PSIKOLOGI KEPRIBADIAN TEORI ERIK H. ERIKSON Oleh : Arif Nofian S. (2011.08.0.0018) Hanif Maulina F. (2013.08.0.0061) Syahidah Sumayyah Fillah (2013.08.0.0095) Bella Nazelita (2013.08.0.0101) M Afandi kusyanto (2013.08.0.0078)
PANDANGAN DASAR DAN PRINSIP DASAR Prinsip Epigenetik Erikson membagi delapan tahap perkembangan manusia dari lahir hingga meninggal. Menurut Erikson, urutan kedelapan tahap perkembangan ini ditentukan secara genetik dan tidak bisa diubah-ubah. Urutan yang ditentukan secara genetik bagi perkembangan kepribadian manusia disebut Erikson sebagai Prinsip Epigenetik. Tahap perkembangan yang satu terbentuk dan dikembangkan atas perkembangan sebelumnya, tetapi tidak mengganti perkembangan di tahap sebelumnya. Dengan kata lain, setiap tahap, ketika karakteristik-karakteristik baru muncul, dibangun dari karakeristik yang sudah mendahuluinya, dan menjadi dasar bagi pembentukan yang akan muncul sesudahnya. Erikson (1968) menyatakan, "semuanya yang berkembang mempunyai rencana dasar, dan dari perencanaan ini muncul bagian-bagian, masing-masing bagian mempunyai waktu khusus untuk menjadi pusat perkembangan, sampai semua bagian muncul untuk membentuk keseluruhan fungsi.” Menurut prinsip epigenetik, karakeristik kepribadian yang jadi mengemuka di suatu tahap perkembangan, sudah eksis sebelum tahap itu muncul, dan akan terus eksis setelah tahap itu dilalui.
Krisis Setiap tahap perkembangan dicirikan oleh sebuah krisis. Berdasarkan prinsip epigenetik, setiap prinsip selalu eksis dalam tiga fase, yaitu: 1.Fase tidak matang/dewasa atau belum berkembang 2. Fase krisis 3. Fase resolusi
Ritualisasi dan Ritualisme Menurut Erikson (1977), ritualisasi adalah pola-pola perilaku yang muncul berulang yang mencerminkan nilai-nilai, keyakinam-keyakinan, kebiasaan-kebiasaan dan perilaku-perilaku yang diatur dan diberi sanksi oleh masyarakat dan budaya tertentu. Erikson menekankan pentingnya interaksi dalam pengembangan kepribadian. Pada tiap tahap perkembangan orang berinteraksi dengan pola-pola tertentu, ini disebut ritualisasi. ritualisasi adalah pola-pola perilaku sehari-hari yang disetujui secara kultural yang memampukan seseorang menjadi anggota yang diterima di suatu budaya. Ritualisasi-ritualisasi memandu hampir setiap aspek perilaku sosial dan menjadi mekanisme- mekanisme dimana individu di budayanya masing-masing 'tersosialisasikan'. Bagi beberapa individu, riualisasi-ritualisasi menjadi terlalu dipentingkan lebih dari yang dimungkinkan. Erikson menyebutnya ritualisme. Seperti pada konflik psikososial, pola hubungan bisa positif menjadi ritualisasi, dan jika negatif menjadi ritualisme. Ketika perkembangan maju ke tahap berikutnya, akan muncul ritualisasi dan ritualisme baru. Ritualisasi dan ritualisme lama yang dari perkembangan sebelumnya tidak hilang. Keduanya sama-sama dengan kekuatan dasar yang diperoleh dari konflik psikososial akan menjadi bagian dari keyakinan, latar belakang, dan pola tingkah laku yang tidak mudah berubah pada masa yang akan datang.
DINAMIKA KEPRIBADIAN Bagi Erickson, pada waktu manusia lahir, ego hadir hanya sebagai potensi namun, untuk menjadi aktual dia harus hadir dalam lingkungan kultural. ego berkembang melalui berbagai tahap kehidupan mengikuti prinsip epigenetik, artinya tiap bagian dari ego berkembang pada tahap perkembangan tertentu dalam rentangan waktu tertentu Instink adalah sumber perangsang somatis dalam yang dibawa sejak lahir, keinginan adalah perangsang psikologis sedangkan kebutuhan adalah perangsang jasmani.
