Gangguan organik pusat akibat tumor, radang, dan destruksi. Obesitas dan Amenorea AMENOREA Amenorea adalah keadaan tidak adanya menstruasi untuk sedikitnya 3 bulan berturut-turut. Amenorea dapat dibagi menjadi amenorea primer dan amenorea sekunder. Amenorea primer adalah apabila seorang wanita berumur 18 tahun ke atas tidak pernah mendapatkan menstruasi. Amenorea primer umumnya mempunyai sebab-sebab yang lebih berat dan lebih sulit diketahui, seperti kelainan kongenital dan kelainan genetik. Amenorea sekunder adalah penderita pernah mendapatkan menstruasi, tetapi kemudian tidak mendapatkan lagi. Adanya amenorea sekunder lebih menunjuk kepada sebab-sebab yang timbul kemudian dalam kehidupan wanita, seperti gangguan gizi, gangguan metabolisme, tumor, dan penyakit infeksi. Amenorea primer dan amenorea sekunder masing-masing mempunyai sebab-sebab sendiri. Akan tetapi, banyak sebab ditemukan pada kedua jenis amenorea sehingga sebab-sebab tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Gangguan organik pusat akibat tumor, radang, dan destruksi. Gangguan kejiwaan. Gangguan poros hipotalamus-hipofisis, seperti pada sindrom amenorea-galaktosa, sindrom Stein-Leventhal, dan amenorea hipotalamik. Gangguan hipofisis akibat sindrom sheehan, penyakit Simmonds, dan tumor. Gangguan gonad, yang terdiri dari kelainan kongenital, menopause prematur, insensitivitas ovarium, penghentian fungsi ovarium karena operasi, radiasi, radang, dan tumor sel granulosa, sel teka, sel hilus, adrenal, arenoblastoma. Gangguan pada glandula suprarenalis. Gangguan pada glandula tiroidea. Gangguan pada pankreas, misal pada pasien diabetes mellitus. Gangguan uterus dan vagina. Penyakit-penyakit umum, seperti gangguan gizi dan obesitas. Melalui klasifikasi di atas, etiologi amenorea primer dan sekunder seringkali saling tumpang tindih. Penyebab yang lebih sering pada amenorea primer adalah kelainan genetik dan kelainan anatomik. Sedangkan pada sebagian besar amenorea sekunder disebabkan oleh proses anovulasi, yang sering termanifestasi sebagai beberapa penyakit, di antaranya sindrom ovarium polikistik (polycystic ovary syndrome, PCOS), kegagalan ovarium prematur (premature ovarian failure, POF). OBESITAS DAN AMENOREA Kolesterol merupakan bahan pembentuk hormon steroid. Semua organ penghasil steroid, kecuali plasenta, dapat mensintesis kolesterol dari asetat. Akan tetapi, pada mayoritas keadaan tertentu, sintesis lokal tidak dapat memenuhi kebutuhan dan harus menggunakan kolesterol yang bersirkulasi. Produksi steroid di dalam ovarium terjadi pada sistem dua sel. Sel teka menghasilkan androgen dan merespon luteinizing hormone (LH) dengan meningkatkan jumlah reseptor LDL (low-density lipoprotein) yang berperan dalam pemasukan kolesterol ke dalam sel. LH juga menstimulasi aktivitas protein khusus (P450scc), yang menyebabkan peningkatan produksi androgen. Ketika androgen berdifusi ke sel granulosa, androgen mengalami metabolisme oleh aromatase menjadi estrogen. Seseorang dengan obesitas akan identik dengan hiperkolesterolemia yang ditandai dengan tingginya kadar trigliserid dan LDL dalam darah. Padahal, LDL merupakan molekul pembawa kolesterol ke dalam sel teka untuk dijadikan bahan pembuat androgen. Melalui dasar mekanisme tesebut, tingginya kadar LDL dapat berdampak pada tingginya kadar androgen, yang pada akhirnya menyebabkan peningkatan kadar estrogen. Selain itu, hiperkolesterolemia juga berakibat pada resistensi reseptor insulin akibat peningkatan glukosa yang diawali dengan hiperaktivitas glukoneogenesis, yang pada akhirnya menimbulkan hiperinsulinemia. Hiperinsulin menyebabkan peningkatan aktivitas androgen melalui