HARMFUL TAX PRACTICES & INTERNATIONAL TAX AVOIDANCE
HARMFUL TAX PRACTICES Tax Haven Country dan Preferential Tax Regime Controlled Foreign Corporations (CFC) Transfer Pricing Thin Capitalization Treaty Shopping
CONTROLLED FOREIGN CORPORATIONS (CFC)
CONTROLLED FOREIGN CORPORATIONS (CFC) Pengertian: Perusahaan yang berkedudukan di luar negeri (offshore company) akan dianggap sebagai CFC oleh suatu negara apabila perusahaan luar negeri tersebut dikuasai oleh penduduk negara tersebut.
CONTROLLED FOREIGN CORPORATIONS (CFC) Potensi Permasalahan: Dengan menempatkan perusahaan di negara lain (CFC), investor dapat menunda pemajakan penghasilan yang berasal dari pengoperasian perusahaan di luar negeri dengan cara menunda pendistribusian laba (dividen) kepadanya.
CONTROLLED FOREIGN CORPORATIONS (CFC) Solusi: Penerapan CFC Rule Apabila suatu perusahaan yang berkedudukan di luar negeri (offshore company) telah dianggap sebagai CFC oleh suatu negara, maka negara tersebut berwenang menentukan saat perolehan penghasilan yang berasal dari CFC tersebut. CFC Rule di Indonesia: - Pasal 18 ayat (2) UU PPh - PMK 256/PMK.03/2008 - PER-59/PJ/2010
KMK Nomor 164/KMK.03/2002 Penggabungan penghasilan yang berasal dari luar negeri dilakukan sebagai berikut: untuk penghasilan dari usaha dilakukan dalam tahun pajak diperolehnya penghasilan tersebut; untuk penghasilan lainnya dilakukan dalam tahun pajak diterimanya penghasilan tersebut; untuk penghasilan berupa dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) UU PPh, dilakukan dalam tahun pajak pada saat perolehan deviden tersebut ditetapkan sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Pasal 18 ayat (2) UU PPh Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak dalam negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek, dengan ketentuan sebagai berikut: besarnya penyertaan modal Wajib Pajak dalam negeri tersebut paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor; atau secara bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam negeri lainnya memiliki penyertaan modal paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor.
PMK 256/PMK.03/2008 Wajib Pajak dalam negeri yang: memiliki penyertaan modal paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor pada badan usaha di luar negeri; atau secara bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam negeri lainnya memiliki penyertaan modal paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor pada badan usaha di luar negeri.
PMK 256/PMK.03/2008 Saat diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak dalam negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek adalah: pada bulan keempat setelah berakhirnya batas waktu kewajiban penyampaian surat pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan badan usaha di luar negeri tersebut untuk tahun pajak yang bersangkutan; atau pada bulan ketujuh setelah tahun pajak berakhir apabila badan usaha di luar negeri tersebut tidak memiliki kwajiban untuk menyampaikan surat pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan atau tidak ada kem/ .tentuan batas waktu penyampaian surat pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan.
PMK 256/PMK.03/2008 Besarnya dividen yang wajib dihitung oleh Wajib Pajak dalam negeri sebagaimana tersebut di atas adalah sebesar jumlah dividen yang menjadi haknya terhadap laba setelah pajak yang sebanding dengan penyertaannya pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek. Ketentuan tersebut di atas tidak berlaku apabila sebelum batas waktu saat perolehan dividen sebagaimana diatur dalam PMK ini, badan usaha di luar negeri dimaksud sudah membagikan dividen yang menjadi hak Wajib Pajak. Dividen sebagaimana dimaksud butir 1) dan 2) di atas wajib dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk tahun pajak saat dividen tersebut dianggap diperoleh.
PMK 256/PMK.03/2008 Dalam hal Wajib Pajak dalam negeri menerima pembagian dividen dalam jumlah yang melebihi jumlah dividen yang telah dilaporkan berdasarkan ketentuan PMK ini, atas kelebihan jumlah dividen tesebut wajib dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan pada tahun pajak dibagikannya dividen tersebut. Dalam hal Wajib Pajak dalam negeri menerima pembagian dividen selain dividen yang telah dilaporkan berdasarkan ketentuan PMK ini, dividen tersebut wajib dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan pada tahun pajak dibagikannya dividen tersebut. Contoh perhitungan: Perdirjen PER-59/PJ/2010
Contoh: WP A berkedudukan di negara X yg mengenakan tarif pajak sebesar 25%. WP A mendirikan persh H Ltd di negara Y yg tdk mengenakan pajak (tax haven country). Selanjutnya H Ltd melakukan investasi di anak persh B Corp di negra Z yg mengenakan tarif 10%. Saat B Corp membagikan deviden ke H Ltd, akan dikenakan pajak di negra Z sebesar 10%. Deviden yg diterima merup penghasilan H Ltd yg tdk dikenakan pajak di negara Y. Jika H Ltd membagikan deviden kepada WP A di negara X , akan dikenakan pajak sebesar 25%, sehingga lebih baik H Ltd menahan pembagian deviden tsb. Dng demikian pengenaan pajak sebesar 25% oleh negara X dpt ditunda .
