LANGKAH MENCEGAH KEPUNAHAN KAIN SASIRANGAN PENDAHULAN SEJARAH SASISRANGAN PROSES PEMBUATAN MOTIF SASIRANGAN LANGKAH MENCEGAH KEPUNAHAN NILAI-NILAI SASIRANGAN KESIMPULAN
PENDAHULUAN Kain sasiragan merupakan kain khas suku banjar yang bersal dari kalimantan selatan. Kata “Sasirangan” berasal dari kata sirang (bahasa setempat) yang berarti diikat atau dijahit dengan tangan dan ditarik benangnya atau dalam istilah bahasa jahit menjahit dismoke/dijelujur. Kalau di Jawa disebut jumputan. Kain sasirangan dibuat dengan memakai bahan kain mori, polyester yang dijahit dengan cara tertentu. Kemudian disapu dengan bermacam-macam warna yang diinginkan, sehingga menghasilkan suatu bahan busana yang bercorak aneka warna dengan garis-garis atau motif yang
SEJARAH SASIRANGAN Kain Sasirangan sudah ada sejak zaman Kerajaan dahulu kala di Kalimantan Selatan, yaitu sekitar abad ke-17. Masyarakat Banjar percaya bahwa kain Sasirangan tidak hanya sebatas pakaian atau kain biasa saja, namun memiliki nilai sakral dan nilai magis yang tinggi. Kata Sasirangan berasal dari kata sirang yang berarti diikat atau dijahit dengan tangan dan ditarik benangnya atau dalam istilah menjahit disebut dengan dijelujur. Menurut cerita orang tua, dulunya Sasirangan digunakan sebagai pakain yang dipakai dalam upacara-upacara adat atau juga untuk menyembuhkan orang yang sakit. Menurut cerita rakyat masayarakat Banjar, kain Sasirangan yang pertama dibuat pada masa kerajaan Negara Dipa. Pada mulanya kain Sasirangan disebut dengan kain Langgundi, yaitu kain tenun yang berwarna kuning. Kain Langgundi merupakan kain yang digunakan sebagai bahan untuk membuat pakaian harian seluruh warga kerajaan Negara Dipa. Dikisahkan pada saat itu Patih Lambung Mangkurat sedang bertapa menggunakan lanting untuk mencari seorang raja untuk kerajaan Negara Dipa. Ketika sedang bertapa, Patih Lambung Mangkurat mendengar suara perempuan yang menanyakan maksudnya dan diapun menjelaskan maksud pertapaannya tersebut adalah untuk mencari seorang raja di kerajaanya. Suara perempuan itupun mengatakan bahwa raja yang sedang dicari oleh Patih Lambung Mangkurat itu adalah dirinya, namun perempuan itu mengatakan dia hanya akan menampkkan diri jika Patih Lambung Mangkurat memenuhi permintaanya. Perempuan itu meminta Patih Lambung Mangkurat untuk membuatkannya sebuah istana yang megah yang dibangun oleh 40 orang perjaka dan sehelai kain Langgundi yang ditenun oleh 40 orang perawan, yang keduanya itu harus selesai dalam waktu satu hari. Patih Lambung Mangkurat menyetujuinya dan langsung melaksanakanya.Pada saat yang telah ditentukan, maka perempuan itu menampakkan diri. Perempuan itu keluar dari dalam air dengan cantiknya dengan menggunakan kain Langgundi yang telah ditenun oleh 40 orang perawan. Perempuan itu disebut oleh warga kerajaan Negara Dipa dengan sebutan Putri Junjung Buih, karena muncul dari dalam air yang beriak/berbuih.
