Pluralisme Hukum By : Slides : Dr. Lidwina Inge Nurtjahyo, SH. M.Si Heru Susetyo, SH. LL.M. M.Si. Ph.D Slides : Dr. Lidwina Inge Nurtjahyo, SH. M.Si
Masyarakat Society is a group of people who occupy a particular teritory and speak a common languange not generally understood by neighbouring people (Ember & Ember, 1996) Tidak harus selalu terkait dengan bangsa
Istilah2 Crowd – kerumunan Group – kelompok Nation – bangsa Stratification – lapisan sosial
Masyarakat Majemuk 1 Konsep masyarakat majemuk/ plural: “Societies that have a diversity of cultural patterns.” (Masyarakat yang memiliki keberagaman pola-pola kebudayaan Haviland, 2000: 386) Masyarakat Majemuk Kebudayaan Majemuk/Cultural Pluralism (Haviland, 2000). Apa itu? “Social and political interaction of people with different ways of living and thinking within the same society.”(Haviland, 2000: 805)
Masyarakat Majemuk 2 Menurut Furnival (1948a) berdasarkan penelitiannya terhadap masy Hindia Belanda sebagai masy majemuk yt: Sebuah masy yg terdiri dari kumpulan orang atau kelompok yg berbaur tapi tidak menjadi satu; Masing-masing kelompok memiliki agama, kebudayaan, bahasa, cita2 dan cara2 hidup masing2; Menjadi masy karena dipersatukan secara paksa, bukan krn sukarela.
Masyarakat Majemuk 3 Konsekwensi dari heterogenitas potensial konflik atau potensial integrasi? Menjadi potensial konflik jika terdapat cara pandang yang etnosentrisme, primordialisme. Pluralisme/kemajemukan/heterogenitas dalam arti keberagaman ras dan kebudayaan fenomena normal, bukan penyimpangan, dapat diterima dan dihargai.
Masyarakat Majemuk 3 Bandingkan dengan masyarakat majemuk Indonesia! Aspek2 integratif bangsa : pengalaman sejarah yang sama, tujuan yang sama, bahasa dan simbol2 yang sama identitas kebangsaan. Bandingkan dengan konsep nation menurut Haviland: “Communities of people who see themselves as ‘one people’ on the basis of common ancestry, history, society, institutions, ideology, language, territory, and (often) religion.”(Haviland, 2000:664).
Masyarakat Indonesia: Masyarakat Majemuk 1 Sebagian besar masyarakat, terutama Indonesia terdiri dari beragam kelompok, lapisan, dan golongan. Kelompok berkaitan antara lain dengan kelompok etnik, afiliasi politik, penganut agama. Lapisan kelas sosial, kelas ekonomi (Ember&Ember, 1996) Golongan umur, jenis kelamin (Ember&Ember, 1996)
Masyarakat Indonesia: Masyarakat Majemuk 2 Kelompok etnik (Naroll, 1964 dalam Barth, 1969): populasi yang secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan, mempunyai nilai2 budaya yang sama, sadar akan rasa kebersamaan dalam suatu bentuk budaya, memiliki jaringan komunikasi dan interaksi sendiri, menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima kelompok lain (in group –out group) dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain.
Masyarakat Indonesia: Masyarakat Majemuk 3 Lapisan berkaitan dengan antara lain kelas sosial, kelas ekonomi (Ember& Ember, 1996). Golongan berkaitan antara lain dengan umur, jenis kelamin (Ember& Ember, 1996)
Masyarakat Indonesia: Masyarakat Majemuk 4 Konsekwensi dari keberagaman kelompok, lapisan dan golongan: kebudayaan yang beragam. Kebudayaan yang beragam=sistem hukum yang beragam selain hukum negara dan hukum internasional.
Konsekwensi Konflik atau Integrasi? Tahap2 konflik: pra konflik, konflik, sengketa aspek publik /ada pihak ketiga. Model2 penyelesaian konflik: lumping it, avoidance, coercion/self-redress, negosiasi, mediasi, arbitrasi, adjudikasi.
Konsekwensi (lanjutan) Bentuk2 integrasi: amalgamasi; Akulturasi; Asimilasi.
Kemajemukan Budaya Kemajemukan Hukum Hukum aspek kebudayaan yang memiliki fungsi pedoman bertingkah laku dan fungsi kontrol sosial. Pluralisme hukum adalah suatu cara pandang terhadap kondisi keberagaman sistem hukum yang ada dalam masyarakat. Merupakan juga ‘reaksi’ terhadap cara pandang yang positivistik, yang memandang satu-satunya sistem hukum adalah hukum negara (legal sentralisme).
