Disampaikan dalam Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh BEM Fisipol UMY dan Komisariat HMI MPO Fisipol UMY Yogyakarta
Mazhab klasik; Vilfredo Pareto, Aristoteles, kelompok yang memiliki keunggulan fisik, dan psikologis Mazhab modern, Gaetano Mosca, Robert Mitchel, Sussanne Keller, kelompok yang mampu menempatkan positioning yang lebih baik dalam merepresentasikan masyarakat Mazhab Islam, Sunni, Syi’ah, kelompok yang memiliki keunggulan psikologis (dzurriyat) dan etnis
Konsepsi kepemimpinan yang kuat, dalam konteks budaya Asia, seringkali dikaitkan dengan tradisi legitimasi berbasis tradisonal, karismatik dan militeristik Sejarah Asia menunjukkan kuatnya karakter kepemimpinan di Asia, berhubungan negatif dengan pola demokratisasi Sukarno, Unu, Gamal Abdul Nasser, Jawaharal Nehru, Ferdinand Marcos, Lee Kuan Yew, LEBIH sebagai regim Otoriter daripada regim yang demokratis
Bagaimana membangun transformasi kepemimpinan yang kuat, namun menjunjung nilai-nilai demokrasi dan kolegialitas
Iran, 1979, krisis identitas akibat teralienasi budaya Syiah, muncul elit kharismatik Ayatollah Khoemeini, dan melahirkan pelembagaan politik demokrasi Pakistan, 1989, krisis politik dan ekonomi akibat tekanan eksternal, muncul elit kharismatik yang menggandalkan politik dinasti,Benazir Bhutto, dan belum menghasilkan pelembagaan politik demokrasi Filipina, 1988, krisis politik nasional akibat kemunduran ekonomi, muncul elit Cory Aquino yang menggantikan posisi politik Ninoy Aquino, dan belum menghasilkan pelembagaan politik demokrasi Indonesia, 1998, krisis nasional akibat tekanan ekonomi internasional, muncul elit kharismatik Gus Dur, menghasilkan pelembagaan politik demokrasi namun dengan sirkulasi elit yang terbatas. (loe lagi loe lagi)
Mensitir Donald K. Emmerson, masalah kepemimpinan di Indonesia merujuk kepada 2 kompetensi besar; Solidarity maker, terkait dengan upaya membangun integritas nasional yang kokoh Administrative maker, terkait dengan kapasitas mengelola sumber daya alam yang tersebar
Solidarity maker membutuhkan keunggulan psikologis,karisma, dan kenegarawanan. Mengambil contoh Ayatollah Khoemeini, pemimpin ini dilahirkan, dijaga, dan diberikan ruang oleh masyarakat, sehingga kemudian mendapatkan posisi yang sangat kuat dalam tradisi syiah sebagai Marja’I Taklid. Bagaimana dengan para elit dengan kompetensi solidarity maker kita?
Elit-elit yang memiliki kompetensi sebagai solidarity maker seringkali justru berperan sebagai trouble maker. Elit-elit solidarity maker masih menempati maqam politik Thariqat, harusnya menempati ruang hakekat dan makrifat, dalam bentuk masih berusaha mencari jati diri, berevolusi, masih berkeinginan memasuki wilayah low politic sehingga pilihan kebijakannnya belum mencapai derajat “wisdom”, namun masih menempati posisi “policy”.
Administrative maker membutuhkan keunggulan tehnis dan jaringan, dinamis, negosiator ulung, konseptor. Mengambil contoh Fidel Ramos, yang mampu meningkatkan derajat perekonomian Filipina setelah dalam 10 tahun terakhir terpuruk dengan pembuatan kebijakan internasionalisasi karakter budaya filipina, meskipun dalam tataran minimal; dengan meneruskan kebijakan Inggrisasi bahasa filipina. Atau kebijakan Mahathir Muhammad, untuk merubah tradisi jam waktu. Jam waktu di malaysia mendahului jam waktu di Singapura, bahkan Indonesia. Dalam bentuk konseptor, kapasitas administrative make harus mampu merubah “mental block” masyarakat, dari masyarakat yang tidak berdaya menjadi masyarakat yang berdaya. Bagaimana dengan para elit dengan kompetensi administrative maker kita ?
Administrative maker cenderung didefinisikan dengan pengalaman di birokrasi, dan aktivitas di belakang meja, di bawah meja dan bukan di atas meja. Administrative maker bukan menjadi penjaga birokrasi yang rasional dan effektif, namun justru menjadi penjaga mental korupsi