Dédé Oetomo, PhD
Badan Penelitian & Pengembangan Kesehatan Pusat Penelitian Humaniora, Kebijakan Kesehatan & Pemberdayaan Masyarakat Surabaya, 11 Februari 2011
Sekumpulan kepercayaan dasar yang memandu tindakan. Berkaitan dengan asas-asas utama, yang paling hulu. Konstruksi (rajutan) manusia. Mendefinisikan pandangan dunia peneliti- sebagai-penafsir-peromet (bricoleur). Kepercayaan itu tidak dapat ditetapkan berdasarkan kebenaran paling hulu.
Tidak semantap atau sepadu paradigma. Namun dapat berbagi berbagai unsur dengan paradigma (mis. sekumpulan asumsi metodologis atau suatu epistemologi tertentu).
Etika (aksiologi): Bagaimana saya sebagai orang bermoral di dunia? Epistemologi: Bagaimana saya mengetahui dunia? Apakah hubungan antara penyelidik dan pengetahuan? Menyiratkan posisi etika-moral antara dunia dan diri peneliti.
Ontologi: Mengajukan pertanyaan dasar tentang sifat realitas dan sifat manusia di dunia. Metodologi: Memusatkan perhatian pada cara terbaik memperoleh pengetahuan di dunia.
Positivisme Postpositivisme Konstruktivisme Kerangka aksi partisipatoris
Feminisme (berbagai bentuk) Teori rasial kritis Teori queer Kajian budaya (cultural studies)
[Ppt Sdr. Inung]
Lebih rendah hati dari positivisme. Masih berusaha mencapai obyektivitas. Mempertanyakan kebenaran yang tetap dan abadi. Mengakui keberagaman, tetapi mencari pola dalam ragam-ragam yang ada. Contoh: grounded theory.
Realitas tidak ada “di luar sana,” melainkan dikonstruksi oleh manusia dalam berinteraksi. Epistemologi transaksional. Dibangun di atas penciptaan makna oleh manusia dalam berinteraksi dengan hal-hal di luar dirinya. Tidak ada obyektivitas. Ontologi relativis. Pengetahuan tidak bebas nilai.
Metodologi hermeneutik, dialektis. Bertujuan menghasilkan pemahaman terekonstruksi atas dunia sosial. Ketepercayaan dan autentisitas alih-alih validitas (kesahihan) internal & eksternal (positivisme tradisional). Mengaitkan aksi dengan praksis Mendorong teks bersuara majemuk.
1. Penelitian positivistik kebanyakan telah gagal menangkap kompleksitas cara berpikir orang yang bergeser-geser, dan malah mendukung marjinalisasi lebih jauh kaum tertindas.
2. Kepercayaan dan nilai peneliti memainkan peran penting dalam konseptualisasi, implementasi, dan analisis dalam penelitian.
3. Pengetahuan dikonstruksi secara sosial dan fakta harus selalu ditelaah dalam konteks sejarah, politik, sosial dan ekonomi.
4. Penelitian senantiasa terlibat dalam relasi kuasa dan membawa konsekuensi politik dan sosial.
5. Relasi kuasa yang tak setara inheren dalam penelitian dan peneliti harus berusaha mengubah hubungan hierarkis tradisional antara “yang diteliti” dan peneliti.
6. Penindasan itu kompleks, dan memusatkan perhatian hanya pada ras, etnisitas, kelas sosial, gender, dan/atau orientasi seksual terlalu menyederhanakan posisi ganda dan kontradiksi yang secara simultan ditempati individu-individu.
7. Kekuasaan dan pengetahuan berkelindan melalui praktik diskursif (wacana).
8. Praktik penindasan sosial dan ekonomi harus secara tersurat ditantang melalui proses penelitian.
Berbagai teori dan praktik yang didasarkan pada kesetaraan politik, sosial dan ekonomi di antara perempuan dan laki-laki. Berasumsi bahwa tatanan sosial dan budaya telah didominasi oleh laki-laki dan menyisihkan perempuan. Pola perendahan dan marjinalisasi perempuan.
Berfokus pada penggalian dan pengungkapan pengalaman perempuan dalam sejarah dan masyarakat kontemporer. Berfokus pada rekonstruksi asumsi intelektual fundamental yang menentukan praktik sosial.
Liberal Radikal Lesbian Sosialis Ekologis
[Ppt Sdr. Inung] Epistemologi aktivis, moral & etis, dengan komitmen pada keadilan sosial & habitus revolusioner. Cara mengetahui dan berada dibentuk oleh posisi kita di dunia. Menekankan peliyanan dan keliyanan. Mengecam konservatisme hegemoni positivisme tentang apa yang bisa diteliti.
Queer: LGBT(I) Di luar pakem heteronormativitas (Butler: lingkaran luar, lingkaran dalam) Non- atau anti-biner. Cair. Hibrid.
Dikaitkan dengan Mazhab Frankfurt pada dekade- dekade awal abad ke-20 dan tulisan-tulisan the Birmingham Centre for Cultural Studies yang mulai pada Kedua kelompok ini memandang budaya sebagai kekuatan yang membentuk pengalaman manusia dalam kehidupannya, dan bukan pada peringkat generalisasi abstrak. Fokus mereka adalah mencermati fungsi budaya dalam kehidupan sehari-hari dan perannya dalam sistem hierarki dan dominasi sosial.
Kajian2 ini akhirnya mulai meneruskan konsep hegemoni Antonio Gramsci ( ) untuk menunjukkan bagaimana penguasaan kelas atau gender tidak hanya didukung oleh mekanisme hukum dan penerapan kekuasaan yang tersurat, melainkan juga merasuk di seluruh masyarakat dalam struktur kelembagaan dan kepercayaan dan nilai2 budaya.