HOLING (KALINGGA)
Berita dari Dinasti Tang (618-906), Holing terletak di pulau Laut Selatan ( kemudian diperkirakan terletak di Gunung Muria Jawa Tengah) Raja Raja yang terkenal Ratu Sima memerintah 674. Terkenal karena adil dan Bijaksana sehingga musuhpun segan kepadanya Agama Penganut Budha Pada jamannya datang pendeta Hwining dari cina yang menterjemahkan kitab yang dibantu oleh pendeta kerajaan yang bernama Jnanabadhra. Mata Pencahariannya Pertanian Perdagangan.
Kisah Ratu Hsima Suatu siang di Keling, Kelet, Jepara, Jawa Tengah, sekitar tahun 630 M. Saat itu, ratusan warga Kerajaan Kalingga berkumpul di alun-alun depan istana. Mereka semua menunduk, merasa bersalah dan siap menerima hukuman. Pemicunya, sebuah perhiasan emas yang dihamparkan di tengah alun-alun hilang pada hari ke 40. Siapakah pencurinya ? Kejadian tersebut bermula ketika pemimpin negeri, Ratu Shima menguji kepatuhan rakyatnya terhadap hukum. Saat itu, Kerajaan Kalingga merupakan kerajaan yang terhampar sepanjang pantai utara Jawa dan mencapai puncaknya ketika dipimpin seorang raja perempuan. .
Pengaruh kewibawaan kerajaan dan penegakan hukum menyebar hingga ke negeri Tiongkok. Menurut catatan para saudagar Tiongkok, nyaris tak ada pelanggaran hukum di negeri cikal bakal Kerajaan Galuh dan Kerajaan Mataram Kuno tersebut. Hingga tibalah waktu Ratu Shima menguji kepatuhan hukum rakyatnya. Untuk mengujinya, dia hamparkan segala perhiasan emas dan barang berharga di alun-alun kerajaan. Hari pertama, harta tak ada yang mengambil. Hari ke dua pun serupa. Hingga hari ke 39, tak ada satupun warga yang berani menyentuh perhiasan yang tak ternilai tersebut. Sampai datang malam ke 40, sebuah perhiasan emas raib dari tempat semula. Seluruh rakyat pun gempar.
Lalu, untuk mengungkap siapakah pelakunya, dikumpulkanlah seluruh rakyat di alun-alun. “Siapakah yang mencuri perhiasan ?,” kata Ratu Shima kepada rakyatnya. Semua diam dan menunduk. Tak satu pun yang angkat bicara. Hingga datanglah dari belakang kerumunan, dengan tergopoh-gopoh, seorang perawat kuda memberanikan berbicara. ”Maafkan hamba tuanku, saya siap dihukum mati jika salah. Tapi saya melihat dengan mata kepala saya sendiri jika putra makhota yang mengambil perhiasan tersebut,” ujarnya. Semua tercekat. Tak terkecuali perempuan nomor satu di kerajaan tersebut. Seakan tak ada yang percaya dengan kesaksian seorang perawat kuda tersebut.
Guna memastikan, dipanggillah putra makhota Guna memastikan, dipanggillah putra makhota. Dan lagi-lagi, semua seakan tak ada yang percaya, jika putra makhota mengakui semua perbuatannya. Mendapat pengakuan ini, Ratu Shima, penguasa kerajaan, ibu yang membesarkan putra makhkota sejak kecil langsung bersabda, “Wahai prajurit, potong tangan putra makhota sebagai hukuman. Hukum harus ditegakkan dan supaya negeri dijauhkan dari kutukan sang pencipta,” titah ratu dengan tegas. Rakyat pun tercekat. Mereka kagum dan takjub atas keberanian sang raja menghukum orang yang bersalah, meski anaknya sendiri. Kisah Ratu Shima yang terkenal dengan kecantikan, kewibawaan serta ketegasannya kini dapat dilihat di prasasti Kalingga serta catatan para saudagar Tiongkok.
KERAJAAN MELAYU
Kerajaan Melayu atau bisa disebut Malayu, Kerajaan Dharmasraya, atau Kerajaan Jambi berdiri antara abad ke 7 dan ke 14 Berita pertama kali yang menerangkan keberadaan Kerajaan Melayu di Sumatra, yaitu dari Dinasti Tang. Menurut catatan Dinasti Tang, utusan Negri Mo – Lo – Yeu ( Melayu ) pernah datang ke Cina pada tahun 644 dan 645 M.