Empat macam sifat instink : Sumber Tujuan Objek instink Pendorong atau Penggerak
PERKEMBANGAN KEPRIBADIAN Pemahaman akan delapan tahapan perkembangan psikoseksual Erikson membutuhkan pemahaman terhadap beberapa poin penting 1. Prinsip Epigenetik Menurut Erikson, ego berkembang melalui berbagai tahap kehidupan mengikuti prinsip epigenetik, istilahyang dipinjam dari embriologi. Perkembangan epigenetik adalah perkembangan tahap demi tahap dari organ-organ embrio. Ego berkembang mengikuti prinsip epigenetik. prinsip epigenetik dengan fisik anak adalah dimulai dari merangkak – duduk – berdiri – berjalan – berlari. Erikson menjelaskan prinsip epigenetiknya sebagai berikut : “semuanya yang berkembang mempunyai rencana dasar, dan dari perencanaan ini muncul bagian-bagian, masing-masing bagian mempunyai waktu khusus untuk menjadi pusat perkembangan, sampai semua bagian muncul untuk membentuk keseluruhan fungsi.”
2.Aspek Psikoseksual Teori perkembangan dari Erikson melengkapi dan menyempurnakan teori Freud dalam dua hal, pertama melengkapi tahapan perkembangan menjadi delapan tahap yakni tahap bayi (infancy), anak (early childhood), bermain (play age), sekolah (shool age), remaja (adolescence), dewasa awal (young adulthood), dewasa (adulthood), dan tua (mature). Kedua, memakai analisis konflik untuk mendiskripsi mengenai perkembangan kepribadian.
3.Konflik Psikososial Terdapat enam pokok fikiran yang dapat dipakai untuk memahami teori perkembangan psikososial Erikson : Prinsip Epigenetik Interaksi Bertentangan Kekuatan Ego Konflik dan peristiwa pancaragam Di setiap tahap perkembangan
Ritualisasi versus Ritualisme Pengertian ritualisasi dapat disingkat sebagai berikut : Ritualisasi adalah pola-kultural berinteraksi dengan orang dan objek lainnya, yang membuat interaksi menjadi menyenangkan. Ritualisasi adalah kesepakatan saling hubungan antara dua orang (atau lebih) yang terus menerus berlangsung dan memiliki nilai yang adaptif (dapat dipakai dalam berbagai kesempatan). Ritualisasi membuat individu dapat bertingkah laku secara efektif dan tidak canggung di masyarakat. Ritualisasi memasukkan orang kedalam masyarakat dengan mengajarkan kepada mereka memuaskan keinginan memakai cara-cara yang dapat diterima budaya.
Ciri-ciri ritualisme adalah sebagai berikut: Perhatian orang dalam ritualisme terfokus pada dirinya sendiri. Orang menjadi lebih peduli dengan performansi dirinya daripada mempedulikan hubungannya dengan orang lain atau dengan makna apa yang mereka lakukan. Sifatnya tidak menyenangkan, tetapi terpaksa dilakukan. Ritualisme juga terpola secara cultural, menjadi perilaku yang menyimpang, abnormal, dan aneh. Ritualisme sering melibatkan orang lain. Orang yang didominasi oleh ritualisme tidak dapat berinteraksi dengan orang lain dalam cara yang saling mendapat kepuasan.
