Ajaran Sosial Gereja Kunci Identitas Katolik Sumber: Office for Social Justice Archdiocese of Saint Paul and Minneapolis 328 West Kellogg Blvd., St. Paul, MN 55102 651-291-4477 http://www.osjspm.org
Masalah Banyak orang katolik tidak mengenal dengan isi pokok Ajaran Sosial Gereja. Lebih mendasar lagi, banyak orang katolik tidak cukup memahami bahwa misi sosial Gereja merupakan bagian pokok atau esensial iman katolik. Ini menjadi tantangan serius bagi semua orang katolik, karena hal ini memperlemah kemampuan kita untuk menjadi sebuah Gereja yang sungguh sesuai dengan tuntutan-tuntutan Injil. Kita perlu lebih banyak membagikan misi sosial dan pesan sosial Gereja kita.
Kunci menuju Identitas Katolik Pesan pokoknya sederhana: iman kita secara mendasar bersifat sosial. Kita tidak dapat disebut sebagai orang katolik sejati kecuali kalau kita mendengar dan melaksanakan panggilan Gereja untuk melayani mereka yang membutuhkan dan panggilan untuk bekerja demi keadilan dan perdamaian.
Gereja Menurut Konsili Vatikan II Gereja adalah tanda dan penjaga keselamatan martabat pribadi manusia. Suatu organisasi keagamaan yang tujuannya adalah untuk membantu terwujudnya Kerajaan Allah dalam sejarah dunia. Tugas Kerasulan Sosial adalah merupakan tugas “konstitutif” dan bukaknnya ekstra-kurikuler ataupun sekedar pilihan. Gereja melaksanakan tugas religiusnya dengan terlibat dalam perjuangan konkret masyarakat. Bekerja bagi keadilan sosial dan martabat manusia oleh karenanya merupakan suatu tindakan religius.
Keadilan dalam Dunia, Sinode Uskup 1971 Tindakan atas nama keadilan dan partisipasi dalam perubahan dunia sepenuhnya bagi kita merupakan suatu dimensi penentu dari pewartaaan Injil atau dengan kata lain dimensi yang menentukan dari misi Gereja untuk menebus umat manusia dan pembebasannya dari setiap situasi yang menindas.
Unsur-unsur yang menentukan dalam Gereja Sabda – Kitab Suci, tradisi, pendidikan agama, dll. Ibadat – Sakramen, doa, dll Dunia – kerasulan sosial, aksi demi keadilan sosial Kitab Suci -- mendengarkan Injil Sakramen -- ibadat, hidup doa, dll Kerasulan Sosial -- aksi demi keadilan sosial
Ajaran Sosial Gereja Berakar dalam Kitab Suci Terus menerus dikembangkan dalam Ajaran Sosial Gereja -- Melihat, Memutuskan, Bertindak
Tema-tema Keadilan dalam KS Allah bertindak dalam sejarah manusia Penciptaan Hubungan Perjanjian Komunitas Kaum Anawim -- “para janda, yatim piatu, orang asing” Contoh Yesus – kerajaan Allah, penyembuhan Penciptaan Penciptaan adalah baik. Barang di atas bumi dimaksudkan bagi semua orang. Kesakralan khusus, martabat pribadi manusia Apapun kekerasan pada manusia, itu kekerasan pada Allah — bukan hanya kekerasan individual, tapi juga kekerasan institusi, hukum, sistem, kebijakan. Umat manusia diberi tanggungjawab (bukan dominasi, tetapi pekerjaan mengurus) Inilah dasar dari gagasan bersama-mencipta (co-creation). Kita bukanlah pemikin, tetapi para penjaga, para pengurus. Tiada dimensi hidup manusia terletak di luar perlindungan Allah – keterlibatan karya tangan Allah sendiri merupakan penghormatan bagi Allah. Perjanjian Kisah Keluaran – Aku akan menjadi Allahmu dan kamu akan menjadi umat-Ku. Allah campur tangan dalam sejarah untuk memelihara kebebasan mereka dan menetapkan keadilan Umat Allah menjadi bagian dari perjanjian dengan mengarahkan hidupnya kepada Allah – yaitu dengan perlakuan mereka terhadap kaum papa miskin. Komunitas -- Allah tinggal dalam komunitas. Ini jauh sekali dari kerohanian “yang penting aku dan Yesus” jaman sekarang Warisan Kitab Suci kita bersifat Komunal Cf. Zulu berkata, “Seorang pribadi adalah seseorang pribadi karena orang lain.” Interdependence – Kita tidak hanya suci; kita juga sosial. Kaum Papa Para janda, yatim piatu, orang asing Yesaya 58 Keadilan Ekonomi Bagi Semua artikel 38: Yang menjadi pusat pada presentasi biblis dari keadilan adalah bahwa keadilan suatu komunitas diukur oleh perlakuan komuntias itu terhadap kaum tak berdaya di masyarakat yang terkecil, yang tersingkir, yang sendirian Perjanjian Baru Mt. 25 Pengadilan Terakhir Lk 4:18-19 Visi Misi Yesus Lk 15:1-3 Yesus mengasosiasikan diri dengan yang tersingkir dalam masyarakat. Jn 10:1-18 Yesus adalah Gembala Baik Lk 6:20-26 Sabda Bahagia 1 Cor. 12:24-26 Jika satu anggota menderita, semua menderita sebagai kesatuan. Dalam iman biblis, menjalankan keadilan merupakan harapan Yahweh yang pokok. Walter Brueggeman
Siklus Baal Komunitas, Keadaan Berahmat Menjadi Para Pemilik Restorasi “Siklus Baal,” dijelaskan tahun 1991 dalam buku Doing Faithjustice yang ditulis Fred Kammer, SJ. Kita menemukan cara untuk memahami naik turunnya hubungan Yahwe dengan umat Israel. Siklus ini juga mungkin mengatakan sesuatu bagi kita. Siklus Baal mulai ketika umat israel ada dalam hubungan yang benar dengan Yahweh. Mereka menjadi komunitas makmur, dicirikan dengan suatu kepekaan berbagi harta dan memelihara para kaum anawim di tengah mereka: yaitu para janda, yatim piatu dan orang-orang asing. Fase berikutnya siklus itu, umat israel menjadi makmur dan menjadi para pemilik harta. Mereka mulai lebih menekankan pada pentingnya barang daripada orang. Mereka lebih suka memiliki daripada menjadi manusia sempurna. Mereka membalik tatanan penciptaan di puncaknya, sementara harta milik mereka menjadi penguasa atas diri mereka, dan bukannya sebaliknya. Tekanan pada soal memiliki yang berkembang terus ini menghasilkan suatu egoisme yang berbahaya. Hasilnya, umat Allah melupakan kaum anawim, si miskin. Lebih lanjut, melupakan si miskin merupakan pertanda kritis dari hilangnya memori yang lebih mendalam: melupakan Yahweh. Ini merupakan suatu bentuk fundamental dari ateisme, tidak mengetahui siapa Allah dan apa yang Allah harapkan dari para umatnya. Yahweh berulang-ulang mengingatkan umat Allah tentang rayuan kemakmuran dan tentang tendensi pelupaan macam ini. Dalam fase selanjutnya, umat Allah menciptakan ilah-ilahnya sendiri, dewa-dewa yang lebih cocok dan lebih menyerupai diri mereka sendiri. Umat Ibhrani kadang berbalik pada dewa-dewa kesuburan orang Kanaan, beberapa dari mereka disebut “para Baal”. Para Baal adalah dewa-dewa yang puas dengan beberapa pengorbanan ritual. Tidak hanya mereka menjamin kesuburan tapi mereka dapat juga dapat diandalkan untuk tidak mencampuri soal kepemilikan. Jadi, uamt Israel bebas untuk tidak mempedulikan kaum miskin dan melupakan jaringan hubungan-hubungan yang aslinya menentukan komunitas mereka. Hasilnya adalah penghancuran diri sendiri. Kitab suci berulang kali menceritakan kisah orang israel yang dikuasai oleh para musuhnya. Allah membangkitkan bangsa tentangga yang menginvasi tanah terjanji, menghancurkan Yerusalem, menghancurkan tempat ibadah, membunuh banyak rakyatnya, dan mengirim sisanya ke pembuangan. Kemudian Yahweh mengirim para nabinya untuk menyampaikan pesan pada umat israel. Inti pesan itu bukan “kamu telah melupakan ritual dan upacara-upacara.” Pesan pokok dari Yahwe adalah “Kamu telah melupakan kaum miskin.” Para nabi datang dengan pelajaran dasar: ujian Yahwe atas iman umat adalah seberapa baik keadilan