Negara Z (tarif pajak 10%) B corp B corp Negara Z (tarif pajak 10%) 10% 10% Negara Y (tarif pajak 0%) – Tax Haven Country H Ltd 25% Negara X (tarif pajak 25%) WP A WP A
SPECIAL PURPOSE COMPANY UU PPh pasal 18 ayat 3(b) : WP yg melakukan pembelian saham atau aktiva persh melalui pihak lain atau badan yg dibentuk untk maksud demikian (special purpose company), dapat ditetapkan sebagai pihak yg sebenarnya melakukan pembelian tsb sepanjang WP yg bersangkutan mempunyai hubungan istimewa dng pihak lain atau badan tsb dan terdapat ketidak wajaran penetapan harga. ketentuan ini dimaksud untk mencegah penghindaran pjk oleh WP yg melakukan pembelian saham/penyertaan pada suatu persh WPDN melalui persh luar negeri yg didirikan khusus untk tujuan tsb (special purpose company)
PMK No. 140/PMK.03/2010 : Pembelian saham atau aktiva WP badan dlm negeri oleh suatu pihak atau badan yg dibentuk khusus untk maksud demikian (special purpose company), dpt ditetapkan sebagai pembelian yg dilakukan oleh WPDN lainnya, sebagai pihak yg sebenarnya melakukan pembelian dimaksud, sepanjang: WPDN yg ditetapkan sebagai pihak yg sebenarnya melakukan pembelian tsb, mempunyai hubungan istimewa dng pihak atau badan yg dibentuk, dng maksud melakukan pembelian saham atau aktiva perusahaan (special purpose company): dan Terdapat ketidakwajaran penetapan harga pembelian.
Saham atau aktiva perusahaan sebagaimana dimaksud pada poin (1) adalah: Saham atau aktiva yg sebelumnya dimiliki dan/atau dijaminkan oleh WPDN yg ditetapkan sebagai pihak yg sebenarnya melakukan pembelian, sehubungan dng perjanjian utang piutang; atau Aktiva yg merupakan aset kredit (piutang) kepada WPDN yg ditetapkan sebagai pihak yg sebenarnya melakukan pembelian, sehubungan dng perjanjian utang piutang.
Pihak atau badan yg dibentuk dengan maksud melakukan pembelian saham atau aktiva perusahaan (special purpose company) sebagaimana dimaksud pada poin (2) merupakan pihak atau badan yg tidak mempunyai substansi usaha dan yg dibentuk oleh WPDN yg bertujuan antara lain untuk membeli saham atau aktiva WPDN lainnya.
Contoh: PT. ABC dimiliki oleh XYZ Ltd Hongkong melalui anak perusahaan SPV XYZ Ltd yg berada di Cayman Island . Apabila dipandang sudah tidak menguntungkan lagi, PT. ABC dapat dijual ke perusahaan lainnya. Namum yg dijual adalah saham XYZ Ltd Hongkong di SPV XYZ Ltd Cayman Island bukan saham SPV XYZ Ltd di PT. ABC. (lihat Keputusan Menteri Keuangan No. 434/KMK.04/1999)
HIJ Corp Amerika XYZ Ltd Hongkong HIJ Corp Amerika SPV XYZ Ltd Cayman Island SPV XYZ Ltd Cayman Island PT ABC Indonesia PT ABC Indonesia Jika HIJ Corp Amerika untk menguasai PT ABC dg cara membeli saham PT ABC langsung dari SPV XYZ Ltd Cayman Island akan terhutang PPh Ps 26 (tarif 5% ) Final Jika untk menguasai PT ABC dg cara membeli saham SPV XYZ Cayman Island dari XYZ Ltd Hongkong tidak terhutang PPh Ps 26 (penguasan tdk langsung) PT.ABC Indonesia
THIN CAPITALIZATION Pengertian: Thin capitalization adalah pembentukan struktur permodalan suatu perusahaan dengan kontribusi hutang sebanyak mungkin dan modal sesedikit mungkin.
