Teratologi Terapan
Pendahuluan (1) 40-60% penyebab patologi perkembangan (teratologi) tidak diketahui. Namun secara eksperimental dapat diketahui agen penyebab (teratogen) : mikroorganisme, kimia, fisika, makanan maupun hormonal. Sangat diperlukan sebagai uji toksistas agen penyebab yang dapat berpengaruh terhadap perkembangan janin.
Dapat dilakukan : In Vitro Pendahuluan (2) Teratologi terapan merupakan sarana untuk menggambarkan bentuk-bentuk abnormalitas perkembangan dan menjelaskan mekanisme abnormalitas perkembangan tersebut dengan tepat akibat paparan teratogen. In Vivo Dapat dilakukan : In Vitro
In Vivo (1) UJI IN VIVO Pemilihan Hewan Coba Hewan coba : tikus, kelinci, mencit dan hamster : - Mudah diperoleh - Penanganannya mudah - Jumlah anak cukup besar - Masa kebuntingan pendek Anjing dan kucing. Babi secara filogenetik mirip dengan manusia Kelinci dan primata bukan manusia memberikan lebih banyak manfaat
- Harus muda, dewasa, dan sehat. - Lebih disukai betina premigravida. In Vivo (2) Syarat hewan coba : - Harus muda, dewasa, dan sehat. - Lebih disukai betina premigravida. Jumlah sampel : Tikus sekurang-kurangnya 20 betina dalam setiap kelompok dosis Kelinci digunakan 12 betina per dosis Anjing dan primata bukan manusia dg jumlah yang lebih sedikit.
Dosis sekurang-kurangnya diberikan tiga tingkat dosis. In Vivo (3) Pemberian Teratogen Dosis sekurang-kurangnya diberikan tiga tingkat dosis. Dosis tertinggi gejala keracunan induk dan janin seperti penurunan berat badan. Dosis terendah harus tidak menampakkan efek. Satu atau lebih dosis harus berada di antara kedua ekstrim tersebut.
Kelompok kontrol larutan garam fisiologis In Vivo (4) Kelompok kontrol larutan garam fisiologis Kelompok perlakuan teratogen aktif. Ke dua kelompok informasi insidens cacat spontan kepekaan hewan coba Diperlukan juga data studi terdahulu (historical control).
In Vivo (5) Cara dan Waktu Pemberian Teratogen Teratogen uji harus diberikan lewat jalur yang sama dengan jalur paparan pada manusia. Teratogen uji pencemar makanan dicampur dalam makanan hewan. Teratogen uji peroral diberikan dengan sonde lambung. Waktu pemberian teratogen uji diberikan selama periode organogenesis : Periode paling rentan Bervariasi untuk setiap jenis.
Periode rentan untuk beberapa jenis hewan In Vivo (6) Periode rentan untuk beberapa jenis hewan Tikus Mencit Hamster Kelinci Umur Induk Pemberian dosis Koleksi janin 100-120 hari hari ke 6-15 hari ke 20 60-90 hari hari ke 17 hari ke 5-10 hari ke 14 Dewasa belum kawin hari ke 6-18 hari ke 29
Diperiksa setiap hari untuk melihat tanda-tanda keracunan. In Vivo (7) Pengamatan Induk Bunting : Diperiksa setiap hari untuk melihat tanda-tanda keracunan. Betina yang keguguran (prematur) harus diafkir dan diperiksa. Janin dikoleksi sehari sebelum kelahiran menghindari kanibalisme dan memungkinkan penghitungan kematian janin yang diresorpsi
In Vivo (8) Pengamatan morfologi : Jumlah korpora luteum Jumlah implantasi Jumlah janin yang diresorpsi Jumlah janin yang hidup Jumlah janin yang mati Jenis kelamin janin yang hidup Berat janin yang hidup Panjang tubuh janin yang hidup Kelainan pada janin yang hidup
In Vivo (9) Pemeriksaan lanjutan : Setiap janin diperiksa abnormalitas tubuh luar. Dua pertiga sampel janin secara acak pewarnaan alizarin (kelainan rangka). Sepertiga diperiksa abnormalitas visera setelah difiksasi dalam cairan Bouin. Hewan besar : anjing, babi, dan primata bukan manusia, struktur rangka sinar-X.