diimplementasikan di tanah itu, dan ujian keadilan itu bagaimana kaum papa miskin yaitu para janda, para yatim dan orang asing diperlakukan. Pesan nabi Yesaya adalah satu contoh yang baik. Dia memaklumkan bahwa Allah tidak hanya menghendaki kain karung dan abu, hari-hari suci dan persembahan. Apa yang Allah inginkan adalah bahwa yang tertindas dibebaskan, yang lapar dikasih makan, yang telanjang dikasih pakaian, kaum papa direstorasi pada tempat yang benar dalam komunitas itu. Pesan para nabi itu bukanlah pesan yang amat populer. Oleh karena itu, apa yang kebanyakan para nabi terima bukanlah penghormatan dan penghargaan yang orang akan harapkan bagi mereka yang dikirim oleh Allah, tetapi malahan perlakuan biasa para nabi: siksaan atau kematian. Tahap berikutnya dari siklus adalah pertobatan. Umat Israel menjerit minta belaskasihan dan pembebasan. Mereka meminta dibawa kembali ke tanah terjanji untuk direstorasi kepada tatanan yang benar dan menjadi komunitas yang setia pada Yahwe dan setia satu sama lain. Akhirnya, Yahwe mendengarkan jeritan umat Allah dan merestorasi mereka ke tanah terjanji dan merestorasi hubungan yang benar dengan Allah. Komunitas perjanjian direstorasi, tempat ibadah dibangun, dan semua bergembira. Dan kemudian siklus mulai lagi. Dari komunitas yang sehat menuju pada pelupaan, tak beriman, dan penghancuran diri. Dan akhirnya pada pengampunan dan restorasi. Dapatkah siklus Baal ini bukan hanya tentang umat israel dan bagaimana mereka menanggapi sabda Allah beberapa ribu tahun lalu ? Bagaimana jika kita harus menggunakan Siklus Baal untuk memikirkan jaman dan tempat kita, sejarah kita sendiri? Seberapa jauh kita bersama dengan siklus Baal di tahun 2012? Apakah kita telah menjadi para pemilik harta? Apakah “memiliki harta” telah lebih diutamakan daripada “menjadi saudara saudari”? Apakah ini mendukung kita melupakan kaum miskin dan melupakan Yahweh? Dewa-dewi palsu macam mana yang kita pilih sekarang? Apakah process penghancuran diri telah mulai? Jeritan minta Pembebasan Melupakan Si Miskin Melupakan Yahweh Membunuh Para Nabi Membuat Ilah-ilah Para Nabi: Si Miskin Penghancuran Diri sendiri
Konsili Vatikan II Jurang antara iman yang diakui dan hidup harian orang beriman merupakan sebagian dari kesalahan-kesalahan yang lebih serius dari jaman kita. Sejak lama, para nabi Perjanjian Lama berjuang keras melawan skandal ini dan bahkan lebih lagi Yesus sendiri dalam Perjanjian Baru mengancamnya dengan hukuman-hukuman berat. Kutipan lengkap dari Gaudium et Spes sebagai berikut: Konsili mendorong umat kristiani, warga negara kedua pemukiman, supaya dijiwai oleh semangat Injil mereka berusaha menunaikan dengan setia tugas-kewajiban mereka di dunia. Menyimpanglah dari kebenaran mereka, yang tahu bahwa di sini kita tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, melainkan mencari pemukiman yang akan datang[[92]], dan karena itu mengira dapat melalaikan tugas-kewajiban mereka di dunia, tanpa mengindahkan, bahwa justru karena iman sendiri mereka lebih terikat kewajiban untuk menjalankan tugas-tugas itu, menurut panggilan mereka masing-masing. Akan tetapi tidak kalah sesatlah mereka, yang sebaliknya beranggapan, bahwa mereka dapat sejauh itu membenamkan diri ke dalam urusan-urusan duniawi, seolah-olah itu semua terceraikan sama sekali dari hidup keagamaan, berdasarkan anggapan seakan-akan agama itu melulu berarti melakukan kegiatan peribadatan serta sejumlah kewajiban moral semata-mata. Perceraian antara iman yang diikrarkan dan hidup sehari-hari banyak orang harus dipandang sebagai sesuatu yang cukup gawat pada zaman sekarang ini. Batu sandungan itu dalam Perjanjian Lama sudah ditentang dengan sengitnya oleh para Nabi[[94]]; apalagi dalam Perjanjian Baru Yesus Kristus sendiri mengancamnya dengan siksaan-siksaan yang berat[[95]]. Oleh karena itu janganlah secara salah kegiatan kejuruan dan sosial di satu pihak dipertentangkan terhadap hidup keagamaan di pihak lain. Dengan mengabaikan tugas-kewajibannya di dunia ini orang kristiani melalaikan tugas-kewajibannya terhadap sesama, bahkan mengabaikan Allah sendiri, dan membahayakan keselamatan kekalnya. (#43)
AJARAN SOSIAL GEREJA MODERN 1891 Rerum Novarum Leo XIII 1931 Quadragesimo Anno Pius XI 1961 Mother and Teacher John XXIII 1963 Peace on Earth John XXIII 1965 Church in the Modern World Vatican II 1967 The Development of Peoples Paul VI 1971 A Call to Action Paul VI 1971 Justice in the World Synod of Bishops 1979 Redeemer of Humanity John Paul II 1981 On Human Work John Paul II 1988 On Social Concern John Paul II 1991 The One Hundredth Year John Paul II 1995 The Gospel of Life John Paul II God is Love Benedict XVI 2009 Love in the Truth Benedict XVI Ini bukan daftar menyeluruh, namun memuat teks-teks resmi yang pokok. Perlu dicatat bahwa ajaran itu berubah secara signifikan dalam sejarahnya, karena realitas sosial, ekonomi dan politik yang berubah. Orang dapat dapat membagi jaman ini ke dalam tiga periode: Revolusi Industri dan dampaknya 2. Dunia yang terglobalisasi – dalam tahun 60an dan 70an ASG mulai membahas isu yang menyangkut bukan hanya hubungan-hubungan dalam negara, tetapi juga antar bangsa. Dunia pasca Industri – Yohanes Paulus II dalam tulisannya merefleksikan perubahan-perubahan dramatis dalam teknologi, dan komunikasi yang telah mengubah dunia. Kekurangan dokumen-dokumen antara 1931 dan 1961 adalah cerminan dari fakta bahwa Paus Pius XII tidak mengeluarkan ensiklik-ensiklik sosial seperti Paus lainnya. Sebagai gantinya, dia membahas isu-isu sosial dan ajaran sosial dalam suatu rangkaian pidato-pidato radio saat Natal.
Society Social Justice Distributive Contributive Individual Individual Mulai dengan menerangkan Keadilan Komutativ – antar individu – seperti dalam kontrak antar individu. Kemudian perkenalkan konsep masyarakat – Keadilan Distributif dan Kontributif. Masing-masing melibatkan rangkaian hubungan dan struktur yang lebih kompleks dan kurang jelas yang membentuk masyarakat. Keadilan Distributive – Bagaimana keuntungan dan beban masyarakat didistribusikan. Contoh – beban pajak, manfaat jaminan sosial, pinjaman-pinjaman berbunga ringan Keadilan Kontributif – kewajiban kita untuk menyumbang pada kebaikan umum. Misalnya – ikut pemilu, membayar pajak, dll. Distributive Social Contributive Justice Individual Individual Commutative (Contractual)
Martabat Pribadi Manusia Komunitas (Kesejahteraan Bersama) Tema Besar dari ASG Martabat Pribadi Manusia Komunitas (Kesejahteraan Bersama) Hak-hak dan Kewajiban-kewajiban Keberpihakan pada kaum miskin Subsidiaritas/Partisipasi Keadilan Ekonomi Menjaga Keutuhan Ciptaan / Humanisme Integral Solidaritas Peran Pemerintah Promosi Perdamaian Tidak ada yang resmi menyangkut daftar tema ini. Banyak orang menggunakan daftar tema ini. Beberapa orang memiliki 6, 7, 9, 10, 11, or 12 tema. Romo Ken Himes, yang mengajar ASG secara rutin membuat poin yang bagus ketika dia mengatakan bahwa ada dua tema mendasar yang saling terkait– martabat manusia dan komunitas—dan semua prinsip lainnya berasal dari dua kategori dominan itu.
