PENGATURAN TERHADAP KEGIATAN PEMBIAYAAN ANJAK PIUTANG Bimo Aribowo 20090610061 Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Pengertian Anjak Piutang menurut para ahli Menurut Abdul Kadir Muhammad dan Ridda Murniati berpendapat bahwa Anjak Piutang sebagai salah satu bentuk bisnis pembiayaan bersumber dari berbagai ketentuan hukum, baik perjanjian maupun perundang-undangan. Ketentuan tersebut adalah[1] : Segi Hukum Perdata Ada dua sumber hukum perdata yang mendasari kegiatan Anjak Piutang, yaitu asas kebebasan berkontrak dan perundang-undangan di bidang hukum perdata.
1) Asas Kebebasan Berkontrak Hubungan hukum yang terjadi dalam kegiatan Anjak Piutang selalu dibuat secara tertulis (kontrak) sebagai dokumen hukum menjadi dasar kepastian hukum (legal certainty). Perjanjian Anjak Piutang ini dibuat berdasarkan asas kebebasan berkontrak yang memuat rumusan kehendak berupa hak dan kewajiban dari perusahaan Anjak Piutang sebagai pihak penerima pengalihan piutang, dan Clien sebagai pihak yang mengalihkan piutang. Perjanjian Anjak Piutang (Factoring agreement) merupakan dokumen hukum umum (main legal dokumen) yang dibuat secara sah dan memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata, akibat hukum perjanjian yang dibuat secara sah, maka akan berlaku sebagai undang-undang bagi pihak-pihak, yaitu perusahaan Anjak Piutang dan Clien(Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata). Konsekuensi yuridis selanjutnya perjanjian tersebut harus dilaksanakan dengan itikad baik (in good faith) dan tidak dapat dibatalkan secara sepihak (unilateral unvoinable). Perjanjian Anjak Piutang berfungsi sebagai dokumen bukti yang sah bagi perusahaan Anjak Piutang dan Clien.
Lanjutan 2) Undang-Undang di Bidang Hukum Perdata Perjanjian Anjak Piutang merupakan salah satu bentuk perjanjian khusus yang tunduk pada ketentuan Buku II dan Buku III KUHPerdata. Sumber hukum utama Anjak Piutang adalah ketentuan mengenai : (a) Perjanjian jual beli yang diatur dalam Pasal 1457-1540 buku III KUHPerdata sejauh ketentuan-ketentuan itu relevan dengan Anjak Piutang. (b) Pengalihan piutang atas nama yang diatur dalam Pasal 613 ayat (1) dan (2) buku II KUHPerdata. Menurut ketentuan pasal tersebut, penyerahan piutang atas nama dilakukan dengan cessie, yaitu dengan akta otentik atau tidak otentik yang menyatakan pengalihan hak tagih kepada perusahaan Anjak Piutang disertai notifikasi kepada nasabah (debitur)
(c) Subrogasi yang diatur dalam Pasal 1400-1403 buku III KUHPerdata, penyerahan dengan cessie akan mengakibatkan adanya subrogasi, yaitu pengantian status kreditor lama (Clien) oleh kreditor baru (perusahaan Anjak Piutang) terhadap nasabah (debitur). (d) Selain dari ketentuan-ketentuan dalam buku II dan buku III KUHPerdata yang relevan dengan Anjak Piutang terdapat juga ketentuan-ketentuan berbagai undang-undang diluar KUHPerdata yang mengatur aspek Anjak Piutang. Undang-undang tersebut adalah : (a) Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan peraturan pelaksanaannya, berlakunya undang-undang ini apabila Anjak Piutang mempunyai bentuk hukum Perseroan Terbatas (b) Undang-Undang No. 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian dan Peraturan Pelaksanaanya. Ketentuan ini berlaku apabila Perusahaan Anjak Piutang berbentuk koperasi. (c) Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok Agraria dan Peraturan Pelaksanaannya. Ketentuan ini berlaku apabila perusahaan Anjak Piutang mengadakan perjanjian mengenai hak atas tanah. (d) Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Pelaksanaannya. Berlakunya undang-undang ini apabila perusahaan Anjak Piutang sebagai produsen melakukan pelanggaran atas kewajiban dan larangan undang-undang yang secara perdata merugikan konsumen.
1. Segi Hukum Publik Sebagai usaha yang bergerak di bidang Jasa Pembiayaan, Anjak Piutang banyak menyangkut kepentingan publik terutama yang bersifat administratif. Oleh karena itu ketentuan yang bersifat publik yang relevan berlaku pula pada Anjak Piutang. Ketentuan tersebut adalah: 1) Undang-Undang di Bidang Hukum Publik Berbagai undang-undang di bidang administrasi negara yang menjadi sumber hukum utama Anjak Piutang adalah sebagai berikut : a) Undang-Undang No. 3 tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan dan Peraturan Pelaksanaannya b) Undang-Undang No. 7 tahun 1992 Jo. Undang-Undang No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan dan Peraturan Pelaksanaannya c) Undang-Undang No. 12 tahun 1985, Undang-Undang No. 7 tahun 1991, Undang-Undang No. 8 tahun 1991 dan Peraturan Pelaksanaannya, semuanya tentang Perpajakan d) Undang-Undang No. 8 tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan dan perautan Pelaksanaanya
Lanjutan 2) Peraturan tentang Lembaga Pembiayaan Peraturan tentang Lembaga Pembiayaan yang mengatur Anjak Piutang antara lain: a) Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 61 tahun 1988 tanggal 20 Desember 1988 tentang Lembaga Pembiayaan. Keputusan Presiden No. 61 tahun 1988 ini dikenal dengan Paket Deregulasi Desember 1988, yang memperkenalkan Industri Multi Finance di Indonesia. Keputusan Presiden ini pada pokoknya mengandung hal sebagai berikut : b) Lembaga Pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal dengan tidak menaarik dana secara langsung dari masyarakat dalam bentuk Giro, Deposito, Tabungan dan Surat Sanggup Bayar (Promissory Notes) c) Lembaga pembiayaan hanya diperkenankan untuk menerbitkan Surat Sanggup Bayar hanya sebagai jaminan utang kepada Bank yanga menjadi kreditnya. d) Kegiatan pembiayaan, berdasarkan keputusan presiden ini dapat dilakukan oleh Bank, Lembaga Keuangan Bukan Bank, Perusahaan Pembiayaan.
