PENYULUHAN DAN KOMUNIKASI PERTANIAN “Kedudukan Penyuluhan Dalam Pembangunan Pertanian”
Pengertian Penyuluhan Menurut Undang-undang tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Nomor 16 Tahun 2006, pengertian penyuluhan dijelaskan pada Bab I Pasal 1 (1): “Penyuluhan pertanian, perikanan, kehutanan yang selanjutnya disebut penyuluhan adalah proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi, pasar, teknologi, permodalan, dan sumberdaya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan dan kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup”.
Dalam perkembangannya penyuluhan telah diartikan dengan berbagai pemahaman, yaitu (Mardikanto, 2005), sebagai berikut: Penyuluhan sebagai penyebarluasan informasi/inovasi; Penyuluhan sebagai proses penerangan; Penyuluhan sebagai proses perubahan perilaku; Penyuluhan sebagai proses pendidikan; Penyuluhan sebagai proses rekayasa sosial; Penyuluhan sebagai proses pemasaran sosial; Penyuluhan sebagai proses perubahan sosial; Penyuluhan sebagai proses pemberdayaan masyarakat; Penyuluhan sebagai proses komunikasi pembangunan. Selain itu, penyuluhan juga berperan sebagai proses penguatan kapasitas (capacity building).
Tujuan Penyuluhan Menurut Mardikanto (2005), tujuan penyuluhan juga tidak sekedar penyampaian informasi, melainkan sampai dengan terjadinya perubahan perilaku penerimanya. Perubahan tersebut tidak dilakukan melalui pemaksaan, melainkan proses belajar mengajar.
Kedudukan Penyuluhan Menurut, Soekanto (1990) kedudukan diartikan sebagai tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial. Berbicara tentang kedudukan penyuluhan, maka Timmer dalam Mardikanto (2010), dengan tepat menyebutnya sebagai “perantara” atau jembatan penghubung, yaitu penghubung antara: 1) Teori dan praktek, terutama bagi kelompok sasaran (penerima manfaat) yang belum memahami “bahasa ilmu pengetahuan/teknologi”. 2) Pengalaman dan kebutuhan, yaitu antar dua kelompok yang setara seperti sesama praktisi, sesama tokoh masyarakat, dan lain-lain. 3) Penguasa dan masyarakat, terutama yang menyangkut pemecahan masalah dan atau kebijakan-kebijakan pembangunan.
4) Produsen dan pelanggan, terutama menyangkut produk-. produk 4) Produsen dan pelanggan, terutama menyangkut produk- produk (sarana produksi, mesin/peralatan, dan lain- lain). 5) Sumber informasi dan penggunanya, terutama terhadap masyarakat yang relatif masih tertutup atau kurang memiliki aksesibilitas terhadap informasi. 6) Antar sesama stakeholder agribisnis, dalam pengembangan jejaring dan kemitraan-kerja, terutama dalam pertukaran informasi. 7) Antara masyarakat (di dalam) dan “pihak luar”, kaitannya dengan kegiatan agribisnis dan atau pengembangan masyarakat dalam arti yang lebih luas. Berkaitan dengan pemahaman tersebut, Lionberger dalam Mardikanto (2010) dalam meletakkan penyuluhan sebagai “variabel antara” (interviening variable), dalam pembangunan (pertanian) yang bertujuan untuk memperbaiki kesejahteraan petani dan masyarakatnya.
Kedudukan Penyuluh Dalam Pembangunan Pertanian Sebagai perantara: perannya dilaksanakan oleh penyuluh pertanian. Terkait, “kedudukan penyuluh (pertanian)”, maka kedudukan tidak berada di atas atau lebih tinggi dibanding petaninya, melainkan dalam “posisi yang sejajar”. Kedudukan sebagai mitra-sejajar tersebut, tidak hanya terletak pada proses sharing selama berlangsungnya kegiatan penyuluhan, tetapi harus dimulai dari: sikap pribadi dalam berkomunikasi, tempat duduk, bahasa yang digunakan, sikap saling menghargai, saling menghormati, dan saling mempedulikan karena merasa saling membutuhkan dan memiliki kepentingan bersama.