1. Martabat Pribadi Manusia “Gereja Katolik mewartakan bahwa hidup manusia adalah suci dan bahwa martabat pribadi manusia merupakan landasan pandangan moral bagi masyarakat. Keyakinan kita akan kekudusan hidup manusia dan martabat pribadi manusia yang tak terpisahkan merupakan landasan semua prinsip ajaran sosial Gereja." (National Conference of Catholic Bishops, Sharing Catholic Social Teaching: Challenges and Directions, Washington, DC: USCC, 1998, p. 5) Tidak ada prinsip yang lebih mendasar dalam pandangan sosial Gereja daripada martabat pribadi manusia itu. Martabat pribadi manusia adalah tema yang menjadi batu karang, landasan dimana Gereja berdiri ketika membahas masalah keadilan dalam dunia. Menurut Konsili Vatikan II, Gereja adalah “tanda dan pelindung dimensi transendental pribadi manusia." (Konsili Vatikan I Konstitusi Pastoral tentang Gereja dan Dunia Modern, 1965, #69.) Prinsip ini didasarkan pada gagasan bahwa pribadi manusia itu suci, dibuat dalam rupa Allah. Pribadi manusia adalah cerminan paling jelas bahwa Allah beserta kita. Sebagaimana para uskup katakan dalam surat pastoralnya tahun 1986 mengenai ekonomi, tiap pribadi “harus dihormati dengan penghormatan bahwa manusia itu religius. Ketika kita saling berhubungan, kita harus melakukan sedemikian dengan kesadaran yang bangkit dalam kehadiran sesuatu yang kudus dan suci.” (National Conference of Catholic Bishops, Economic Justice for All: Catholic Social Teaching and the U.S. Economy (Washington, DC: USCC, 1986), #28.) Dengan kata lain, ketika kita melihat dalam mata pribadi manusia, kita melihat di sana manifestasi terbesar dari keagungan Allah, cerminan paling jelas dari kehadiran Allah diantara kita. Kita diminta tidak melupakan prinsip paling mendasar ini: manusia lebih penting dari segala sesuatu. Setiap pribadi, apapun seknya, berapapun umurnya, apapun ras dan gendernya, agama dan status ekonominya, selalu memiliki martabat yang khusus yang datang dari status sebagai seorang anak Allah. Tiap pribadi manusia merupakan suatu cermin dari yang kudus dan layak dihormati. Pribadi manusia itu suci, dibuat sebagai citra Allah, dan bahwa martabat pribadi manusia merupakan dasar gambaran moral bagi masyarakat. Keyakinan kita akan kesucian hidup manusia dan martabat pribadi manusia yang tak terpisahkan itu merupakan landasan semua prinsip ajaran sosial gereja katolik.
2. Komunitas/Kebaikan Umum hakekat sosial pribadi manusia Dalam ASG, pribadi manusia tidak hanya suci, tetapi juga sosial. Pada hakekatnya manusia adalah makhluk komunal. Mereka hidup dan bertumbuh dalam komunitas. Mereka tidak dapat bertahan hidup tanpa komunitas. Oleh karena itu, martabat pribadi manusia hanya berarti dalam konteks hubungan pribadi manusia itu dengan sesamanya dalam komunitas. Martabat pribadi hanya dapat dinyatakan dan dilindungi dalam konteks hubungan dengan masyarakat yang lebih luas. Prinsip ini memiliki implikasi mendasar tidak hanya untuk perilaku dan sikap perorangan, tetapi juga untuk lembaga-lembaga dan struktur-struktur masyarakat. Bagaimana kami mengorganisir masyarakat baik secara ekonomik, politik maupun legal, secara langsung mempengaruhi martabat martabat manusia dan kapasitas manusia untuk bertumbuh dalam komunitas. Kewajiban untuk “mengasihi sesama” karenanya memiliki dimensi perorangan, tetapi juga menuntut suatu komitmen sosial lebih luas pada kesejahteraan hidup bersama. Setiap orang memiliki kewajiban untuk berkontribusi pada kebaikan seluruh masyarakat, pada kebaikan bersama. Karena, jika kita serius pada komitmen terhadap martabat pribadi manusia, kita harus serius pada pemanusiaan sistem sosial dimana pribadi itu hidup. Ini suatu kebenaran yang sulit diajarkan, terutama dalam peradaban dan jaman kita, ketika individualisme menjadi dominan dan kadang menjadi kekuatan budaya yang merajalela. Masyarakat dewasa ini dicirikan oleh pemisahan yang radikal atas kehidupan pribadi dan kehidupan sosial. Begitu terlalu sering budaya Amerika mempromosikan suatu etika yang memihak kepentingan pribadi dan perjuangan pribadi sampai hampir menyingkirkan keutamaan sosial dan komitmen-komitmen sosial. Bangsa ini menyaksikan hilangnya komitmen pada tatanan sosial, keinginan menolak untuk mengorbankan kepentingan egois seseorang untuk kebaikan masyarakat yang lebih luas. Kebudayaan yang secara radikal diprivatisasi, kebudayaan yang secara radikal terindividualkan bekerja dengan kepercayaan yang digambarkan Charles Dickens demikian: “Tiap orang bagi dirinya sendiri, kata gajah, karena dia orang itu menari di antara ayam-ayam.” Di hadapan individualisme yang merajalela, ASG mempertahankan bahwa kita semua secara radikal adalah sosial. ASG mempromosikan suatu visi dimana komunitas memainkan peranan sentral. Seperti Rasul Paulus tulis pada umat di Korintus: Karena sama seperti tubuh itu satu dan anggota-anggotanya banyak, dan sesgala anggota sekalipun banyak merupakan satu tubuh, demikian pula Kristus. Sebab dalam satu Roh kita semua , baik orang yahudi maupun orang yunani, baik budak maupun orang merdeka, telah dibaptis menjadi satu tubuh…. Jika satu anggota menderita, semua anggota turut menderita ; jika satu anggota dihormati, semua anggota turut bersukacita. Kamu semua adalah tubuh Kristus. Dan kamu masing-masing adalah anggotanya. (I Kor 12:12-27) Gagasan kesejahteraan bersama memainkan peran sentral dalam pandangan Katolik akan kehidupan sosial. Kesejahteraan bersama tumbuh dari hakekat sosial peribadi manusia dan diartikan sebagai jumlah total dari kondisi rohani, material dan sosial yang diperlukan agar semua pihak dalam masyarakat dapat merealisasikan kepenuhan martabat pribadi manusianya. Semua masyarakat bertanggungjawab untuk menyumbang bagi kesejahteraan bersama, dan dengan melakukan itu, mereka memajukan martabat diri mereka sendiri. Dalam pandangan individualisme yang berlebihan pada budaya kita, dapat dijelaskan bahwa memperbaruhi suatu komitmen yang sehat pada kesejahteraan bersama merupakan salah satu tugas sosial paling berarti jaman ini. Fakta bahwa umat manusia adalah sosial pada hakekatnya menunjukkan bahwa kebaikan pribadi manusia dan perbaikan masyarakat tergantung satu sama lain.…kemanusiaan pada hakekatnya berpihak sepenuhnya pada kebutuhan hidup dalam masyarakat. Vatican II, Gaudium et Spes
3. Hak dan Kewajiban Sipil/Politik Economi/sosial Dalam ASG, tuntutan mendasar akan keadilan dibuat eksplisit oleh serangkaian hak-hak asasi manusia. Hak-hak ini diberikan pada umat manusia oleh Allah dan mendasari hakekat dan martabat pribadi manusia. Hak-hak ini tidak diciptakan oleh masyarakat, namun hak ini tak terpisahkan dalam jati diri tiap pribadi manusia. Hak-hak asasi ini membentuk semacam garis dasar, serangkaian kondisi minimum untuk keadilan sosial. Hak-hak asasi ini membentuk suatu garis dasar untuk menilai seberapa baik lembaga-lembaga sosial melindungi martabat manusia. “Hak” yang disampaikan ASG merupakan klaim moral yang didasarkan pada martabat seseorang. Klaim moral ini ada dua tipe. Pertama, hak sipil dan politik seperti kebebasan untuk berbicara, hak kebebasan berserikat, dan hak-hak lain yang ditemukan dalam U.S. Bill of Rights atau piagam HAM PBB. Hak-hak ini merupakan suatu bentuk dari imunitas dari campur tangan yang tidak adil. Hak itu mengimplikasikan klaim moral melawan pihak lain dalam masyarakat, mencegah mereka dari pembatasan yang tidak perlu terhadap kebebasan-kebebasan