FASE BAYI (0-1 TAHUN) 1. Aspek Psikoseksual : Sensori Oral 2. Krisis Psikososial : Kepercayaan VS Kecurigaan 3. Virtue : Harapan 4. Ritualisasi – Ritualisme : Keramat VS Pemujaan
FASE ANAK-ANAK (1-3 TAHUN) Tahap ini paralel dengan fase anal dari Freud. Teori Erikson lebih luas; anak memperoleh kepuasan bukan hasil dari keberhasilan mengontrol otot-otot anus saja, tetapi juga dari keberhasilan mengontrol fungsi tubuh yang lain, seperti urinasi, berjalan, melempar, memegang, dan sebagainya. Kesemuanya itu dikembangkan melalui hubungan interpersonal, sehingga anak juga mengalami ragu dan malu, belajar bahwa usahanya untuk menjadi otonom bisa berhasil bisa juga gagal. 1. Aspek Psikoseksual : Otot Anal – Uretral 2. Krisis Psikososial : Otonomi VS Malu dan Ragu 3. Virtue : Kemauan 4. Ritualisasi – Ritualisme : Bijakasana VS Legaisme
USIA BERMAIN (3-6 TAHUN) Tahap ini sama dengan periode falis dari Freud, namun isi kegiatan atau proses perkembangan didalamnya antara Freud dengan Erikson berbeda. Menurut Erikson ada banyak perkembangan penting pada fase bermain ini, yakni identifikasi dengan orang tua, mengembangkan gerakan tubuh, keterampilan bahasa, rasa ingin tahu, dan kemampuan menentukan tujuan. 1. Aspek Psikoseksual : Perkelaminan – Gerakan 2. Konflik Psikososial : Inisiatif VS Perasaan Berdosa 3. Virtue : Tujuan – Sengaja 4. Ritualisasi – Ritualisme : Dramatik VS Impersonasi
USIA SEKOLAH (6–12 TAHUN) Pada usia ini dunia sosial anak meluas keluar dari dunia keluarga, anak bergaul dengan teman sebayanya, guru, dan orang dewasa lainnya. Pada usia ini keingin-tahuan menjadi sangat kuat dan hal itu menjadi berkaitan dengan perjuangan dasar menjadi berkemampuan. Anak yang berkembang normal akan tekun belajar membaca dan menulis, belajar berburu dan menangkap ikan, atau belajar keterampilan yang dibutuhkan masyarakat. 1.Aspek Psikososial : Terpendam (Laten) 2. Krisis Psikososial : Ketekunan VS Inferiorita 3. Virtue : Kompetensi 4. Ritualisasi – ritualisme : Formal VS Formalisme
ADOLESEN (12–20 TAHUN) Tahap ini merupakan tahap yang paling penting diantara tahap perkembangan lainnya, karena pada akhir tahap ini orang harus mencapai tingkat identitas ego yang cukup baik. Adolesen adalah fase adaptif dari perkembangan kepribadian, fase mencoba-coba. Mereka mencoba-coba berbagai cara dan mencoba-coba peran baru sambil terus berusaha menemukan identitas ego yang mantap. 1. Fase Psikososial : Pubertas 2. Fase Psikososial : Identitas dan Kecanduan Identitas 3. Virtue : Kesetiaan 4. Ritualisasi – Ritualisme : Ediologi VS Totalisme
DEWASA AWAL (20–30 TAHUN) Tahap ini ditandai dengan perolehan keintiman pada awal periode, dan ditandai perkembangan berketurunan pada akhir periode. Bagi sebagian dewasa awal periode ini cukup singkat, mungkin hanya beberapa tahun, tetapi bagi beberapa dewasa awal yang lain bisa membutuhkan waktu puluhan tahun. 1. Tahap Psikoseksual : perkelaminan 2. Krisis Psikososial : Keakraban VS Isolasi 3. Virtue : cinta 4. Ritualisasi – Ritualisme : Afiliasi VS Elitism
DEWASA (30–65 TAHUN) Tahap dewasa adalah waktu menempatkan diri di masyarakat dan ikut bertanggung jawab terhadap apapun yang dihasilkan dari masyarakat 1. Aspek Psikoseksual : Prokeativita 2. Krisis Psikososial : Generativita VS Stagnasi 3. Virtue : Kepedulian 4. Ritualisasi – Ritualisme : Gerasional VS Otoritisme
USIA TUA (>65 TAHUN) Menjadi tua bukan berarti menjadi tidak generatif. Usia tua bisa menjadi waktu yang orang senang bermain, menyenangkan, dan keajaiban, tetapi juga bisa menjadi tempat orang pikun, depresi dan putus asa 1.Aspek Psikoseksual : Generalisasi Sensualitas 2. Krisis Psikososial : Intergritasi VS Putus Asa 3. Virtue : Kebijaksanaan (wisdom) 4. Ritualisasi – Ritualisme : Integral VS Sapentisme