Uji neurobehavioral (efek SSP) : Sikap tubuh Fungsi motorik In Vivo (10) Uji neurobehavioral (efek SSP) : Sikap tubuh Fungsi motorik Fungsi koordinasi Fungsi ketahanan Fungsi penglihatan Fungsi pendengaran Respons terhadap lingkungan Perilaku kawin
Analisis Hasil Pengamatan In Vivo (11) Analisis Hasil Pengamatan Jumlah anak lahir (litter) dan bukan janin individual setiap induk merupakan satu satuan percobaan. Jumlah litter yang mengandung janin cacat, resorpsi atau janin yang mati adalah parameter yang digunakan dalam analisis statistik.
In Vivo (12) Meningkatnya jumlah rata-rata janin yang cacat per litter merupakan bukti nyata adanya terotogenisitas. Hasil uji memperlihatkan hubungan antara dosis dan respons (insidens cacat) disimpulkan bersifat teratogenik dalam kondisi percobaan tersebut. Insidens cacat yang tidak memberikan kesimpulan analisis data dari pembanding historis.
Hewan coba banyak yang cacat spontan atau resisten terhadap teratogen. In Vivo (13) Kesalahan Pengamatan Hewan coba banyak yang cacat spontan atau resisten terhadap teratogen. Cara penanganan hewan yang buruk insidens cacat meningkat. Pakan induk berat badan induk mempengaruhi janin.
Dosis yang berlebihan banyak resorpsi (sedikit atau tanpa cacat). In Vivo (14) Dosis yang berlebihan banyak resorpsi (sedikit atau tanpa cacat). Dosisnya terlalu kecil tidak teratogenik. Beberapa efek teratogen mungkin terabaikan bila pemeriksaan dilakukan secara sambil lalu.
In Vivo (15) Ekstrapolasi pada Manusia Hasil uji teratogenik pada hewan coba tidak dapat begitu saja diekstrapolasikan pada manusia : Tiadak ada hewan yang cocok (talidomid dosis 0,5-1 mg/kg BB sudah berefek pada manusia tap tidak teratogenik pada tikus dan mencit meskipun dengan dosis 4.000 mg/kg BB. Pada kelinci diperoleh embriopati sedang. Asam asetilsalisilat aman untuk wanita hamil, tetapi bersifat teratogen kuat bagi tikus, mencit, dan hamster.
In Vivo (16) Semua teratogen pada manusia menunjukkan keaktifan pada hewan coba tertentu perlu dilakukan pengujian pada hewan yang tepat. Teratogen patut diwaspadai oleh wanita hamil jika teratogen tersebut positif pada lebih dari satu jenis hewan coba.
Macam Uji in vitro : - Biakan Sel - Biakan Organ - Biakan Hidra Meskipun belum rutin dilakukan, uji in vitro memberikan harapan sebagai prosedur penyaring (screening) dalam menentukan organ sasaran, atau dalam mempelajari mekanisme teratogen. Macam Uji in vitro : - Biakan Sel - Biakan Organ - Biakan Hidra
In Vitro (2) Biakan Sel Biakan sel dapat ditanam pada suspensi sebagai suatu lapisan tunggal, atau pada berbagai bahan penyangga. Bahan yang bersifat teratogenik akan menghambat perlekatan antar se diferensiasi sel (biokimiawi dan morfologis).
In Vitro (3) Biakan Organ Metanefron ginjal, gigi yang sedang berkembang, dan beberapa organ lainnya dapat digunakan dalam biakan organ. Metanefron ginjal didapat dari janin tikus bunting hari ke-11 ditumbuhkan pada penyaring berpori. Sumsum tulang janin direkatkan dibalik penyaring (sebagai induktor) dan diambil setelah 24 jam.
Beberapa teratogen dapat mengurangi jumlah tubulus yang terbentuk. In Vitro (4) Jaringan berdiferensiasi menjadi glomerulus, tubulus proksimal, dan tubulus distal. Beberapa teratogen dapat mengurangi jumlah tubulus yang terbentuk. Biakan organ terlalu rumit digunakan sebagai uji teratogenik berguna mempelajari cara kerja dan tempat sasaran zat kimia yang dicurigai.
In Vitro (5) Biakan Hidra Paparan teratogen pada hidra dewasa dan artifical embryo menyebabkan perubahan morfologik hingga kematian. Perbandingan dosis lethal artifical embryo dengan hidra dewasa sudah dapat ditentukan untuk beberapa teratogen. Rasio ini menunjukkan korelasi perbandingan dosis teratogenik dengan dosis toksik pada induk. Prosedur ini dapat memberikan harapan sebagai uji prapenyaringan.
Terima Kasih