Arti Revolusi Pada tanggal 27 November 1956 diadakan upacara pemberian gelar Doctor Honoris Causa kepada Bung Hatta oleh Universitas Gadjah Mada, bertempat di Siti Hinggil Yogyakarta. Sebagai asisten di Fakultas Hukum UGM pada waktu itu, saya bersama istri saya mendapat undangan untuk menyaksikan jalannya upacara itu. Menurut ingatan saya, di dalam pidato yang disampaikan oleh Bung Hatta pada waktu penerimaan gelar Doctor Honoris Causa tersebut, antara lain beliau menjelaskan batasan arti (definisi) revolusi, khususnya revolusi nasional Indonesia. Revolusi menurut pandangan Bung Hatta adalah suatu perubahan yang mendadak dan mendasar di dalam suatu masyarakat, suatu Unwertung aller Werte. Dan masa revolusi itu berlaku tidak lama, mungkin hanya beberapa minggu atau bulan saja. Setelah itu, harus segera dilanjutkan dengan tindakan-tindakan konsolidasi dari hasil revolusi itu dengan pembangunan. Bilamana masa revolusi berlangsung terlalau lama, maka dikhawatirkan akan menjurus ke anarkhi. Dalam hal ini jelas ada perbedaan pandangan pendapat yang mendasar antara Bung Hatta dan Bung Karno mengenai artian revolisi, sebab di dalam pidato-pidato Bung Karno pada waktu itu, selalu Bung Karno menyatakan bahwa masyarakat yang adil dan makmur yang kita cita-citakan belum tercapai, karena revolusi Indonesia belum selesai. Setelah upacara pemberian gelar Doctor Honoris Causa kepada Bung Hatta selesai, maka hadirin memberikan selamat kepada Bung Hatta dan Ibu Rahmi Hatta. Bung Karnolah yang pertama kali memberikan jabat tangan ucapan selamat pada Bung Hatta dan Ibu Rahmi Hatta sambil menepuk- nepuk pundak Ibu Rahmi Hatta. Pada kesempatan itulah saya dan istri saya untuk pertama kalinya berjabat tangan dengan Bung Hatta dan Ibu Rahmi Hatta. Masih jelas teringat oleh kami bahwa karena bahwa karena lamanya harus berdiri untuk menerima ucapan selamat dari para hadirin, Bung Hatta melurus-luruskan kaki untuk menghilangkan kecapaiannya. Pada malam harinya di Kepatihan Yogyakarta disajikan pertunjukan perbagai tarian dan kesenian
untuk menghormati Bung Hatta, yang pada waktu itu masih menjabat wakil presiden Republik Indonesia. Pada kesempatan itu, oleh seorang mahasiswi UGM dibacakan sebuah sajak, yang berisikan himbauan kepada Bung Hatta agar mengurungkan niatnya untuk mengundurkan diri sebagai wakil presiden Republik Indonesi Pada waktu itu kami mendiami pavilyun rumah dinas UGM di jalan Sekip No. 16 Yogyakarta, bersama ketiga aorang anak kami yang masih kecil-kecil. Berdampingan dengan rumah Jalan Sekip No. 16 itu (sebelah selatannya) terletak bangunan guest-house UGM. Kalau Bung Hatta datang di Yogyakarta untuk memberikan kuliah-kuliah di UGM atau memberikan tentramen/ujian bagi para mahasiswa UGM, maka biasanya beliau beserta Sekretaris (Pak Wangsa) menginap di guest-house tersebut. Di guest-house itu ada pesawat teleponnya. Pada waktu itu istri saya bekerja di Apotik Radjafarma dan bilamana ada keperluan yang mendesak, misalkan tidak datang masuk kerja karena anaknya sedang sakit, maka dengan seizin penjaga guest-house, istri saya meminjam telepon untuk dapat menghubungi Apotik Radjafarma tersebut. Pada suatuhari ketika istri saya hendak meminjam telepon di guest-house tersebuat, bertemulah ia dengan Bung Hatta dan Pak Wangsa. Sekalipun dalam perjumpaan itu, istri saya hanya memberikan salam dan menerima salam dan anggukan dari Bung Hatta dan Pak Wangsa, tetapi pertemuan itu memberikan kesan yang mendalam di hati istri saya. Ia sungguh merasa bangga dapat bertemu muka dengan Bung Hatta, salah seorang pemimpin besar bangsa Indonesia. Kalu datang di Yogyakarta, Bung Hatta meluangkan waktu untuk melihat-lihat keadaan kota. Yang mendapatkan perhatian beliau terutama adalah kebersihan kota. Pada suatu hari ketika melihat Kota Yogyakarta, beliau melihat banyak gundukan sampah di pinggir jalan, yang belum atau tidak diangkat oleh Dinas Kebersihan Kota. Hal tersebut mendapatkan perhatian beliau dan oleh wartawan harian Kedaulatan Rakyat, soal sampah itu diulas dalam tajuk rencananya. Soermaryo Hadiwignyo, Pribadi Manusia Hatta, Seri 3, Yayasan Hatta, Juli 2002