Perkembangan Kajian Pluralisme Hukum (1) Pluralisme Hukum Perspektif Klasik Tahap kajian Mapping/pemetaan sistem2 hukum yang ada dalam masyarakat Tahap kajian PH dengan fokus pada pengamatan atas Interaksi antar sistem hukum (interaction between legal systems) Tahap Kajian PH dengan fokus pada pilihan hukum individu (focus on individual level).
Perkembangan kajian Pluralisme Hukum (2) Pluralisme hukum perspektif global: Melihat saling ketergantungan, saling adaptasi, kompetisi antara sistem-sistem hukum yang ada; Keberlakuan sistem2 hukum bahkan ada yang bersifat blurred border, lintas batas negara karena dibawa oleh para aktor2. Konsekwensi metodologisnya: kajian PH dengan perspektif global: multisitus.
Konsep-konsep Pluralisme Hukum 1. legal centralism a Konsep-konsep Pluralisme Hukum 1. legal centralism a. Law is and should be the law of the state, uniform for all persons, exclusive of all other law and administered by a single set of state institutions (J. Griffith). b. keadilan yang kita cari adalah suatu produk yang dihasilkan atau setidak-tidaknya didistribusikan secara eksklusif oleh negara (M. Galanter).
2. Legal Pluralism Griffith: Legal pluralism is the fact, legal centralism is a myth, an ideal, a claim, an illusion. By legal pluralism I mean the presence in a social field of more than one legal order
Pluralisme Hukum menurut Griffith Weak legal pluralism.Yaitu adanya pandangan bahwa ada hukum lain di luar hukum negara tetapi hukum lain ini kedudukannya lebih rendah dari hukum negara jadi tetap harus tunduk pada hukum negara. Hukum negara masih menjadi yang superior. Strong legal pluralism pandangan yang mengatakan semua sistem hukum kedudukannya sama, artinya setiap hukum mempunyai peluang yang sama untuk dipilih/dijadikan acuan.
Weak Legal Pluralism menurut Hooker: The term legal pluralism refers to the situation in which two or more laws interact. Municipal law atau hukum negara yang dominan berhadapan dengan servient law atau kebiasaan dan hukum agama
Strong 1. Sally Merry: “…is generally defined as a situation in which two or more legal system coexist in the same social field.” “Situasi di mana dua atau lebih sistem hukum berada dalam lapangan hukum yang sama.”.
2. Sally Falk Moore: Legal pluralism refers to the normative heterogenity attendant upon the fact that social action always takes place in a context of multiple, overlapping ‘semi-autonomous social field’ “Legal pluralisme mengacu kepada heterogenitas yang berdasarkan fakta bahwa tindakan2 sosial selalu mengacu pada bidang2 sosial semi otonom yang saling “overlap”/ tumpang tindih.
Teori living law, yaitu aturan hukum yang hidup dari tatanan normatif, yang dikontraskan dengan hukum Negara (law in the books). 3. Eugene Ehrlich
4. F. Benda-Beckmann: Yang menarik bukan dapat ditunjukkannya legal pluralism tetapi apa yang terkandung dalam kemajemukan tersebut, bagaimana sistem2 hukum saling berinteraksi satu sama lain, bagaimana sistem2 hukum secara bersama2 bila berada dalam suatu lapangan kajian ttt.
Konflik di Indonesia Konflik sumber daya alam SDA terbatas tapi jumlah penduduk banyak. Mekanisme kontrol dengan SASF (semi autonomous social fields/bidang-bidang semi otonom), karakteristiknya: Masyarakat merumuskan aturan masing2 ada otoritas tertentu yang diakui yang berwenang merumuskan; Ada mekanisme sanksi untuk memaksa aturan dipatuhi; Aturan2 tsb bersifat mengikat anggota masyarakat ybs, Tetapi pelaksanaannya tetap rentan terhadap pengaruh dari luar (aturan2 lain)
Tahap2 Perkembangan Konflik Felstiner, Abel, dan Sarat (1981) menjelaskan bahwa proses perkembangan sengketa melalui tahap2: Naming salah satu pihak merasakan adanya kerugian yg disebabkan tindakan pihak lain namun belum ada keluhan; Blaming pihak yang dirugikan menyampaikan keluhan pada pihak yang dianggap merugikan ; Claiming pihak yang dirugikan mengajukan keluhan kepada pihak ketiga untuk memperoleh upaya penyelesaian.
Bentuk2 Penyelesaian Sengketa (1) SEPIHAK Lumping it Avoidance: a. Mengurangi intensitas hubungan b. Exit (Galanter). Coercion selfhelp (Galanter)/Selfredress.
Bentuk2 Penyelesaian Sengketa (2) DYADIC Negotiation. TRYADIC Mediation Arbitration Adjudication
Keebet von Benda-Beckmann: Results depend on Expectations where interests are best served Constellation of parties – social proximity or distance Interests Position and roles Relationships – social proximity and distance Resources, capabilities, and power Motivations and goals