SEJARAH SASIRANGAN Sejak saat itulah warga kerajaan Negara Dipa tidak berani lagi menggunakan kain Langgundi/Sasirangan karena takut kualat terhadap Putri Junjung Buih. Hal ini mengakibatkan banyak pengrajin kain Langgundi yang tidak lagi membuatnya. Meskipun demikian tidak semuanya berhenti membuat kain Langgundi ini. Masih ada beberapa yang tetap membuatnya, namun tidak untuk dijadikan sebagai pakaian sehari-hari melainkan untuk pengobatan bagi penyakit yang bersifat magis.Menurut keyakinan masayarakat Banjar yang [kadang-kadang] masih dipengaruhi oleh kepercayaan animisme dan dinamisme, maka banyak penyakit yang disebabkan oleh gangguan makhluk halus dan kain Langgundi/Sasirangan merupakan suatu media untuk penyembuhannya. Biasanya penyakit yang dapat disembuhkan oleh kain Langgundi ini adalah penyakit pingitan, yaitu penyakit yang berasal dari ulah para leluhur yang tinggal di alam roh. Dalam kurun waktu tertentu akan ada anak, cucu, buyut, intah, ataupun yang lain akan terkena penyakit pingitan ini dan untuk penyembuhannya mereka harus mengenakan kain Langgundi. Sebagai media penyembuhan, kain Langgundi bisa digunakan sebagai sarung, kemben, selendang, atau juga ikat kepala (laung). Corak dan warna kain Langgundi sangatlah beragam, karena setiap jenis penyakit pingitan memerlukan corak dan warna kain Langgundi tertentu juga. Sejak digunakan menjadi media pengobatan, maka kain Langgundi lebih dikenal dengan sebutan kain Sasirangan. Pada saat yang telah ditentukan, maka perempuan itu menampakkan diri. Perempuan itu keluar dari dalam air dengan cantiknya dengan menggunakan kain Langgundi yang telah ditenun oleh 40 orang perawan. Perempuan itu disebut oleh warga kerajaan Negara Dipa dengan sebutan Putri Junjung Buih(Penguasa Alam Bawah), karena muncul dari dalam air yang beriak/berbuih.
PROSES PEMBUATAN cara pembuatan kain sasiragan sama seperti kian celup ikat : Pertama menyirang kain, Kain dipotong secukupnya disesuaikan untuk keperluan pakaian wanita atau pria. Kemudian kain digambar dengan motif-motif kain adat, lantas disirang atau dijahit dengan tangan jarang-jarang/renggang mengikuti motif. Kain yang telah dijahit, ditarik benang jahitannya dengan tujuan untuk mengencangkan jahitannya, sehingga kain mengerut dengan rapat dan kain sudah siap untuk masuk proses selanjutnya. Kedua penyiapan zat warna, Zat warna yang digunakan adalah zat warna untuk membatik. Semua zat warna yang untuk membatik dapat digunakan untuk pewarnaan kain sasirangan. Tapi zat warna yang sering digunakan saat ini adalah zat warna naphtol dengan garamnya. Bahan lainnya sebagai pembantu adalah soda api (NaOH), TRO/Sepritus, air panas yang mendidih. Mula-mula zat warna diambil secukupnya, kemudian diencerkan/dibuat pasta dengan menambahkan TRO/Spirtus, lantas diaduk sampai semua larut/melarut. Setelah zat melarut semua, kemudian ditambahkan beberapa tetes soda api dan terakhir ditambahkan dengan air panas dan air dingin sesuai dengan keperluan. Larutan harus bening/jernih. Untuk melarutkan zat warna naphtol sudah dianggap selesai dan sudah dapat dipergunakan untuk mewarnai kain sasirangan. Untuk membuat warna yang dikehendaki, maka zat warna naphtol harus ditimbulkan/dipeksasi dengan garamnya. Untuk melarutkan garamnya, diambil sesuai dengan keperluan kemudian ditambahkan air panas sedikit demi sedikit sambil diaduk-aduk kuat-kuat sehingga zat melarut semua dan didapatkan larutan yang bening. Banyaknya larutan disesuaikan dengan keperluan. Kedua larutan yaitu naphtol dan garam sudah dapat dipergunakan untuk mewarnai kain sasirangan, yaitu dengan cara pertama-tama mengoleskan/menyapukan zat warna naphtol pada kain yang telah disirang yang kemudian disapukan lagi/dioleskan larutan garamnya sehingga akan timbul warna pada kain sasirangan yang sudah diolesi sesuai dengan warna yang diinginkan. Setelah seluruh kain diberi warna, kain dicuci bersih-bersih sampai air cucian tidak berwarna lagi. Kain yang sudah bersih, kemudian dilepaskan jahitannya sehingga terlihat motif-motif bekas jahitan diantara warna-warna yang ada pada kain tersebut. Sampai disini proses pembuatan kain sasirangan telah selesai dan dijemur salanjutnya diseterika dan siap untuk dipasarkan. Lebih jelasnya lagi mari lihat video berikut