Berita It-sing Berita tentang Kerajaan Melayu antara lain diketahui dari dua buah buku karya Pendeta I-tsing atau I Ching (634-713, dalam pelayarannya dari Cina ke India tahun 671, singgah di negeri Sriwijaya enam bulan lamanya untuk mempelajari Sabdawidya (tatabahasa Sansekerta). Ketika pulang dari India tahun 685, I-tsing bertahun-tahun tinggal di Sriwijaya untuk menerjemahkan naskah-naskah Buddha dari bahasa Sansekerta ke bahasa Cina. I-tsing kembali ke Cina dari Sriwijaya tahun 695. Ia menulis dua buah bukunya yang termasyhur yaitu Nan-hai Chi-kuei Nei-fa Chuan (Catatan Ajaran Buddha yang dikirimkan dari Laut Selatan) serta Ta-T’ang Hsi-yu Ch’iu-fa Kao-seng Chuan (Catatan Pendeta-pendeta yang menuntut ilmu di India zaman Dinasti Tang)[7].
Kisah pelayaran I-tsing dari Kanton tahun 671 diceritakannya sendiri, dengan terjemahan sebagai berikut “Ketika angin timur laut mulai bertiup, kami berlayar meninggalkan Kanton menuju selatan .... Setelah lebih kurang dua puluh hari berlayar, kami sampai di negeri Sriwijaya. Di sana saya berdiam selama enam bulan untuk belajar Sabdawidya. Sri Baginda sangat baik kepada saya. Beliau menolong mengirimkan saya ke negeri Malayu, di mana saya singgah selama dua bulan. Kemudian saya kembali meneruskan pelayaran ke Kedah .... Berlayar dari Kedah menuju utara lebih dari sepuluh hari, kami sampai di Kepulauan Orang Telanjang (Nikobar) .... Dari sini berlayar ke arah barat laut selama setengah bulan, lalu kami sampai di Tamralipti (pantai timur India)”
Perjalanan pulang dari India tahun 685 diceritakan oleh I-tsing sebagai beriku “Tamralipti adalah tempat kami naik kapal jika akan kembali ke Cina. Berlayar dari sini menuju tenggara, dalam dua bulan kami sampai di Kedah. Tempat ini sekarang menjadi kepunyaan Sriwijaya. Saat kapal tiba adalah bulan pertama atau kedua .... Kami tinggal di Kedah sampai musim dingin, lalu naik kapal ke arah selatan. Setelah kira-kira sebulan, kami sampai di negeri Malayu, yang sekarang menjadi bagian Sriwijaya. Kapal-kapal umumnya juga tiba pada bulan pertama atau kedua. Kapal-kapal itu senantiasa tinggal di Malayu sampai pertengahan musim panas, lalu mereka berlayar ke arah utara, dan mencapai Kanton dalam waktu sebulan.”
. Munculnya Wangsa Mauli Setelah Serangan Rajendra cola 102, Prasasti tertua yang pernah ditemukan atas nama raja Mauli adalah Prasasti Grahi tahun 1183 di selatan Thailand. Prasasti itu berisi perintah Maharaja Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa kepada bupati Grahi yang bernama Mahasenapati Galanai supaya membuat arca Buddha seberat 1 bhara 2 tula dengan nilai emas 10 tamlin. Yang mengerjakan tugas membuat arca tersebut bernama Mraten Sri Nano. Prasasti kedua berselang lebih dari satu abad kemudian, yaitu Prasasti Padang Roco tahun 1286. Prasasti ini menyebut adanya seorang raja bernama Maharaja Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa. Ia mendapat kiriman arca Amoghapasa dari atasannya, yaitu Kertanagara raja Singhasari di Pulau Jawa. Arca tersebut kemudian diletakkan di kota Dharmasraya.
