Obesitas dan Pembangunan Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat kita masih banyak yang beranggapan, anak yang gendut adalah cermin sukses orangtuanya. Bahkan, jika diembel-embeli kata “lucu dan menggemaskan”, anak yang gemuk justru menjadi kebanggaan orangtuanya. Tampaknya pemikiran ini harus dikaji ulang, terutama jika gemuknya berlebih dan si anak terancam berbagai penyakit. Komite Olimpiade Internasional (IOC) yang sedang berkongres di Kopenhagen, Denmark, pun menyatakan keprihatinannya terhadap fenomena makin banyaknya anak yang kegemukan atau obesitas. Kondisi ini dipicu makin sedikitnya waktu yang dilalui anak-anak untuk berolahraga. Mereka lebih banyak asyik di depan televisi atau bermain game di komputer. Bahkan, teknologi multimedia yang sangat maju membuat anak-anak dan remaja bisa menghabiskan berjam-jam hanya untuk memencet-mencet tombol telepon pintar (smart phone). Presiden Komite Olimpiade Nasional (NOC) Irlandia Patrick Hickey yang tampil sebagai pembicara dalam sesi diskusi mengingatkan, angka penderita obesitas anak meningkat setiap tahun. Sekarang saja setiap tahun 1 juta anak di seluruh dunia menderita obesitas karena tidak banyak berolahraga. “Di negara saya, anak-anak sekarang bobot badannya rata-rata lebih berat 14 kilogram dibandingkan dengan kakek mereka pada usia mereka sekarang,” ujar Hickey. “Obesitas memicu banyak penyakit seperti diabetes dan kanker. Mereka generasi yang harus diselamatkan,” kata Hickey yang mantan atlet judo. Di Indonesia, fenomena obesitas anak barangkali belum seburuk yang digambarkan Hickey. Meski angkanya mungkin belum terlalu mengkhawatirkan, potensial masalahnya tetap ada, terutama di perkotaan yang semakin disesaki industri makanan cepat saji. Selain perkembangan teknologi komputer dan multimedia, industri makanan cepat saji, makanan dalam kemasan, serta gaya hidup perkotaan yang semakin individualistis dan asosial membuat potensi masalah obesitas semakin besar. “Anak-anak sekarang sangat sulit diajak beraktivitas fisik dan berolahraga. Gerakan olimpiade punya obligasi besar untuk mengajak anak-anak, remaja, dan kaum muda berolahraga dan membuat aktivitas olahraga menarik bagi mereka,” ujar Rita Subowo, Ketua KOI dan KONI yang juga anggota IOC. Bagi Indonesia khususnya, obesitas dan problem semakin kurangnya waktu berolahraga di kalangan anak-anak, remaja, dan kaum muda adalah tantangan besar yang harus dihadapi dalam satu dekade ke depan. Rita mengingatkan, Gerakan Olimpiade (Olympic Movement) harus bisa menjadi agen mengatasi masalah ini. Pembina olahraga harus lebih aktif menciptakan program yang sesuai dengan ekspektasi kaum muda. Pembina harus lebih banyak mendengarkan anak-anak untuk mengetahui dengan detail kebutuhan mereka. “Sebab, ekspektasi anak-anak terhadap olahraga sudah sama sekali berbeda dengan generasi sebelumnya. Kami bertanggung jawab untuk menyelaraskan ekspektasi tersebut dengan program yang akan dibuat,” ujar Rita yang juga menjabat Wakil Ketua Federasi Bola Voli Internasional. Dalam makalahnya, Rita menyatakan, problem di Indonesia semakin kompleks karena pembangunan ekonomi dalam dua dekade terakhir tidak berpihak kepada anak-anak dan olahraga. Fasilitas olahraga, terutama di perkotaan, semakin susut. Lapangan- lapangan olahraga, meski dalam kondisi ala kadarnya, disulap menjadi areal bisnis, terutama mal dan pertokoan. Di banyak daerah, pemerintah daerah (pemda) bahkan sama sekali tidak punya kepekaan terhadap pentingnya pembangunan olahraga. Ribuan hektar fasilitas olahraga dibiarkan merana atau dialihfungsikan menjadi wilayah komersial. Banyak pemda menyalurkan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk klub sepak bola profesional dan merasa sudah berkontribusi luar biasa pada pembangunan olahraga. Padahal, selain melanggar hukum karena model semacam ini bertendensi korupsi, dana APBD itu seharusnya secara proporsional mengalir ke cabang olahraga lain atau memelihara dan membangun fasilitas olahraga. Problem lain adalah sekolah, terutama yang tidak punya sumber finansial kuat, semakin enggan menyediakan fasilitas olahraga, bahkan sekadar lapangan bola basket atau bola voli yang tidak terlalu menyita banyak ruang. Persaingan yang semakin ketat dalam memperebutkan sekolah bermutu membuat waktu belajar di kelas menjadi makin berat dan padat. Pemerintah tampaknya harus lebih banyak berperan dalam persoalan di atas. Terbitnya Undang-Undang Sistem Keolahragaan Nasional selayaknya menjadi pedoman dalam memecahkan masalah di atas. Yang terjadi justru ironi. UU Sistem Keolahragaan Nasional pada akhirnya dipakai sebagai legitimasi pemerintah untuk menangani pembangunan olahraga nasional secara holistik, termasuk pembinaan olahraga prestasi. Kalau kita menengok ke semua negara yang prestasi olahraganya kelas satu di dunia, peran pemerintah justru lebih pada pemassalan olahraga di semua kalangan yang oleh IOC dikumandangkan sebagai “Sports for All”. Pemerintah lebih banyak berperan dalam membuat cetak biru pembangunan olahraga, pembangunan fasilitas, dan penciptaan akses olahraga ke semua kalangan. Soal pembinaan olahraga prestasi, apalagi profesional, diserahkan sepenuhnya kepada NOC dan swasta. Di Indonesia, tuntutan penggunaan model di atas semakin kuat karena dalam banyak hal, lobi politik pemerintah, dalam hal ini Kantor Menteri Negara Pemuda dan Olahraga, sangat penting. Dalam kaitan waktu berolahraga anak-anak sekolah, Kantor Menteri Negara Pemuda dan Olahraga punya akses 24 jam pada Departemen Pendidikan Nasional. Mereka bahkan punya akses ke Presiden, pemimpin tertinggi negara yang lewat perintahnya, langsung maupun tak langsung, mampu menggerakkan semua elemen negara untuk mengatasi problem pembangunan olahraga. Harus disadari, olahraga tak bisa lagi dikesampingkan dalam visi pembangunan nasional. Anak- anak yang obesitas pada akhirnya akan menjadi beban negara karena biaya pengobatan menjadi tinggi dan mereka akan menjadi generasi tidak produktif. Negara akan sangat banyak diuntungkan jika mempunyai generasi yang sehat dan produktif lewat investasi di bidang olahraga.