Agama dan Lingkungan Hidup: Teologi, Etika dan Politik Zainal Abidin Bagir Program Studi Agama dan Lintas Budaya (Center for Religious and Cross-cultural Studies/CRCS) Universitas Gadjah Mada Universitas Muhammadiyah Malang, Jumat, 27 Mei, 2011
Krisis Lingkungan: Fakta: adanya krisis lingkungan yang luar biasa, yang sifatnya lokal dan global; Melibatkan: (1) pemerintah (hukum lingkungan yang tak adil, penegakan hukum yang lemah) (2) perusahaan, dan (3) perseorangan. Seorang sarjana Buddhis, David Loy, menyebut kombinasi aktifitas ketiga aktor ini sebagai “Agama Pasar” hanya logika pasar yang berlaku; semua kebijakan diambil berdasarkan pertimbangan pasar.
Ketiga faktor itu memberikan tekanan luar biasa pada bumi Ketiga faktor itu memberikan tekanan luar biasa pada bumi. Dan telah muncul tanda-tanda bahwa bumi tak dapat menahan beban itu terlalu lama: Bencana lingkungan (banjir, longsor, dsb.) Krisis Air Musnahnya keragaman biologis Polusi Pemanasan global
Ilustrasi: Krisis Air Ada beragam peristiwa yang mungkin tidak kita baca di suratkabar. Dalam satu hari:: Perempuan di seluruh dunia menghabiskan 200 juta jam untuk mendapatkan air bagi keluarganya 14,000 orang mati karena penyakit yang diakibatkan kekurangan/ketiadaan air bersih Diare dan dehidrasi membunuh lebih dari 10,000 anak-anak Palang Merah Internasional: Ketiadaan air bersih dan sanitasi di negara berkembang membunuh manusia dalam jumlah yang tak kurang dari yang meninggal dalam tsunami di Samudera Hindia, setiap bulannya.
“Keringnya Mata Air Kami” (Kompas, 22 Maret 2006) 1979: 102 mata air di Sleman, di sekitar Merapi 2006: Tinggal 2 mata air besar + beberapa kecil Konflik karena air di Yogyakarta, Solo, dst: 2004, Polanharjo, Klaten: Petani vs PT Tirta Investama 2004, Sigedang, Klaten Petani vs Danone (Aqua) 2004, Umbul Wadon: Petani vs. PDAM 2004, Kanjoran, Magelang: Petani vs PDAM Magelang 1999, Pengging, Boyolali: Petani vs PDAM Surakarta dan sebagainya, di Amerika Latin, Amerika Serikat, Eropa, Afrika, dan Australia .....
Agama dan Lingkungan Mengapa agama mesti berperan dalam krisis ini? Di hadapan tiga “musuh” besar ekosistem [pemerintah, perusahaan, dan perseorangan], dapatkah agama berperan? Bagaimanakan agama berperan sebagai solusi masalah lingkungan?
Mengapa Agama Mesti Berperan? Januari 1990: 34 ilmuwan internasional, dipimpin oleh Carl Sagan, mengeluarkan pernyataan terbuka pada komunitas agama. Setelah memaparkan kerusakan lingkungan yang luar biasa, ia menyatakan: “Masalah sebesar itu menuntut solusi yang berperspektif luas, dan karenanya mesti mengandung dimensi keagamaan maupun ilmiah. …Sebagai ilmuwan kami menyerukan pada komunitas agama di seluruh dunia untuk dengan tegas menyatakan komitmennya, dalam kata-kata maupun tindakan, untuk memelihara lingkungan Bumi kita. … Upaya merawat lingkungan mesti dihidupi dengan suatu visi yang sakral.” [Sumber: Rasmussen, “Cosmology and Ethics”]
Tanggapan: Juni 1991: Pertemuan Puncak mengenai Lingkungan, yang dihadiri agamawan & ilmuwan: “…kami, pemimpin agama, menerima tanggung-jawab profetik untuk menyadarkan orang akan betapa besarnya tantangan ini ….Misi penyelamatan dan keadilan lingkungan mesti menempati tempat terpenting bagi kaum beragama.”
Dapatkah Agama Berperan? Gary Gardner, Invoking the Spirit (pp. 161-162): “To the extent that religion acts as a conservative social force, it may be correctly perceived as an obstacle to sustainability, since a sustainable world will not be built without major changes to the world’s economies” “Religions and religious people today too seldom wear the mantle of the prophet, in the sense of being a critic to the established order”
Jika agama akan terlibat, pertanyaannya adalah: bagaimana agama dapat memberdayakan. Agama tidak niscaya bisa menjadi pemecah masalah; tapi bisa juga menjadi sumber masalah. (Kimball, Kala Agama Menjadi Bencana, Mizan, 2004) Rabbi Jonathan Sacks: “Jika agama tak menjadi sumber pemecahan masalah, berarti ia adalah sumber masalah.” agama tidak bisa netral.