dasar seseorang. Suatu kategori kedua adalah hak-hak ekonomi, seperti hak atas makanan dan tempat tinggal. Hak-hak ini lah yang mungkin dipikirkan sebagai “pemberdayaan.” Hak-hak ekonomi adalah klaim yang dibuat terhadap pihak lain dalam masyarakat untuk hal-hal khusus yang memampukan orang untuk memenuhi martabat kemanusiaanya. Dalam ASG, hak ekonomi itu termasuk terutama kebutuhan-kebutuhan material yang dibutuhkan untuk hidup layak. Uskup USA dalam surat pastoral mengenai ekonomi bagi semua mengatakan: Pertama-tama adalah hak untuk hidup, makanan, pakaian, tempat tinggal, istirahat, pelayanan kesehatan, dan pendidikan dasar. Ini sangat diperlukan untuk melindungi martabat manusia. Untuk memastikan keperluan-keperluan ini, semua pribadi manusia memiliki suatu hak atas upah hidup layak, yang bagi sebagian besar orang dalam ekonomi kita terjadi melalui pemberian pekerjaan yang memberi hasil yang banyak. (26) Hak asasi manusia merupakan kondisi-kondisi minimum untuk hidup dalam komunitas. Ketika orang lapar dan tunawisma, ketika tidak punya akses terhadap pelayanan kesehatan atau pekerjaan, mereka ditolak hak-hak asasinya. Karena itu, masyarakat harus memastikan hak-hak ini dilindungi. Dalam ASG, konsep hak asasi manusia erat terkait dengan konsep tanggungjawab. Berhubungan dengan hak-hak asasi yang dinikmati oleh semua orang adalah kewajiban dan tanggungjawab asasi: terhadap sesama, terhadap keluarga, dan terhadap masyarakat yang lebih luas. Sebagai contoh, orang memiliki suatu hak atas pekerjaan yang layak, tetapi mereka juga memiliki kewajiban untuk bekerja dan tanggungjawab untuk memberikan pemasukan yang mencukupi bagi keluarga-keluarga mereka. Lagipula, masyarakat lebih luas juga memiliki tanggungjawab untuk mengorganisasi struktur-struktur ekonominya sehingga hak atas pekerjaan dilindungi bagi semua. Tanpa tanggungjawab sosial kolektif yang dipenuhi, suatu hak asasi atas kerja akan memiliki makna praktis yang kecil. Debat publik dalam bangsa kita sering dipisahkan antara mereka yang berfokus pada tanggungjawab pribadi dan mereka yang berfokus pada tanggungjawab sosial. Seperti ditunjukkan diatas, Tradisi Katolik mempertahankan bahwa baik tanggungjawab pribadi maupun sosial adalah sama-sama penting. Sebagai suatu bangsa, kita ditantang untuk berefleksi atas pertanyaan dasar ini: bagaimana kita menata masyarakat kita sehingga kita menjamin bahwa tidak seorangpun hidup tanpa kebutuhan dasar yang memang amat mendasar bagi martabat manusia?? Konsep HAM adalah salau satu gagasan yang lebih kontroversial dalam ASG, terutama ketika hak-hak yang dipermasalahkan adalah pada hakekatnya ekonomi. Masyarakat kita memahami hak-hak sipil dan politik, dan ada suatu konenseus yang mendukung hak-hak dasar ini. Oleh karena itu, bangsa ini menempatkan kebijakan sosial dan struktur sosial yang melindungi hak-hak ini, dan menghukum mereka yang menciderai hak-hak ini. Sebaliknya, masyarakat memiliki sikap yang begitu berbeda terhadap hak-hak ekonomis. Banyak orang amerika tidak setuju dengan gagasan hak-hak ekonomi. Bangsa ini tidak memiliki suatu konsensus untuk mendukung hak-hak ekonomi, juga tidak memiliki semacam kebijakan dan struktur yang diperlukan untuk secukupnya melindungi hak-hak ekonomi. Salah satu tugas penting Gereja yang mendidik adalah membantu terbangunnya suatu konsensus lebih luas bahwa kondisi-kondisi ekonomi dasar kesejahteraan manusia adalah sangat esensial bagi martabat pribadi manusia dan karenanya itu adalah hak. Sipil/Politik Economi/sosial Tiap pribadi manusia memiliki hak ats kebutuhan material yang diperlukan untuk hidup layak .
4. Memihak kaum miskin Tema peharian dan kasih istimewa bagi orang miskin merupakan tema sentral dalam gagasan kitab suci mengenai keadilan. KS Ibrani menekankan bahwa Allah mengharapkan mereka yang setia pada perjanjian memberikan perhatian istimewa pada “para janda, yatim piatu dan orang asing." Sungguh, perlakuan terhadap orang miskin merupakan salah satu batu uji iman orang pada Allah. Dalam perjanjian Baru, Jesus mengingatkan dan membawa tema ini. Dalam sabda bahagia, dalam kisah akhir jaman (Matius 25), dan dalam keseluruhan hidup dan ajaran Yesus, amat jelas bahwa mereka yang berusaha mengikuti Yesus harus merawat orang miskin dengan cara istimewa. Dewasa ini, Gereja mengadopsi ungkapan “pilihan bagi orang miskin” untuk menggambarkan prinsip moral ini. Yohanes Paulus II telah berbicara tentang kewajiban khusus terhadap orang miskin sebagai “cinta yang memihak, bukan eksklusif, orang miskin. Dia menggambarkan kasih yang memihak orang miskin ini sebagai “suatu panggilan untuk memiliki keterbukaan istimewa dengan orang kecil dan lemah, mereka yang menderita dan berduka, mereka yang direndahkan dan disingkirkan oleh masyarakat, dan memantu mereka memenangkan martabat mereka sebagai pribadi manusia dan anak-anak Allah (John Paul II, "Address to Bishops of Brazil," Origin, July 31, 1980 p. 35.) Penting dicatat bahwa kata “pilihan” disini mengimplikasikan suatu keberpihakan istimewa bagi yang miskin dan lemah, tetapi tidak dimaksudkan untuk memisah-misahkan. Tidak berarti bahwa orang harus memilih yang miskin dan melawan yang tidak miskin. Maksud utama komitmen istimewa pada yang miskin adalah untuk memampukan mereka menjadi partisipan aktif dalam kehidupan masyarakat. Ini untuk memampukan semua pribadi berbagi demi kesejahteraan bersama. “Pilihan pada yang miskin,” karenanya bukan suatu slogan permusuhan yang memisahkan satu kelompok atau kelas melawan kelompok atau kelas yang lain. Komitmen ini lebih menyatakan bahwa kehilangan martabat pribadi manusia dan ketidakberdayaan orang-orang miskin melukai seluruh masyarakat. (National Conference of Catholic Bishops, Economic Justice for All: Catholic Social Teaching and the U.S. Economy, Washington, DC: USCC, 1986, #88.) Sementara tema moral ini jelas memiliki implikasi kuat pada aksi perorangan dan kehidupan pribadi orang, tema ini juga amat penting untuk level sosial dan struktural. “Sebagai individu-individu dan sebuah bangsa, kami dipanggil untuk membuat pilihan fundamental bagi orang miskin. Kewajiban untuk mengevaluasi aktivitas sosial dan ekonomi dari sudut pandang orang miskin dan tak berdaya muncul dari perintah radikal untuk mengasihi sesama seperti mengasihi diri sendiri. Mereka yang tersingkirkan dan merka yang hak-haknya ditolak memiliki klaim-klaim istimewa jika masyarakat harus menyediakan keadilan bagi semua." (National Conference of Catholic Bishops, Economic Justice for All: Catholic Social Teaching and the U.S. Economy, Washington, DC: USCC, 1986, #87.) Keberpihakan atau pilihan bagi yang miskin memberikan pada orang-orang katolik suatu sudut pandang tertentu, suatu cara melihat masyarakat yang memiliki keberpihakan pada yang lemah dan tak berdaya. Ini merupakan suatu perspektif yang menguji keputusan-keputusan pribadi, kebijakan dan badan swasta maupun publik, dan hubungan-hubungan kekuasaan menyangkut dampaknya pada orang miskin, yaitu mereka yang kekurangan kebutuhan minimum seperti gizi, perumahan, pendidikan, dan pelayanan kesehatan. Prinsip moral ini erat terkait dengan nilai-nilai martabat manusia dan komunitas. Dalam terang hakekat sosial pribadi manusia, orang katolik percaya bahwa martabat manusia hanya dapat sepenuhnya direalisasikan dalam komunitas. Suatu komunitas yang sehat oleh karenanya dapat dicapai hanya jika para anggotanya memiliki perhatian istimewa pada merak yang memiliki kebutuhan-kebutuhan khusus, mereka yang miskin dan tersingkir dari masyarakat. Seperti sebuah keluarga degan anak cacat, maka suatu masyarakat tidak dapat berfungsi dengan baik kecuali yang miskin mendapat perhatian istimewa. Dan seperti keluarga yang memiliki anak cacat, jika para anggota mengikuti prinsip ini, yang menikmati keuntungan bukan hanya yang cacat atau yang butuh perhatian, tetapi semua orang. Semua anggota keluarga atau masyarakat menjadi lebih baik. Maka berpihak pada orang miskin merupakan bagian pokok dari upaya masyarakat untuk mencapai kesejahteraan bersama. Ingatlah “para janda, yatim piatu dan orang asing.” Unsur yang perlu untuk kebaikan umum