MOTIF SASIRANGAN Motif kain khas Kalimantan Selatan ini kerap dipakai oleh semua lapisan masyarakat, mulai dari golongan ekonomi menengah kebawah, hingga golongan kelas atas untuk berbagai kesempatan. Macam-macam motif Sasirangan yang populer digunakan oleh masyarakat lokal. Diantaranya : - Banawati - Bayan Raja - Bintang Batabur (Bintang Bahambur) - Dara Manginang - Gigi Haruan - Halalang Kasalukutun - Hiris Pudak - Kambang Cangkih - Kangkung Kaumbakan - Kukat Karikit - Mayang Maurai - Mega Mendung - Naga Balimbur - Ombak Sinampur Karang - Pancar Matahari - Putri Menangis - Ramah Sahang - Sarang Hundang - Taligapu - Tigarum Anum - Turun Dayang Sasirangan ini disesuaikan dengan jenis kain yang dipakai, seperti kain katun, mori, polyester dan kain suter.Pembuatan batik Sasirangan tidak diperlukan peralatan khusus, cukup dengan tangan saja untuk mendapatkan motif maupun corak tertentu, yakni melalui teknik jahitan tangan dan ikatan yang dibuat dengan teknik tusuk jelujur kemudian diikat tali rafia dan selanjutnya dicelup. Batik Sasirangan bisa digunakan dalam berbagai kesempatan. Bisa untuk kegiatan sehari-hari maupun menghadiri pesta perkawinan atau berbagai acara resmi lainnya. Coraknya yang beragam dan mencolok akan menambah cantik dan indah pemakainya
LANGKAH MENCEGAH KEPUNAHAN langkah-langkah strategis untuk menyelamatkan kain Sasirangan dari kepunahan. Sedikitnya ada tiga hal yang dapat dilakukan, yaitu: Melakukan transmisi pengetahuan nilai-nilai yang terkandung di dalam kain Sasirangan. Mungkin saja, semakin ditinggalkannya kain Sasirangan oleh masyarakat Kalimantan Selatan, karena masyarakat kurang mengetahui nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya. Oleh karenanya, momentum otonomi daerah harus dimanfaatkan seluas-luasnya untuk menanamkan nilai-nilai lokal kepada masyarakat. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah memasukkan kain Sasirangan dan segala turunannya ke dalam mata pelajaran muatan local. ). Dengan dimasukkan menjadi salah satu pelajaran mulok, maka akan terjadi proses transformasi nilai-nilai yang terkandung dalam kain Sasirangan, dengan demikian generasi muda akan semakin mencintai Keberpihakan secara politik. Harus ada kepedulian dari para pemegang kekuasaan untuk memberikan ruang kepada batik Sasirangan untuk berkembang dan mengembangkan dirinya . ). Misalnya memberikan pelatihan peningkatan mutu kepada pada pengrajin, bantuan modal, memfasilitasi penjualan, dan sebagainya. Revitalisasi. Setelah ada proses pewarisan (melalui pendidikan) dan konstruksi kesadaran melalui “intervensi” politik, maka hal lain yang harus dilakukan adalah melakukan revitalisasi dalam: (1). Pemanfaatan kain secara lebih luas. Jika pada awalnya kain Sasirangan hanya digunakan untuk keperluan “jimat” dan pembuatan pakaian untuk keperluan upacara adat, maka mungkin perlu juga mengkreasi (baca: memodifikasi) kain Sasirangan sedemikian rupa sehingga model yang dihasilkan mencerminkan busana modern sehingga generasi muda tidak malu untuk menggunakannya ). (2). Ekonomisasi. Seringkali sebuah kebudayaan ditinggalkan oleh para pendukungnya, bukan karena kebudayaan itu jelek, tetapi karena ia tidak mampu menjanjikan kehidupan yang lebih baik kepada penyokongnya . Oleh karenanya, pengembangan-pengembangan mode sehingga kain Sasirangan dapat diterima oleh pasar perlu terus dilakukan.