Sedangkan pada Undang-undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Undang- Sedangkan pada Undang-undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Undang- undang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan, menyatakan bahwa penyuluhan dilakukan oleh Penyuluh Pertanian Pegawai Negeri Sipil (PNS), Penyuluh Pertanian Swadaya dan/atau Penyuluh Pertanian Swasta. Sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 61/Permentan/OT.140/11/2008 : Kedudukan Penyuluh Pertanian Swadaya dan Penyuluh Pertanian Swasta adalah sebagai mitra Penyuluh Pertanian PNS dalam melakukan kegiatan penyuluhan pertanian, baik sendiri-sendiri maupun kerjasama yang terintegrasi dalam programa penyuluh penyuluhan pertanian, sesuai dengan tingkat administrasi pemerintahan dimana kegiatan penyuluhan diselenggarakan. Keberadaan Penyuluh Pertanian Swadaya dan Penyuluh Pertanian Swasta bersifat mandiri dan independen untuk memenuhi kebutuhan pelaku utama dan pelaku usaha.
lanjutan … Di samping itu, terkait dengan peran penyuluhan sebagai proses pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan kapasitas individu, entitas dan jejaring (USAID, 1995), Mardikanto (1998) dalam Mardikanto (2010) mengemukakan beragam peran/tugas penyuluhan dalam satu kata yaitu edfikasi, yang merupakan akronim dari: Edukasi diseminasi informasi/inovasi Fasilitasi Konsultasi Supervisi Pemantauan Evaluasi
Peranan Penyuluhan Pembangunan Mosher (1966) dalam Mardikanto (2010), menyatakan bahwa kegiatan penyuluhan pertanian sangat diperlukan sebagai faktor pelancar pembangunan pertanian. Lebih dari itu, dengan mengutip pendapat Hadisapoetro (1970) dalam Mardikanto (2010) yang menyatakan bahwa pelaksana-utama pembangunan pertanian pada dasarnya adalah petani-kecil yang merupakan golongan ekonomi lemah. Mardikanto (1993) dalam Mardikanto (2010) justru menilai kegiatan penyuluhan sebagai faktor-kunci keberhasilan pembangunan pertanian, karena penyuluhan selalu hadir sebagai pemicu sekaligus pemacu pembangunan pertanian.
Fungsi Sistem Penyuluhan Terkait dengan hal ini, Undang Undang No. 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan pasal 4 merinci fungsi (peran) sistem penyuluhan sebagai berikut: a. memfasilitasi proses pembelajaran pelaku utama dan pelaku usaha; b. mengupayakan kemudahan akses pelaku utama dan pelaku usaha ke sumber informasi, teknologi dan sumber daya lainnya agar mereka dapat mengembangkan usahanya; c. meningkatkan kemampuan kepemimpinan, manajerial, dan kewirausahaan pelaku utama dan pelaku usaha; d. membantu pelaku utama dan pelaku usaha dalam menumbuhkembangkan organisasinya menjadi organisasi ekonomi yang berdaya saing tinggi, produktif, menerapkan tata kelola berusaha yang baik dan berkelanjutan; e. membantu menganalisis dan memecahkan masalah serta merespon peluang dan tantangan yang dihadapi pelaku utama dan pelaku usaha dalam mengelola usaha; f. menumbuhkan kesadaran pelaku utama dan pelaku usaha terhadap kelestarian fungsi lingkungan; dan g. melembagakan nilai-nilai budaya pembangunan pertanian, perikanan dan kehutanan yang maju dan moderm bagi pelaku utama secara berkelanjutan.
Terima Kasih Kelompok 4: Maria Natalia Pratiwi M. Ardian N.S. Mustikawati S. Rahajeng Putu Renita Ratna P