mekanisme berikut : (1) Insulin berikatan dengan reseptor IGF-1, yang mempunyai struktur sama dengan reseptor insulin. Ikatan ini bersama LH akan merangsang sel teka untuk memproduksi hormon androgen. (2) Hiperinsulin menekan sintesis sex hormone binding globulin (SHBG) dan IGF binding protein (IGFBP) di hepar sehingga seks steroid dan IGF-I yang bebas (bentuk aktif) meningkat. Kadar estrogen yang tinggi memberikan umpan balik negatif terhadap hormon FSH (follicle stimulating hormone) melalui sekresi protein inhibin yang menghambat hipofisis anterior untuk menyekresikan FSH. Sedangkan terhadap LH, peninggian kadar estrogen memberikan umpan balik positif sehingga kanaikan kadar LH merangsang sintesis androgen, kenaikan kadar androstenedion, dan diubah oleh jaringan lemak/otot menjadi estrogen di perifer. Peningkatan kadar LH juga dapat disebabkan oleh karena gangguan sistem leptin. Leptin adalah suatu protein yang disekresi oleh adiposit, yang berperan mengatur pemasukan makanan dan memberikan isyarat lapar pada otak. Pada hipotalamus, leptin menekan sintesis dan sekresi neuropeptide Y, di mana neuropeptida Y ini bekerja menghambat gonadotropin releasing hormone (GnRH). Pada seseorang dengan obesitas (sebagaimana dialami pasien dalam skenario), terjadi peningkatan kadar leptin (pada seorang obes terjadi resistensi leptin), sehingga terjadi penurunan sekresi neuropeptide Y, yang berakibat pada peningkatan sekresi GnRH, dan diikuti peningkatan sekresi LH. Melalui sebuah riset, diketahui bahwa leptin juga berpengaruh pada maturasi oosit melalui jalur mitogen-activated protein kinase (MAPK) yang dapat mengaktivasi maturation-promoting factor (MPF) yang merangsang pematangan ovum yang dihasilkan oleh ovarium. Uraian di atas menggambarkan kejadian yang terjadi pada pasien dalam skenario. Pasien dengan obesitas mengeluhkan menstruasinya tidak datang selama 4 bulan, yang masuk dalam klasifikasi amenorea (lebih dari 3 bulan). Patogenesis yang mendasarinya berawal dari kondisi obesitas, yang berlanjut sebagai kondisi hipersekresi estrogen dan hipersekresi LH, serta penghambatan sekresi FSH. Adanya hambatan sekresi pada FSH menyebabkan terganggunya proliferasi folikel sehingga tidak terbentuk folikel yang matang. Meskipun pematangan ovum terjadi (melalui mekanisme yang dijelaskan di atas), ovulasi tetap tidak berlangsung oleh karena imaturitas folikel. Hal inilah yang menjadi dasar mekanisme ketidakhadiran menstruasi (amnorea) pada pasien dalam skenario kasus. Proses anovulasi ini juga sangat terkait dengan sindrom poliovarium kistik. Gangguan estrogen yang selalu tinggi mengakibatkan tidak pernah terjadi kenaikan kadar FSH yang adekuat. Hal tersebut menyebabkan penumpukan folikel kecil (folikel pada stadium anthral dengan penampang + 8 mm) pada tepi dinding ovarium tanpa pernah mengalami ovulasi (Wasita, 2007). Keadaan ini menyebabkan gambaran polikistik pada ovarium sehingga disebut polycystic ovarian syndrome (PCOS). Gambaran tentang penanganan pasien dalam skenario adalah pemberian preparat FSH maupun hormon pemacu sekresi FSH untuk merangsang pematangan folikel. Selain itu, untuk mengurangi kadar kolesterol dalam darah, perlu diresepkan obat penurun kolesterol, seperti statin dan preparat turunannya. Jika pasien telah mengalami PCOS, maka tindakan bedah merupakan alternatif pilihan, yaitu dengan jalan mengangkat ovarium dengan kemungkinan hamil yang masih ada, mengingat wanita secara normal memiliki sepasang ovarium. Selain itu, terapi non-medikamentosa yang diberikan adalah dengan terapi diet untuk menurunkan obesitas dan hiperkolesterolemia sehingga kausa gangguan lambat laun akan teratasi.