Depok, 20 Oktober 2011 PROBLEMATIKA PEKERJA MIGRAN PEREMPUAN INDONESIA
Diskusi Kelompok Kelompok I: Menganalisis problem PMP dari persoalan kultur Kelompok II: Menganalisis problem PMP dari persoalan struktur Menganalisis problem PMP dari persoalan sistem
Basis/perangkat analisis: Bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan Implementasi prinsip2 CEDAW
Kelindan Sosial k Pasar Global Negara Masyarakat Keluarga
Sebagai anak tunduk & patuh pada orang tua Sebagai istri tunduk & patuh pada suami Sebagai ibu melindungi dan memenuhi kebutuhan anak Sebagai kakak/ adik membantu adik/ kakak
Masyarakat Calon pekerja domestik migran “komoditas” industri jasa tenaga kerja
Negara Sumber devisa/komoditas
Pasar Global PRT dengan upah murah (dibandingkan dengan PRT dari negara lain,mis.Filipina) Aset prostitusi
Problem Kultur Di keluarga: - patuh dan tunduk pada orang tua - patuh dan tunduk pada suami - diposisikan di ranah domestik Di masyarakat: - pencitraan perempuan baik2
Problem Struktur Di masyarakat: - perempuan kurang berpendidikan dan miskin - posisi tawar perempuan rendah - aparat pemerintah (Depnakertrans, BNP2TKI, aparat desa, dll) tidak berpihak kepada perempuan - aparat hukum tidak tegas
Problem Sistem Hukum kurang memberikan perlindungan Mekanisme perlindungan dan penyelesaian masalah tidak jelas
Problem Struktur Koordinasi yang kurang baik antar instansi atau para pihak Rendahnya perspektif perlindungan dan sensitivitas gender aparat
Kelemahan UU 39/ Pola pikir di balik UU No.39 Tahun 2004 menitikberatkan persoalan penempatan. 2. Kesalahan dalam pendekatan push factors (di dalam negeri) dan pull factors (di luar negeri) sebagai gejala sosiologis wajar dalam mobilitas manusia, didekati dengan kacamata yang bias ekonomi—dan dilihat sebagai supply dan demand. Dengan pendekatan ini mau tidak mau, titik bertemunya push factors dan pull factors dilihat sebagai ”pasar”.
3. Pekerja migran tak berdokumen dengan sendirinya menjadi terdiskriminasi, karena mereka dianggap berada di luar kerangka penempatan. Dalam hal tertentu kemungkinan yang sama juga akan terjadi pada pekerja migran mandiri. Hal yang prinsipil terlupakan—bahwa semuanya, apakah dia berdokumen ataupun tidak berdokumen adalah warga negara yang sudah seharusnya memperoleh perlindungan dari negara.
4.Dengan kesalahan berturut-turut itu dalam banyak ketentuan yang diatur dalam UU No.39 Tahun 2004 menjadi tidak sejalan dengan peraturan hukum lainnya yang berkaitan dengan Hak Asasi Manusia dan hak-hak pekerja—baik peraturan nasional maupun ketentuan internasional.
Recruitment and Placement Processes (by law) Pasport and Document Recruitment by the local government Medical Check-up Work training at BLKLN Pre-departure final training Agency employer (madame, mister, abuya, umi)
Recruitment and Placement Processes (in reality) Recruitment by sponsor or calo Medical Check-up FIT fee Sponsor Interview in recruiting agencies Pre-departure final training Agency employer (madame, mister, abuya, umi) Pasport and Document Document Work training at BLKLN
Pelanggaran dalam Proses Rekruitmen Numpang proses Diberikannya uang “Fit” Dikurung Pelecehan seksual Pemalsuan umur dan nama Tidak mendapat pelatihan Tidak menandatangani kontrak
Akibat pelanggaran yang dialami perempuan pekerja migran ketika di negara tujuan Tidak terampil menjadi sasaran amarah majikan Kurang pengetahuan hukum tidak menandatangani kontrak, tidak memegang paspor sendiri. Kurang pengetahuan budaya culture shock, misconduct
Refleksi Pembenahan seperti apa yang harus dilakukan di tiap-tiap sendi (kultur, struktur dan sistem)?