Bagaimana Agama Dapat Berperan? Pemikir Hindu, Vasudha Narayanan, menyebutkan tiga wilayah agama yang dapat menjadi sumber pemecahan masalah: Text, Temple, Teacher Text: ajaran, sumber pemahaman Pandangan dunia/ filsafat hidup Sumber etika Temple: Tempat ibadah, lembaga keagamaan Vihara, Kuil, Masjid, Gereja Lembaga seperti MUI, PGI, KWI, etc. Organisasi: NU, Muhammadiyah, etc. Lembaga pendidikan keagamaan (seminari, pesantren, dll) Teacher: Pemimpin agama
Isunya: bagaimana menggali sumber lama untuk memecahkan masalah baru di sini tak penting benar, apa “esensi” Islam atau Buddha, atau agama lain; yang penting adalah merumuskan Islam atau Buddha yang mampu menjawab persoalan. Bukan hanya pernyataan normatif mengenai bagaimana suatu agama, ayat-ayat dalam kitab suci, menghargai alam atau “ramah lingkungan”. Tapi suatu rumusan etis yang mampu memperkuat penyelesaian masalah kontemporer seperti krisis lingkungan, dan mampu memotivasi pemeluknya untuk mengambil pilihan-pilihan etis yang sulit.
Ilustrasi tradisi Islam Syed Nomanul Haq: ada ketegangan antara keunggulan moral manusia sebagai khalifah yang berhak memanfaatkan alam dan tanggungjawab menjaganya Nawal Ammar: Salah satu sumber masalah adalah pembangunan tak merata dalam sistem kapitalis global; ada masalah kekurangan, tapi ada juga masalah overconsumption+overproduction Respons Muslim progresif: penekanan pada tanggungjawab manusia yang didasarkan pada kebebasan yang diberikan Tuhan. Ide mengenai kesederhanaan, tidak berlebih-lebihan keadilan, yang diimplementasikan dalam kehidupan sosial-ekonomi-politik
Ilustrasi Tradisi Kristen Sally McFague: dari teologi (membayangkan model yang berbeda mengenai Tuhan) ......: Pergeseran dari Tuhan yang jauh/deisme ke “embodied God” yang terlibat .... sampai ekonomi-ekologi-ekumenisme, yang semuanya bersumber pada oikos “house rules” i) ambil hanya yang jadi bagianmu; ii) setelah memakai, bersihkan sendiri, dan iii) jagalah rumah tetap baik untuk generasi mendatang
Alberto Munera: menggunakan teologi pembebasan: “recover what is best in the tradition and apply that to the problems of population, ecology, and overconsumption” Teologi pembebasan sebagai teori keadilan. Krisi lingkungan dilihat paralel dengan sistem ekonomi tak adil yang memperlebar jurang kaya-miskin
Nilai terpenting: keadilan Dalam contoh-contoh di atas, tampak bagaimana persoalan krisis lingkungan dilacak hingga ke sistem ekonomi-politik, sampai ke basis nilai-nilainya (cf. Lynn White Jr.; Seyyed Hossein Nasr) Solusi: ... teologi diterjemahkan menjadi etika, menginspirasi suatu sikap politik. Nilai terpenting: keadilan “cinta alam” bukan hanya diterjemahkan menjadi pengagungan alam, tapi sumber krisis dilacak hingga ke sistem ekonomi-politik yang mengandaikan nilai-nilai tertentu
Aspek Lain: Kerjasama Antar-Agama Karena krisis ini adalah krisis yang mengenai manusia, tak peduli apa agamanya, atau berkebangsaan apa, maka bisa dan perlu dilakukan kerjasama antar-agama, untuk mensinergikan energi masing-masing agama dalam menghadapi masalah amat besar ini. Langkah-langkah penggalangan kerjasama global tampak, misalnya, dalam Piagam Bumi. Dengan demikian, selain merevitalisasi masing-masing agama, krisis lingkungan mungkin mampu pula menggalang solidaritas antar-agama
Di Indonesia? Di Indonesia, kesadaran pentingnya agama menyumbang pemecahan masalah lingkungan telah muncul: 2004, Sukabumi: ulama pesantren mengunjungi wilayah konservasi dan menggagas fiqih lingkungan (fiqh al-bi’ah) Sebagai lanjutannya: Deklarasi Bogor Beberapa pesantren telah melakukan sendiri upaya penghijauan Beberapa gereja juga terlibat dalam konservasi Di Yogya, sempat pula muncul “pesantren hijau” Kementrian Lingkungan melibatkan para pemuka agama untuk membantu kampanye lingkungan
Penutup Tekanan untuk merumuskan suatu jawaban untuk krisis lingkungan, pada gilirannya bisa memaksa kaum beragama me-revitalisasi agamanya, demi membuat-nya relevan,mampu memecahkan masalah. McKiben: “Ekologi dapat menyelamatkan agama, sebagaimana agama dapat menyelamatkan ekologi” (305)