Tahap – Tahap Perkembangan Psikososial Fase-Fase Krisis Psikososial Aspek Psikososial Hubungan Khusus Perangkat Psikososial Tujuan Psikososial Akibat Psikososial I Bayi (0-1 tahun) Percaya VS Tidak Percaya Oral Sensory Ibu Mengambil, kemudian Memberikan Harapan, Kepercayaan Rasa curiga, Distorsi indrawi dan Penakut II Awal Anak/ Balita (1-3 tahun) Otonom VS Pemalu dan Ragu-Ragu Anal Muscular Orang Tua Menguasai, kemudian Melepaskan Kehendak, Ketergantungan Tergantung pada orang lain, Kurangnya harga diri, dan merasa Malu atau Ragu-ragu III Bermain (3-6 tahun) Inisiatif VS Rasa Bersalah Infantile Genital Locomotor Keluarga Pergi Keluar, Bermain Tujuan, Keberanian Malignasi Berdiam diri, Ketidakpedulian, Takut Mengambil Resiko. IV Sekolah (6-12 tahun) Berkarya VS Inferioritas Latency Tetangga, Berteman, dan Sekolah Menyelesaikan Sesuatu, Kerja Sama Kompetensi Rendah diri, Keahlian Sempit dan Lamban. V Adolesen/ remaja (12-20 tahun) Identitas Ego VS Keraguan Peran Puberty Teman, Geng, Model Menjadi Diri Sendiri, Berbagi dengan Orang Lain Kesetiaan, Loyalitas Kejahatan, Diskriminasi Kelompok, Fanatisme dan Penolakan. VI Dewasa Awal (20-30 tahun) Intimitas VS Isolasi Genetality Teman-teman, Partner (sex), Sahabat, Saingan Menemukan Jati Diri dalam Diri Orang Lain Cinta Terasing VII Dewasa (30-65 tahun) Generativitas VS Tidak Berbuat Apa-Apa Rumah Tangga, Rekan Kerja Mencipta, Menjaga Kepedulian Mandeg dan Tidak Produktif, Penolakan. VIII Dewasa Akhir/ Manula (>65 tahun) Integritas VS Kekecewaan Kemanusiaan atau “milikku”, Kehidupan Pasrah Diri, Merasa Cukup, Mananti Ajal Tiba Kebijaksanaan Depresi dan Keputusasaan.
STRUKTUR KEPRIBADIAN Ego Kreatif Ego bersifat adaptif dan kreatif, berjuang aktif (otonomi) membantu diri menangani dunianya. Ego semacam itu disebut juga ego kreatif, ego yang dapat menemukan pemecahan kreatif atas masalah baru pada setiap kehidupan. Ego yang sempurna digambarkan erikson memiliki tiga dimensi, faktualitas, universalitas, dan aktualitas: Faktualitas Universalitas Aktualitas
next Menurut Erikson, ego sebagian bersifat tak sadar, mengorganisir dan mensintesa pengalaman sekarang dengan pengalaman diri masa lalu dan dengan diri masa yang akan datang. Erikson menemukan tiga aspek ego yang saling berhubungan, yakni: Body ego : Mengacu ke pengalaman orang dengan tubuh/fisiknya sendiri. Ego ideal : Gambaran mengenai bagaimana seharusnya diri, sesuatu yang bersifat ideal. Ego identity : Gambaran mengenai diri dalam berbagai peran sosial
Ego Otonomi Fungsional Ciri khas psikologi ego dari Erikson dapat diringkas sebagai berikut: Erikson menekankan kesadaran individu untuk menyesuaikan diri dengan pengaruh sosial. Pusat perhatian psikologi ego adalah kemasakan ego yang sehat, alih-alih konflik salah suai yang neurotik. Erikson berusaha mengembangkan teori insting dari Freud dengan menambahkan konsep epigenetik kepribadian. Erikson secara eplisit mengemukakan bahwa motif mungkin berasal dari implus id yang tak sadar, namun motif itu bisa membebaskan diri dari id seperti individu meninggalkan peran sosial di masa lalunya. Erikson menganggap ego sebagai sumber kesadaran diri seseorang. Selama menyesuaikan diri dengan realita, ego mengembangkan perasaan berkelanjutan diri dengan masa lalu dan masa yang akan datang.
Pengaruh Masyarakat Erikson lebih mementingkan faktor sosial dan historical, kebalikan dengan Freud yang pandangannya sebagian besar biologikal. Menurut Erikson, ego muncul bersama kelahiran sebagai potensi. Masyarakat yang berbeda, dengan perbedaan kebiasaan cara mengasuh anak, cenderung membentuk kepribadian yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai-nilai budayanya.
TRIMAKASI