Lanjutan e) Perusahaan pembiayaan dapat berbentuk perseroan terbatas atau koperasi, dimana untuk perseroan terbatas sahamnya dapat dimiliki oleh Badan Usaha asing dengan maksimal kepemilikan 85 % dari total modal yang disetor perusahaan pembiayaan. f) Keputusan bersama antara Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia No.607/KMK.017/1995 dan No.28/9/KEP/GBI tanggal 19 Desember 1995, tentang Pelaksanaan Pengawasan Perusahaan Pembiayaan oleh Bank Indonesia. g) Surat Edaran Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan Departemen Keuangan Republik Indonesia No.S-78/pj-311/1996, tanggal 19 April 1996 tentang Pembebasan Pph. h) Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia tentang perubahan Keputusan Menteri Keuangan No.642/KMK.04/1995, tentang nilai lain sebagai dasar No.292/KMK.04/1996, tanggal 18 April 1996, Pengenaan Pajak. i) Surat Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan Republik Indonesia No. S-78/PJ-311/1996 tanggal 19 April 1996, tentang Pembebasan Pph Pasal 23 atas Penghasilan yang Diperoleh Perusahaan Anjak Piutang.
Lanjutan j) Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 130/KMK.04/1998 tanggal 27 Februari 1998 tentang Penghapusan Piutang Tak Tertagih yang Boleh di kurangkan sebagai Biaya. k) Surat Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan Republik Indonesia No.SE-19/PJ-42/1998 tanggal 10 Juli 1998 tentang Pelaksanaan Piutang Tak Tertagih yang boleh dikurangkan sebagai biaya. l) Peraturan Bank Indonesia No.1/9/PBI/1999 tanggal 24 Oktober 1999 Tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank. m) Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia tentang perubahan Keputusan Menteri Keuangan No.172/KMK.06/2002, tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Keuangan No.448/KMK.017/2002 tentang Perusahaan Pembiayaan. n) Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia tentang perubahan Keputusan Menteri Keuangan No.185/KMK.06/2002 tanggal 24 April 2002, tentang Penghentian Izin Usaha Pembiayaan [1] Abdul Kadir Muhammad dan Rilda Murniati, Segi Hukum Lembaga Keuangan dan Pembiayaan, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 214.
Pustaka Abdul Kadir Muhammad dan Rilda Murniati, Segi Hukum Lembaga Keuangan dan Pembiayaan, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 214.
Contoh Kasus Jaksa Tuntut Pembobol BNI 20 Tahun Rabu, 10 November 2004 TEMPO Interaktif, Jakarta: Jaksa Penuntut Umum kembali menuntut terdakwa pembobol BNI cabang Kebayoran Baru dengan pidana penjara selama 20 tahun. Kali ini tuntutan diberikan kepada Rudi Sutopo atas kasus pendiskontoan 11 L/C fiktif senilai 9,3 juta dolar Amerika. Tuntutan dibacakan ketua tim jaksa Syaiful Tahir dalam sidang yang digelar Rabu (10/11), di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dalam tuntutan jaksa, Rudi dinyatakan terbukti bersalah melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri dan orang lain dengan cara merugikan negara sebagaimana dalam dakwaan kesatu. Rudi dituduh telah merugikan negara dalam hal ini BNI sebesar US $ 5 juta, karena dana BNI yang tidak dapat dikembalikan setelah jatuh tempo. Sisa dana BNI yang tidak dapat dikembalikan tersebut oleh PT Mahesa dilakukan pembayarannya dengan cara melakukan anjak piutang dengan PT Aditya Pratama, sebuah perusahaan multi finance. Namun ternyata dana PT Aditya tersebut berasal dari Gramarindo, grup milik Maria Pauline yang juga didapat dari pendiskontoan L/C fiktif. ?Memang kewajiban PT Mahesa telah selesai, tetapi negara dalam hal ini BNI tetap menderita kerugian karena dana yang digunakan dalam anjak piutang belum kembali,? kata Syaiful.
Lanjutan Rudi Sutopo dalam dakwaan dan tuntutan jaksa dinyatakan sebagai komisaris PT Mahesa Karya Muda Mandiri. Rudi menyetujui dan menandatangani 11 L/C dengan menyertakan dokumen-dokumen fiktif. Kesebelas L/C ini diajukan oleh Direktur Utama PT Mahesa Harris Is Artono, untuk membiayai proyek pengadaan 270.000 ton batu bara. Namun proyek yang dilakuakn bekerjasama dengan PT Truba tersebut akhirnya tidak berjalan dengan alasan overstock. Kuasa Hukum Rudi, Berlin Pandiangan menyatakan bahwa tuntutan jaksa tidak fair. Sebab menurutnya Rudi bukanlah komisaris dan tidak pernah mengajukan L/C. Yang mengajukan L/C sendiri adalah Harris Is Artono. ?Kalau pun tidak ada ekspor tidak ada hubungannya dengan Rudi, karena dia hanya pembeli L/C,? katanya.