5. Partisipasi Mengalir dari prinsip martabat dan dan komunitas adalah tema partisipasi. ASG menekankan keyakinan bahwa semua orang memiliki hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan ekonomi, politik dan budaya masyarakat. Partisipasi merupakan tuntutan mendasar akan keadilan dan suatu tuntutan bagi martabat manusia bahwa semua orang harus dijamin tingkat minimum partisipasinya dalam komunitas. Demikian juga, adalah salah bagi orang atau kelompok kalau disingkirkan secara tidak adil atau tidak dapat berpartisipasi atau menyumbang pada masyarakat. “ Ketidakadilan tertinggi adalah kalau seseorang atau kelompok diperlakukan secara aktif atau tidak dianggap secara pasif seolah-olah mereka bukan anggota umat manusia. Memperlakukan orang dengan cara ini adalah secara efektif mengatakan bahwa merka tidak terhitung sebagai umat manusia." (National Conference of Catholic Bishops, Economic Justice for All: Catholic Social Teaching and the U.S. Economy, Washington, DC: USCC, 1986, #77.) Ada hak dan tanggungjawab yang dikaitkan dengan prinsip ini. Misalnya, dalam arena poitik, orang memiliki hak berpartisipasi dalam keputusan-keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka, tetapi merka juga memiliki tanggungjawab untuk menyumbang, untuk mengambil manfaat dari kesempatan berpartisipasi dalam proses politik. Orang mungkin menggunakan prinsi ini untuk mencerminkan keadaan politik sekarang. Banyak orang teralienasi dari proses politik dan frustrasi dengan sistem keuangan yang memberi terlalu besar akses pada para penyumbang yang kaya. Prinsip partisipasi akan menyarankan bahwa sistim yang menguntungkan orang kaya saja tidak adil.Sistem seperti itu perlu diperbarui. Pada saat yang sama, prinsip moral ini mengimplikasikan bahwa warga negara perorangan memiliki kewajiban untuk menggunakan alat-alat demokrasi untuk membarui sistem, untuk membuat sistem itu lebih tanggunggugat dan bertanggungjawab pada semua. Jadi, tidak hanya ada dampak struktural dan sistemik dari prinsip ini, tetapi juga ada implikasi perorangan dan pribadi. Hak untuk berpartisipasi dapat juga secara serius dikhianati dalam bidang ekonomi. Misalnya, banyak individu dan keluarga jatuh menjadi korban siklus kemiskinan yang disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi yang tidak dapat mereka kontrol. Kekuatan-kekuatan ekonomi dari pasar tidak secara otomatis melindungi hak seseorang untuk berpartisipasi. Hasilnya, orang miskin, penganggur, orang cacat tertinggal di belakang. Pola penyingkiran MKLTD ini juga jelas pada tingkat international. Semua bangsa diblokir dari sepenuhnya berpartisipasi dalam ekonomi global karena merka kekurangan kekuatan ekonomi dan politik untuk mengubah posisinya yang lemah. Beberapa negara paling miskin, misalnya, terbebani dengan pembayaran hutang international yang begitu besar sehingga jelas tidak mungkin bagi mereka untuk memajukan pembangungan ekonomi fundamental rakyatnya sendiri. Semua orang memiliki hak atas tingkat minimu keikutsertaan dalam kehidupan ekonomi, politik dan budaya masyarakat.
6. Keadilan Ekonomi Ekonomi harus mengabdi manusia, bukan sebaliknya. Manusia lebih penting daripada barang; pekerja lebih penting daripada modal. Semua pekerja memiliki hak atas kerja produksi, atas upah yang layak, atas kondisi kerja yang aman; dan mereka memiliki hak untuk berorganisasi dan bergabung dengan serikat buruh. Manusia memiliki hak atas inisiatif ekonomi dan hak milik, tetapi hak-hak ini memiliki keterbatasan. Tidak seorangpun diijinkan untuk menumpuk kekayaan berlebihan ketika yang lain kekurangan kebutuhan-kebutuhan dasar hidupnya. Kerja memiliki makna istimewa dalam tradisi katolik, sebagaimana etika penciptaan dalam Kitab Kejadian ajarkan, kita memiliki tanggungjawab untuk melanjutkan kegiatan penciptaan Allah. Kerja merupakan cara pokok dimana kita melakukan tanggungjawab itu. Ketika kita bekerja, kita melaksanakan peran kita sebagai cocreator dengan Allah dalam kisah penciptaan yang berkelanjutan. “Kerja itu lebih daripada sekedar cara mendapat penghidupan; kerja adalah suatu bentuk partisipasi terus menerus dalam penciptaan Alah. Jika martabat kerja harus dilindungi, maka hak asasi para pekerja harus dihormati, yaitu hak untuk kerja produktif, hak atas upah yang layak dan adil, hak untuk berorganisasi dan menjadi anggota serikat kerja, hak atas milik pribadi dan hak atas inisiativ ekonomi." (National Conference of Catholic Bishops, Sharing Catholic Social Teaching: Challenges and Directions (Washington, DC: USCC, 1998), p. 5.) Kerja adalah bentuk partisipasi yang vital bagi pembangungan manusia, karena melalui kerjalah kebanyakan orang menemukan kebutuhan material dasar mereka dan menjalankan talenta mereka. Orang yang mampu dan ingin bekerja, tapi tidak mendapat pekerjaan, kehilangan kesempatan berpartisipasi dan berkontribusi pada ekonomi dan kebaikan masyarakat. Dokumen-dokumen ensiklik katolik telah memberikan banyak perhatian pada topik kerja dan hak para pekerja ini. Ini telah menjadi penting dalam banyak ensiklik paus yang telah dikeluarkan lebih seabad lalu, dan pada tahun 1981 Paus Yohanes Paulus II mengeluarkan suatu dokumen menyeluruh mengenai hal ini dengan judul On Human Work. Paus menekankan bahwa kerja memiliki martabat khusus karena dilaksanakan oleh pribadi manusia. Kerja adalah cara pertama dimana pribadi menjadi sepenuhnya manusiawi dan berpartisipasi dalam masyarakat. Para pekerja memiliki hak berpartisipasi dalam keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka, dan cara normal dimana mereka menjalankan hak ini adalah melalui negosiasi kolektif . ASG berpendapat bahwa semua pekerja memiliki hak untuk membentuk serikat pekerja sebagai suatu sarana untuk melindungi hak mereka dan sarana berpartisipasi dalam keputusan-keputusan yang mempengaruhi tempat kerjanya. Paus Yohanes Paulus II tidak hanya meneguhkan hak ini dalam ensikliknya, tapi dia juga mengatakan bahwa serikat pekerja adalah unsur “sangat penting” dalam mengusahakan keadilan sosial. Dia menunjukkan bahwa para pekerja dan serikatnya memiliki hak asasi yang harus dijaga, tetapi mereka juga memiliki kewajiban untuk menegakkan kebaikan bersama Hak milik pribadi adalah hak penting, tapi hak ini tidak tak terbatas. Hak milik pribadi dibatasi oleh kebaikan umum. Ajaran ini dijelaskan dengan paling terang dalam ensiklik Populorum Progressio: Konsili Vatikan II mengingatkan kita ini: “Allah memaksudkan bumi dan segala isinya untuk digunakan bagi seluruh umat manusia dan bangsa. Maka, asal semua orang mengikuti keadilan dan bersatu dalam kasih, barang ciptaan akan mengikat mereka atas dasar yang masuk akal 20] Semua hak lain apapun itu, termasuk hak milik dan perdagangan bebas tergantung pada prinsip ini. Mereka tidak boleh menghalangi tetapi justru harus mendukung penerapannya. Adalah kewajiban sosial yang berat dan penting untuk mengarahkan mereka lagi pada tujuan asalinya. “Jika seseorang yang memiliki kekayaan dunia ini melihat saudaranya yang membutuhkan dan mendekatkan hatinya padanya, bagaimana kasih Allah mengikatnya?."