Dharmasraya dalam Pararaton disebut dengan nama Malayu Dharmasraya dalam Pararaton disebut dengan nama Malayu. Dengan demikian, Tribhuwanaraja dapat pula disebut sebagai raja Malayu. Tribhuwanaraja sendiri kemungkinan besar adalah keturunan dari Trailokyaraja. Oleh karena itu, Trailokyaraja pun bisa juga dianggap sebagai raja Malayu, meskipun Prasasti Grahi tidak menyebutnya dengan jelas. Yang menarik di sini adalah daerah kekuasaan Trailokyaraja pada tahun 1183 telah mencapai Grahi, yang terletak di selatan Thailand (Chaiya sekarang). Itu artinya, setelah Sriwijaya mengalami kekalahan, Malayu bangkit kembali sebagai penguasa Selat Malaka. Namun, kapan kiranya kebangkitan tersebut dimulai tidak dapat dipastikan, dari catatan Cina [9] disebutkan bahwa pada tahun 1082 masih ada utusan dari Chen-pi (Jambi) sebagai bawahan San-fo-ts'i, dan disaat
bersamaan muncul pula utusan dari Pa-lin-fong (Palembang) yang masih menjadi bawahan keluarga Rajendra. Istilah Srimat yang ditemukan di depan nama Trailokyaraja dan Tribhuwanaraja berasal dari bahasa Tamil yang bermakna ”tuan pendeta”. Dengan demikian, kebangkitan kembali Kerajaan Malayu dipelopori oleh kaum pendeta. Namun, tidak diketahui dengan jelas apakah pemimpin kebangkitan tersebut adalah Srimat Trailokyaraja, ataukah raja sebelum dirinya, karena sampai saat ini belum ditemukan prasasti Wangsa Mauli yang lebih tua daripada prasasti Grahi.
Naskah Pararaton dan Kidung Panji Wijayakrama menyebutkan pada tahun 1275, Kertanagara mengirimkan utusan Singhasari dari Jawa ke Sumatera yang dikenal dengan nama Ekspedisi Pamalayu yang dipimpin oleh Kebo Anabrang. Prasasti Padang Roco tahun 1286 menyebutkan tentang pengiriman arca Amoghapasa sebagai tanda persahabatan antara Singhasari dengan Dharmasraya. Pada tahun 1293 tim ini kembali dengan membawa serta dua orang putri Malayu bernama Dara Jingga dan Dara Petak. Untuk memperkuat persahabatan antara Dharmasraya dengan Singhasari, Dara Petak dinikahkan dengan Raden Wijaya yang telah menjadi raja Kerajaan Majapahit mengantikan Singhasari. Pernikahan ini melahirkan Jayanagara, raja kedua Majapahit.
Sementara itu, Dara Jingga diserahkan kepada seorang “dewa” Sementara itu, Dara Jingga diserahkan kepada seorang “dewa”. Ia kemudian melahirkan Tuan Janaka yang kelak menjadi raja Pagaruyung bergelar Mantrolot Warmadewa. Namun ada kemungkinan lain bahwa Raden Wijaya juga mengambil Dara Jingga sebagai istri, karena hal ini lumrah sebab Raden Wijaya pada waktu itu telah menjadi raja serta juga memperistri semua anak-anak perempuan Kertanagara. Dan ini dilakukan untuk menjaga ketentraman dan kestabilan kerajaan setelah peralihan kekuasaan di Singhasari. Sebagian sumber mengatakan bahwa Mantrolot Warmadewa identik dengan Adityawarman Mauli Warmadewa, putra Adwayawarman. Nama Adwayawarman ini mirip dengan Adwayabrahma, yaitu salah satu pengawal arca Amoghapasa dalam prasasti Padangroco tahun 1286
Saat itu Adwayabrahma menjabat sebagai Rakryan Mahamantri dalam pemerintahan Kertanagara. Jabatan ini merupakan jabatan tingkat tinggi. Mungkin yang dimaksud dengan “dewa” dalam Pararaton adalah tokoh ini. Dengan kata lain, Raden Wijaya menikahkan Dara Jingga dengan Adwayabrahma sehingga lahir Adityawarman. Adityawarman sendiri nantinya menggunakan gelar Mauli Warmadewa. Hal ini untuk menunjukkan kalau ia adalah keturunan Srimat Tribhuwanaraja. Nama Adityawarman disebutkan pada arca Manjusri di Candi Jago, Jawa Timur. Di dalam prasasti tersebut diterangkan bahwa Adityawarman bersama – sama Gajah Mada telah berhasil menaklukkan Pulau Bali 1343
Adityawarman merupakan salah seorang putra Majapahit keturunan Melayu yaitu putra dari R. Wijaya dan Dara Jingga (asli Melayu). Sebelum menjadi raja Melayu ia pernah menjadi menteri di Majapahit. Setelah menjadi raja Melayu, dia berhasil mengembangkan kekuasaannya dengan menguasai daerah Pagaruyung (Minangkabau). Adityawarman merupakan penganut agama Budha Tantrayana (kalacakra). Pemerintahan Adityawarman berakhir pada tahun 1375 M, dan setelah meninggal dunia diwujudkan dalam patung Bhairawa. Ia digantikan oleh anaknya yg bernama Anangwarman (tidak diketahui ceritanya).