NILAI-NILAI SASIRANGAN Di antara nilai-nilai tersebut : nilai keyakinan, nilai budaya, dan nilai ekonomi. Nilai keyakinan. Dengan meneroka sejarah keberadaan kain Sasirangan, maka akan diketahui pola perkembangan keyakinan masyarakat Kalimantan Selatan. Keyakinan masyarakat bahwa kain tersebut pertama kali dibuat oleh Patih Lambung Mangkurat untuk memenuhi permintaan Putri Junjung Buih sebagai prasayarat untuk menampakkan diri, menunjukkan bahwa kain Sasirangan mempunyai nilai supranatural. Oleh karenanya, masyarakat Kalimantan Selatan juga meyakini bahwa kain ini mempunyai kekuatan untuk mengusir roh-roh jahat. Keyakinan tersebut secara jelas menunjukkan bahwa kain ini merupakan pengejawantahan dari keyakinan masyarakat Kalimantan Selatan. Nilai budaya. Kain Sasirangan merupakan salah satu bentuk pencapaian kebudayaan masyarakat Kalimantan Selatan. Pemilihan bahan, cara pewarnaan, warna yang digunakan, dan pembuatan motif-motifnya, merupakan pengejawantahan dari hasil membaca dan memahami masyarakat Kalimantan Selatan terhadap alam dan fenomenanya. Selain itu, munculnya motif-motif kombinasi juga menunjukkan kreatifitas orang Kalimantan Selatan. Dengan kata lain, kain Sasirangan merupakan hasil dari pemikian masyarakat Kalimantan Selatan yang termanifestasi dalam produk yang memiliki nilai kultural. Nilai ekonomis. Seiring perkembangan zaman, masyarakat semakin menyadari adanya potensi ekonomi yang terkandung dalam kain Sasirangan. Hal ini dapat dilihat dari semakin banyaknya penggunaan kain Sasirangan, dari sekedar alat pengusir roh-roh jahat menjadi berbagai macam aneka produk, seperti baju pesta, sandal, tas, dan dompet. Selain itu, semakin dihargainya hasil kerajinan lokal memberikan nilai tambah ekonomis pada Sasirangan. Namun demikian, harus juga diperhatikan bahwa ekonomisasi tanpa memahami spirit yang terkandung dalam Sasirangan dapat menghilangkan “ruh” yang ada di dalamnya. Penggunaan pewarna kimiawi misalnya, mungkin saja akan lebih mengefektifkan pembuatan kain Sasirangan, tetapi juga harus disadari bahwa penggunaan pewarna kimia dapat merusak nilai-nilai lokal yang terkandung dalam kain Sasirangan.
KESIMPULAN Kain sasiragan merupakan kain khas suku banjar dari kalimantan selatan. Kita sebagai putra dan putri indonesia harus bisa mempertahankan budaya kita dan tunjukan pada mata dunia kita bangsa yang berbudaya Karena, oleh sebab itu marilah kita jaga budaya kita agar kebudayaan tidak di akui negara dan bangsa lain.