[21] Amat dimengerti betapa kuat kata-kata ini digunakan oleh para bapa Gereja untuk menggambarkan sikap selayaknya terhadap pribadi manusia yang memiliki sesuatu terhadap pribadi lain yang miskin. Mengutip St Ambrosius: “Kamu tidak membuat suatu hadiah dari milikmu pada orang miskin. Kamu menyampaikan padanya apa yang memang miliknya. Karena apa yang telah diberikan bersama untuk semua orang, kamu telah menumpuk untuk diri sendiri. Dunia diberikan untuk semua, dan tidak hanya untuk yang kaya ". Jadi, hak milik pribadi tidak menentukan siapapun suatu hak mutlak dan tak bersyarat. Tak seorangpun dibenarkan menyimpan untuk diri sendiri saja apa yang tidak dia perlukan, ketika sesamanya kekurangan apa yang dia perlukan. Dengan kata lain “menurut ajaran tradisional, yang didasarkan pada bapa gereja dan teolog besar, hak atas milik tidak pernah boleh dilaksanakan dengan mengorbankan kebaikan bersama ". Populorum Progressio, para. 22-23. Ajaran Gereja melawan pendekatan ekonomi kolektivis dan berpusat pada negara. ASG juga menolak gagasan bahwa pasar bebas secara otomatis menghasilkan keadilan Economic Justice for All, #115 Ada kebutuhan dan kebaikan bersama yang tidak dapat dicukupi oleh sistem pasar. Adalah tugas negara dan semua masyarakat untuk mempertahankan mereka. Pemujaan pasar saja tidak dapat melakukan semua hal yang harus dilakukan. The Hundredth Year, John Paul II But it is unfortunate that on these new conditions of society a system has been constructed which considers profit as the key motive for economic progress, competition as the supreme law of economics, and private ownership of the means of production as an absolute right that has no limits and carries no corresponding social obligation. This unchecked liberalism leads to dictatorship rightly denounced by Pius XI as producing "the international imperialism of money".[26] One cannot condemn such abuses too strongly by solemnly recalling once again that the economy is at the service of man. On the Development of Peoples, Paul VI First, one may not take as the ultimate criteria in economic life the interests of individuals or organized groups, nor unregulated competition, nor excessive power on the part of the wealthy, nor the vain honor of the nation or its desire for domination, nor anything of this sort. Rather, it is necessary that economic undertaking be governed by justice and charity as the principal laws of social life. Mother and Teacher, John XXIII
7. Menjaga keutuhan ciptaan Barang di muka bumi adalah anugerah. Kita memegang dengan kepercayaan, sebagai pengurus. ASG tentang tanggungjawab lingkungan hidup dan pemeliharaan sumber daya alam berakar dalam pesan Kitab Kejadian; ciptaan di bumi adalah anugerah Allah. Kita manusia bukan pemilik terakhir dari ciptaan ini, tapi sekedar pemelihara sementara. Kita dipercayai tanggungjawab untuk memelihara anugerah ini dan memelihara mereka untuk generasi mendatang. Konsili Vatikan II mengatakan: “Allah mennyampaikan bumi dan segenap isinya bagi semua orang dan bangsa sehingga semua ciptaan akan dibagi dengan adil oleh semua orang dengan petunjuk keadilan yang didasari kasih." (Vatican Council, Pastoral Constitution on the Church and the Modern World, 1965, #69.) Bagaimana kita memperlakukan lingkungan hidup-- air, udara, hutan, tanah, sawah, sumber minera--l merupakan ukuran pemeliharaan kita, tanda kita hormat pada pencipta. Kita tanggunggugat pada Pencipta semesta untuk seberapa baik kita memelihara dan peduli pada bumi dan segala ciptaan. Dalam Renewing the Earth para uskup USA menggambarkan semacam sikap yang merefleksikan prinsip pemelihara ini. “Berada di hadirat Allah, kita mulai mengalami diri sebagai bagian dari ciptaan, sebagai pemelihara di dalam ciptaan, tidak terpisah dari ciptaan. Sebagai pemelihara yang beriman, kepenuhan hidup datang dari hidup secara bertanggungjawab di dalam ciptaan “ (National Conference of Catholic Bishops, Renewing the Earth, Washington, DC: USCC, 1991, p. 6.) “Allah menentukan bumi dan segala isinya untuk semua orang dan bangsa sehingga semua barang ciptaan mestinya dibagi secara adil oleh seluruh umat manusia di bawah pengarahan keadilan yang diperlembut oleh kasih”.” On the Development of Peoples
8. Keutamaan Solidaritas Dalam globalisasi sekarang, warga negara makin sadar akan masalah sosial dan ekonomi di seluruh dunia. Ratusan juta anak pergi tidur dalam kelaparan tiap malam karena mereka hidup dalam kemiskinan akut. Jutaan lagi menderita akibat perang, konflik etnis, bencana alam. Kesenjangan antara kaya miskin sedemikian ekstrim . Dihadapkan pada tanda-tanda jaman ini, umat beriman dikonfrontasi dengan pertanyaan paling dasar: “Apakah aku penjaga saudaraku?” Pertanyaan dari kitab kejadian ini selalu mengganggu dan sulit dijawab. Sejauh mana kita secara moral dan sosial bertanggungjawab pada nasib sesama, khususnya mereka yang miskin? Bagaimana orang menjawab pertanyaan itu ketika ditujukan pada orang yang jauhnya separo dunia ini? Haruskah aku menjadi penjaga saudara saudari ku ketika mereka hidup di tempat-tempat saya tidak pernah lihat, yang bicara bahasa asing, yang budayanya begitu asing? ASG menjawab pertanyaan ini dengan kata YES. Pada tahun 1997 dalam Called to Global Solidarity, the U.S. bishops meringkaskan ASG tentang solidaritas ketika mereka menunjukkan bahwa orang katolik Amerika memiliki tanggungjawab istimewa. Mereka menulis, “Kita anggota Gereja universal yang melampaui batas bahasa dan memanggil kita untuk hidup dalam solidaritas dan keadilan dengan bangsa-bangsa dunia. Kita juga warga suatu demokrasi yang kuat dengan pengaruh besar melampaui batas-batas kita. Karena katolik dan amerika, kita dipanggil secara unik untuk solidaritas global." (National Conference of Catholic Bishops, Called to Global Solidarity, Washington, DC: USCC, 1997, #1.) Paus Yohanes Paulus II menjadi suara yang memimpin atas nama solidaritas global. Kenyataannya, dia telah memanggil solidaritas sebagai keutamaan. Katanya, solidaritas adalah keutamaan dengan mana kita menunjukkan “suatu keteguhan kuat dan setia untuk berkomitmen diri pada kebaikan bersama…karerna kita sesungguhnya bertanggungjawab untuk semua." (Pope John Paul II, On Social Concern, 1988, #38.) Yohanes Paulus II menggunakan kata modern keutamaan, tetapi dia kembali ke Kitab Suci untuk menjelaskan dasar dari keutamaan ini. Dia menulis, “Kitab Suci terus berbicara pada kita tentang suatu komitmen aktif pada sesama dan meminta kita ikut bertanggungjawab atas semua kemanusiaan. Kewajiban ini tidak terbatas pada satu keluarga, bangsa atau negara, tapi semakin meluas pada semua….tak seorangpun dapat memikirkan diri sendiri lepas dari banyak anggota keluarga besar umat manusia " (Pope John Paul II, The Hundredth Year, 1991, #51.) “Adalah sebuah kebulatan tekat yang kuat dan teguh untuk berkomitmen diri bagi kebaikan bersama; artinya, untuk kebaikan semua…karena kita semua sesungguhnya bertanggungjawab pada semua.” Pope John Paul II, On Social Concern, 1987