THIN CAPITALIZATION Potensi Permasalahan: Pajak yang seharusnya menjadi hak suatu negara dapat dialihkan ke negara lain. Modus: Dalam membiayai subsidiary-nya, suatu holding company akan memberikan kontribusi berupa hutang (bukan modal).
THIN CAPITALIZATION Solusi: Thin Capitalization Rules Negara mempunyai kewenangan untuk menentukan tingkat kewajaran perbandingan hutang dan modal dalam struktur permodalan, serta sekaligus membatasi jumlah biaya bunga yang dapat dijadikan unsur pengurang penghasilan. CFC Rule di Indonesia: - Pasal 18 (1) UU PPh - KMK Nomor 1002/KMK.04/1984 - KMK Nomor 254/KMK.01/1985
Pasal 18 (1) UU PPh Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan keputusan mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal perusahaan untuk keperluan penghitungan pajak berdasarkan Undang-undang ini.
KMK Nomor 1002/KMK.04/1984 Perbandingan antara hutang dan modal tidak boleh melebihi 3:1. Jumlah hutang adalah jumlah rata-rata hutang pada tiap akhir bulan. Jumlah modal adalah sebesar penyertaan modal oleh pemegang saham pada akhir tahun (termasuk Laba Ditahan). Apabila perbandingan antara hutang dan modal tersebut melebihi 3:1, maka biaya bunga yang dapat menjadi unsur pengurang harus dihitung kembali dengan mengoreksi terlebih dahulu jumlah hutang yang diizinkan sebesar 3 x jumlah modal.
KMK Nomor 1002/KMK.04/1984 Contoh: Biaya bunga: Rp 1.000.000.000 Rata-rata jumlah hutang: Rp 5.000.000.000 Modal pada akhir tahun: Rp 1.000.000.000 Biaya bunga dihitung kembali sebagai berikut: Hutang yang diizinkan = 3 x jumlah modal = 3 x Rp1.000.000.000 = Rp3.000.000.000 Biaya bunga yang diizinkan: Rp1.000.000.000 x (Rp3.000.000.000/Rp5.000.000.000) = Rp600.000.000
KMK Nomor 254/KMK.01/1985 Penentuan besarnya perbandingan antara hutang dan modal sebagaimana dimaksud dalam KMK Nomor 1002/KMK.04/1984 dikuatirkan dapat menghambat perkembangan dunia usaha Pelaksanaan KMK 1002/KMK.04/1984 ditangguhkan sampai saat yang ditentukan kemudian oleh Menteri Keuangan.
TREATY SHOPPING Taxpayers who are not residents or nationals of a Contracting States have sought to obtain the benefits of a tax treaty by organizing a corporation or other legal entity in one of the Contracting States to serve as a conduit for income earned in the other Contracting State. Merupakan suatu cara untuk mendapatkan manfaat suatu tax treaty oleh pihak yang sebenarnya tidak berhak atas manfaat tax treaty tsb. Treaty Shopping biasanya melibatkan para pihak yg mempunyai hubungan istimewa, atau bahkan dengan sengaja mendirikan perusahaan yang semata-mata untk tujuan penghindaran pajak (special purpose company)
Prevention of TREATY SHOPPING “limitation of benefits” article in the DTA (double taxation agreement) To deny treaty benefits to a corporation that is resident of one of Contracting States but is in effect serving as a conduit for residents of some third country (in other words, income it obtains in the other Contracting State is not derived from the active conduct of a trade or business in its country of residence). beneficial ownership anti-abuse provision
Transaksi Pemberian Pinjaman Negara R (Indonesia) Pinjaman Rp 100 M Bunga 10% PT A PT B Penghasilan Bunga Rp 10M Penghasilan : Rp 10.000.000.000 PPh Ps 17 : Rp 2.500.500.000 Kredit Pajak : Rp 1.500.000.000 Kurang Byr : Rp 1.000.000.000 Memotong PPh Ps 23 : 15% X Rp 10M = Rp 1,5 M (tidak final)
Rp 100 M (penyertaan modal) Treaty Shopping Indonesia Rp 100 M (penyertaan modal) Negara Tax Haven (Territorial Income) PT A PT B A Subsidiary Bunga Bunga Rp 100 milyar (pinjaman) Rp 100 milyar (pinjaman) Belanda A BV