan oleh fenomena pergeseran pita konvergensi intertropis Selanjutnya, variabilitas tahunan curah hujan disebabkan oleh fenomena monsun musim dingin belahan bumi utara dan monsun musim panas belahan bumi utara. Variabilitas antar tahunan (2 sampai 3 tahun) curah hujan ini disebabkan oleh fenomena osilasi dua tahunan troposfer (TBO). Akhirnya, variabilitas antar tahunan (4 sampai 7 tahun) curah hujan yang terjadi di sebabkan oleh fenomena ENSO. Disisi lain, diperoleh pula nilai koefisien korelasi antara curah hujan Denpasar, Mataram dan Makassar dengan suhu muka laut di Samudera India dan Pasifik Barat Tropis yang tinggi dengan nilai r > - 0,85 dan r > 0,80 (antara curah hujan di Denpasar, Mataram dan Makassar dan SST di samudera Pasifik Barat Tropis).