Peran Pemerintah Negara memiliki fungsi moral yang positif. Negara merupakan alat untuk menegakkan martabat manusia, melindungi hak-hak asasi, dan membangun kebaikan umum. Subsidiaritas Sekecil mungkin Sebesar diperlukan Satu implikasi penting dari prinsip solidaritas dan hakekat sosial dari pribadi manusia berkaitan dengan ASG menyangkut peran pemerintah. ASG mengatakan bahwa karena kita makhluk sosial, negara adalah alamiah bagi pribadi manusia. Oleh karena itu, negara memiliki fungsi moral yang positif. Negara merupakan suatu alat untuk mempromosikan martabat manusia, melindungi martabat manusia, dan membangun kesejahteraan hidup bersama. Tujuan negara adalah untuk membantu para warga negara dalam memenuhi tanggungjawab terhadap sesamanya dalam masyarakat. Maka, dalam suatu masyarakat yang besar dan kompleks tangungjawab ini tidak dapat secara akurat dilaksanakan atas dasar orang perorangan saja, para warga negara memerlukan bantuan pemerintah dalam memenuhi tanggungjawab ini dan mempromosikan kebaikan hidup bersama. Ini tidak berarti bahwa pemerintah harus melaksanakan segala sesuatu, atau bahwa segala sesuatu yang dikerjakan oleh pemerintah adalah bagus,. Tidak berarti juga bahwa tanggungjawab publik harus dilaksanakan oleh birokrasi gemuk yang tersentralisasi. Sungguh, ASG mencakup prinsip “subsidiaritas”. Prinsip ini memiliki dua dimensi penting. Pertama, subsidiaritas meminta bahwa fungsi-fungsi pemerintah harus dilaksanakan sebisa mungkin di level paling rendah (seminim mungkin), sejauh mereka dapat dilaksanakan dengan baik. Pembuatan keputusan dan pemecahan masalah harus diserahkan sebisa mungkin pada tingkat komunitas-komunitas dan lembaga lokal. Prinsip ini mengandaikan bahwa masalah-masalah sosial dipahami dengan lebih baik dan ditangani dengan lebih baik olehorang yang dekat dengan masalah-masalah itu sendiri. Pendek kata, prinsip ini mulai dengan suatu kecenderungan menuju desentralisasi dalam organisasi sosial karena ini secara umum akan mengeluarkan hasil-hasil yang lebih efisien dan efektif. Prinsip in imenyarankan bahwa lembaga-lembaga menengah seperti keluarga, kelompok-kelompok komunitas, UMKM, dan RT/RW harus dimajukan sebagai suatu jalan untuk mempromosikan pemecahan masalah yang lebih efektif dan pembuatan keputusan yang lebih dikontrol secara lokal. Dimensi kedua dari prinsip subsidiaritas sama penting dan sering diabaikan. Bagian prinsip ini menempatkan suatu kondisi pembatas yang penting atas dimensi pertama. Dikatakan bahwa ketika kebutuhan sosial yang dipermasalahkan tidak dapat dengan baik dipenuhi di level lebih rendah, maka bukan hanya perlu tapi sudah seharusnya bahwa tingkat pemerintahan yang lebih tinggi campur tangan untuk memastikan bahwa hak-hak dilindungi dan kebaikan umum dibangun. Pendek kata, untuk meringkas prinsip subsidiaritas: "Small is beautiful, but big when necessary." Dengan kata lain, mulailah dengan level serendah mungkin, tapi jangan ragu untuk berada di level lebih tinggi dari pemerintahan ketika diperlukan.
10. Promosi Perdamaian Perdamaian bukan hanya berarti tiada perang Ajaran Sosial Gereja selalu memahami perdamaian sebagai konsep positif yang terarah pada tindakan. Menurut Paus John Paul II, “Perdamaian bukan hanya tiadanya perang. Perdamaian meliputi saling menghormati dan saling percaya di antara rakyat dan bangsa-bangsa. Perdamaian meliputi kerjasama dan kesepakatan-kesepakatan yang mengikat. Seperti sebuah katedral, perdamaian harus dibangun dengan sabar dan dengan iman yang tak tergoncangkan." (Pope John Paul II, "Homily at Bagington Airport," Coventry, 2, Origins 12, 1982:55.) Ini berarti bahwa dalam suatu dunia yang semakin saling tergantung, dibutuhkan suatu upaya sadar untuk membangun perdamaian jika kita ingin menghindari perang. Ada hubungan erat dalam ASG antara perdamaian dan keadilan. Perdamaian adalah buah keadilan dan tergantung pada tatanan yang benar di antara umat manusia. Konsep tradisional perdamain ini digambarkan oleh Konsili Vatikan II demikian: Perdamaian bukan hanya tiadanya perang. Perdamaian tidak dapat direduksi hanya pada terpeliharanya keseimbangan kekuasaan di antara para musuh. Perdamaian juga tidak dilaksanakan dengan kediktatoran. Namun, perdamaian secara kaya dan selayaknya disebut “upaya keadilan atau enterprise of justice" (Is. 32:17). Perdamaian berasal dari berasal dari harmoni yang dibangun kedalam masyarakat manusia oleh pendiri yang ilahi dan diwujudkan oleh umat manusia karena manusia haus akan keadilan yang semakin besar (Vatican Council, Pastoral Constitution on the Church and the Modern World, 1965, #78.) Pandangan akan perdamaian ini mengimplikasikan bahwa pembangunan perdamaian merupakan suatu tugas yang menuntut komitmen orang-orang dan lembaga-lembaga dalam aneka sektor sosial– politik, ekonomi, budaya, militer, dan legal. Gereja sebagai suatu lembaga dan orang katolik memiliki peran penting untuk dimainkan dalam memajukan tujuan perdamaian lewat setiap struktur-struktur sosial dan lembaga-lembaganya. Perdamaian bukan hanya berarti tiada perang “Jika engkau ingin damai, bekerjalan untuk keadilan.” Pope Paul VI, 1972, World Day of Peace Message
Tema Besar dari ASG Martabat Pribadi Manusia Komunitas Hak-hak dan Kewajiban-kewajiban Keberpihakan pada kaum miskin Partisipasi Keadilan Ekonomi Menjaga Keutuhan Ciptaan Solidaritas Peran Pemerintah Promosi Perdamaian
Implikasi untuk Pendidikan & PSE Sekolah Katolik, pendidikan agama dan progam bina iman amat sangat penting untuk membagikan pokok dan nilai-nilai dari warisan keadilan sosial katolik. Seperti halnya ASG adalah bagian integral iman katolik, dimensi keadilan sosial ajaran juga merupakan bagian integral dari pendidikan dan katekese katolik. Mereka merupakan bagian esensial dari identitas pengajaran katolik Oleh Karena itu, PSE harus bekerjasama dengan Sekolah Katolik, pendidik agama, bina iman.
“Tujuh Perintah untuk mengintegrasikan ASG dalam iman kita” Berakar dalam doa dan ibadah Integrasikan, jangan isolasi. Isi itu penting – Pelajarilah Dokumen2. Kompetensi sungguh perlu Amal saja tidak cukup. Amatilah, Putuskanlah, Bertindaklah Hendaklah kamu bersukacita!
Pastikan ASG berakar dalam doa dan ibadah Pastikan ASG berakar dalam doa dan ibadah. Olahlah suatu kerohanian yang tidak hanya privat, tapi juga publik dan sosial. Kekatolikan tidak memanggil kita untuk meninggalkan dunia, tetapi untuk membantu membangun dunia. Ini tidak berarti meninggalkan tugas-tugas duniawi dan tanggungjawabnya, tetapi mengubahnya. Everyday Christianity: To Hunger and Thirst for Justice U.S. Bishops, November, 1998
Integrasikan, jangan mengisolasi Komitmen pada hidup manusia dan martabatnya, pada hak asasi dan solidaritas, merupakan suatu panggilan yang harus diterima setiap orang katolik. Ini bukan suatu panggilan bagi beberapa orang, tetapi suatu tantangan bagi setiap pendidik katolik. Nilai ajaran sosial Gereja jangan diperlakukan sebagai sekedar boleh disinggung atau sekedar pilihan. Mereka harus menjadi bagian intid ari pengajaran dan pendidikan. Jadi karena ASG merupakan bagian integral dari iman sebagai orang katolik, dimensi-dimensi keadilan sosial ASG merupakan bagian integral dari iman katolik. Mereka bukan bagian pinggiran, pilihan, atau sekedar singgungan. Dimensi keadilan sosial ASG merupakan bagian mendasar dari tanggungjawab para murid Kristus. Ini bukan panggilan bagi beberapa orang, tetapi tantangan bagi semua orang beriman.
Isi itu penting pelajarilah dokumen-dokumen Ada kebutuhan universal untuk lebih eksplisit dalam mengajarkan prinsip-prinsip ajaran sosial Gereja dan membantu orang mengaplikasina dan bertindak berdasar prinsip-prinsip itu.
Kemampuan sungguh dibutuhkan Kami dengan keras mendorong orang katolik untuk menciptakan sumber-sumber dan program-program tambahan yang akan menangani kurangnya keakraban dengan ajaran sosial Gereja diantara banyak orang katolik. Sharing Catholic Social Teaching: Challenges and Directions U.S. Bishops, 1998
Tindakan Amal (Pelayanan Sosial) tidaklah cukup. Ada kebutuhan untuk program pendidikan dan kateketik katolik tidak hanya untuk terus memberikan pengalaman-pengalaman pelayanan langsung, tetapi juga menawarkan kesempatan-kesempatan untuk mengerjakan perubahan dalam kebijakan dan struktus yang menyebabkan ketidakadilan. Sharing Catholic Social Teaching: Challenges and Directions U.S. Bishops, 1998
Kamu hendaknya mengamati, memutuskan, bertindak Mengamati fakta-faktanya; kenali kenyataannya Gunakan analisis sosial dan nilai-nilai moral untuk membuat keputusan atas fakta-fakta Rencanakan suatu strategi yang realistik dan efektif untuk aksi
Hendaklah kamu bersukacita Tak ada orang yang menyukai pembuat kebaikan yang cemberut!
Kesimpulan Garam dan Terang Dunia “Kamu mestinya mengkhamiri adonan roti seluruhnya, bukan hanya bagian dari potongan roti.”
Pemisahan Gereja dan Negara Kebaikan Umum Masyarakat Church and State Explanation ( Fr. Bryan Hehir) Pemisahan Gereja dan negara merupakan suatu titik awal yang baik untuk mengawali diskusi; bukan titik yang baik untuk mengakhiri. Kita mulai dengan mengatakan bahwa kita setuju sepenuhnya dengan pemisahan Gereja dan negara. Ajaran Gereja sepenuhnya mendukung konsep ini. Mungkin tidak selalu dilakukan demikian, tetapi tentu jaman sekarang di negara kita terlaksana demikian. Demokrasi yang muncul dalam abad 18 dalam revolusi Perancis dan Amerika, dan Gereja sejak abad 18 sampai pertengahan abad 20 memiliki problem nyata dengan demokrasi. Misalnya, lihatlah sejenak Paus Gregorius XVI. Ketika Gregorius pertama kali dihadapkan dengan gagasan akan kebebasan berbicara, kebebasan pers dan kebebasan hati nurani, dia berkomentar bahwa mereka itu "delerimenta", yang arti dasarnya adalah “omongan gila.” Itulah contoh bagaimana Gereja memahami demokrasi dalam abad 19. Dalam abad 20, John Courtney Murray memberikan pidato dimana dia mengatakan Gereja harus melihat dimensi-dimensi positif dari demokrasi dan masuk dalam dialog dan berhubungan dengannya. Untuk pidato itu, dia disuruh diam selama sepuluh tahun. Itu adalah sejarahnya, dan kita perlu mengakuinya, namun hal yang signifikan adalah cara problem masa lalu disingkirkan dan diatasi dalam abad 20 mulai dengan Konsili Vatikan II. Berkat andil besar John Courtney Murray Konsili mengatasi problem itu dalam Deklarasi mengenai Kebebasan Beragama. (Pluralism merupakan problem yang paling diperhatikan oleh Murray.) Dalam dokumen itu, Gereja Katolik membuat tiga pernyataan penting tentang politik: 1. Gereja menerima pluralisme agama dalam suatu masyarakat apa adanya. 2. Gereja menerima sekularitas negara. Kita tidak mengharapkan negara melakukan karya Gereja. 3. Satu-satunya hal yang Gereja minta dari tatanan politik adalah kebebasan untuk berfungsi, bukan favoritisme tetapi kebebasan untuk berfungsi. Gereja ingin bukan favoritisme atau pun diskriminasi dalam pelaksanaan peran religius dan peran sosial publik. Oleh karena itu, kita tidak disingkirkan dari debat karena kita religius. Di lain pihak, kita tidak diberi perlakuan istimewa karena kita religius. Pemisahan Gereja dan negara tidak pernah dapat menjadi pemisahan Gereja dari masyarakat. Esensi sistem politik dari sananya bahwa negara bukanlah totalitas masyarakat. Esensi demokrasi bahwa negara hanyalah sebagian dari lingkaran lebih besar yakni masyarakat. Kita yang ada dalam gereja setuju oleh karenanya dengan pemisahan Gereja dari negara. Apa yang tidak dapat kita terima adalah pemisahan Gereja dari masyarakat. Itu berarti Gereja disumbat mulutnya. Tanggungjawab masyarakat adalah untuk bekerja bagi kebaikan bersama. Tanggungjawab negara adalah untuk memelihara “tananan publik": 1. Kedamaian bersama 2. Moralitas bersama 3. Keadilan Asasi 4. Kebebasan Gereja adalah asosiasi sukarela dengan ketrampilan khusus– yaitu ketrampilan diskursus moral. --------------------------------- Salah satu anugerah Vatikan II adalah bahwa dia membantu untuk mengangkat masalah dari “gereja dan negara” menjadi masalah yang lebih dalam, lebih mendasar: Gereja dan dunia. Ini bukan suatu masalah legal atau konstitusional, tetapi maslaah sosial dan moral. Konsili Vatikan mengatakan bahwa tugas Gereja dalam masyarakat adalah melindungi martabat pribadi manusia yang transenden. Alasan Gereja tertarik dalam proses politik adlah karena Gereja tertarik pada manusia. Perlindungan martabat ini bukanlah aktivitas ekstrakurikuler Gereja. Tugas ini bukan opsional. Perlindungan martabat manusia bukanlah tugas pinggiran, tetapi itu pusat tugas kerasulan Gereja. Oleh karena itu, Konsili Vatikan II mengatakan bahwa orang-orang katolik harus memasuki tatanan politik karena apa yang kita percayai menyangkut martabat pribadi manusia. Pribadi manusia bukan hanya suci; tapi juga sosial. Desain konteks sosial dan sistem sosial karenanya dapat amat mempengaruhi apakah pribadi manusia akan memiliki kesempatan untuk merealisasikan martabatnya yang inheren dalam tiap pribadi manusia itu atau tidak. Dalam arena politik lah, suatu masyarakat memutuskan bagaimana ia memperlakukan masing-msing dan tiap pribadi manusia. Arena politik adalah salah satu arena dimana nasib dan masa depan pribadi manusia ditentukan. Tiga prinsip BAGAIMANA Gereja terlibat dalam tindakan politik: 1. Meskipun komunitas Katolik dan para pemimpin pastoralnya memiliki hak konstitusional untuk berpartisipasi dalam debat kebijakan publik dan dalam proses politik pada umumnya, ada batas-batas yang harus diperhatikan dalam cara kita sebagai gereja melakukan partisipasi. Kita tidak mengambil posisi-posisi pro atau kontra terhadap partai-partai tertentu atau kandidat-kandidat perorangan 2. Pemilik suara katolik diharapkan untuk “menguji posisi-posisi para kandidat atas serangkaian penuh isu-isu meupun integritas mereka, filsafat dan performancenya.” Etika yang konsisten adalah kerangka kerja moral yang digunakan uskup. 3. Ada suatu pembedaan antara prinsip-prinsip moral dan aplikasinya dalam tatanan politik. Mungkinlah untuk setuju pada suatu prinsip moral yang diberikan dan sekaligus tidak setuju dengan cara aplikasinya, atas dasar hati nurani yang baik. Politik Negara Tatanan Publik Kedamaian Bersama Hak-Hak Asasi Moralitas Publik