Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

Prof. Dr. Syaiful Bakhri, SH. MH

Presentasi serupa


Presentasi berjudul: "Prof. Dr. Syaiful Bakhri, SH. MH"— Transcript presentasi:

1 Prof. Dr. Syaiful Bakhri, SH. MH
Kebijakan Kriminal Prof. Dr. Syaiful Bakhri, SH. MH

2 Kebijakan... Kata “Kebijakan” atau “Policy” kerap digunakan dengan perdikat tertentu: Kebijakan Negara (State Policy) Kebijakan Publik (Public Policy) Kebijakan Sosial (Social Policy) Kebijakan Hukum (Legal Policy)

3 Kebijakan... Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) adalah “rational organization to respons of crime”, sehingga kata “kebijakan” sebagai padanan dari kata “policy” disini lebih ditujukan pada adanya tanggapan masyarakat atau “social respons” terhadap kejahatan dan segala problematikanya. Dengan demikian kata “kriminal” merujuk pada objek dari kebijakan tersebut, yaitu “tindak pidana, orang yang melakukan tindak pidana tersebut dan sanksinya (pemidanaan)”. Dilihat dari objeknya tersebut Kebijakan Kriminal dapat juga disebut dengan “Criminal Law Policy” atau “Kebijakan Hukum Pidana”

4 Kebijakan Kriminal dan Kebijakan Sosial
Kebijakan Kriminal merupakan bagian dari Kebijakan Sosial (Social Policy), yaitu merupakan ejawantah dari Kebijakan Kriminal merupakan bagian dari kebijakan Perlindungan Masyarakat (Social Defense Policy) disamping Kebijakan Kesejahteraan Sosial (Sosial Welfare Policy)

5 Dua Pendekatan dalam Kebijakan Hukum Pidana...
Kebijakan Hukum Pidana dapat dilakukan dengan dua pendekatakan: Kebijakan Penal (Penal Policy), yaitu kebijakan dengan memberdayakan Sistem Peradilan Pidana atau Criminal Justice System (penegakan hukum pidana) Kebijakan Non-Penal (Non-Penal Policy), yaitu kebijakan dengan menggunakan sarana lain di luar hukum pidana

6 Tiga Objek Pengkajian Kebijakan Hukum Pidana...
Pengkajian terhadap Kebijakan Hukum Pidana diarahkan pada tiga tahap kebijakan: Kebijakan Legislatif (Legislatif Policy), yaitu kebijakan hukum pidana dalam tahap perumusan (formulasi) masalah-masalah yang berhubungan dengan hukum pidana Kebijakan Yudikatif (Judicative Policy), yaitu kebijakan hukum pidana dalam tahap penerapan (aplikasi) ketentuan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan hukum pidana Kebijakan Eksekutif(Executive Policy), yaitu kebijakan hukum pidana dalam tahap fungsionalisasi oleh pejabat yang berwenang menyuruh menjalankan keputusan-keputusan dalam bidang hukum pidana

7 Kebijakan Legislatif dalam Bidang Hukum Pidana
Pengkajian terhadap Kebijakan Legislatif dalam bidang Hukum Pidana dilakukan dengan memperhatikan beberapa kecenderungan: Adanya over criminalization terhadap berbagai kejahatan-kejahatan konvensional (blue collar crime), sehingga perlu kebijakan dekriminalisasi dan/atau depenalisasi Adanya under legislation terhadap berbagai kejahatan-kejahatan baru, terutama yang memanfaatkan teknologi informasi, yang hanya dapat dilakukan oleh mereka yang mempunyai kedudukanan sosial tertentu (white collar crime) sehingga diperlukan kebijakan kriminalisasi dan penalisasi

8 Over Criminalization Over Criminalization adalah keadaan dimana perbuatan-perbuatan tertentu yang telah dipandang sebagai “perbuatan biasa” oleh masyarakat, tetapi masih dinyatakan sebagai tindak pidana Over Criminalization boleh jadi timbul karena perubahan cara padang masyarakat tentang suatu perbuatan, misalnya dari “kejahatan” menjadi “perilaku menyimpang” (deviation behaviour) sehingga dipandang perlu pendekatan-pendekatan baru untuk menanggulanginya selain dengan hukum pidana atau perlu “treatment” baru selain bentuk-bentuk pemidanaan yang ada Over Criminalization dapat pula terjadi karena perobahan masyarakat tentang sifat tercelanya suatu perbuatan, sehingga jika menurut pandangan lama merupakan sesuatu yang “kriminal” sedangkan menurut pendekatan baru justru bersifat “legal”, sehingga perlu dikeluarkan dari ruang lingkup hukum pidana

9 Over Criminalization... Over Criminalization dapat juga sebagai lanjutan dari perubahan kebijakan negara, sehubungan dengan perubahan bentuk negara (federatif kepada negara kesatuan atau sebaliknya), perubahan pola hubungan pusat-daerah (sentralistis kepada otonomi daerah) perubahan sistem pemerintahan (otoriter kepada demokratis), atau perubahan kebijakan perekonomian negara (ekonomi tertutup menuju ekonomi pasar). Over Criminalization dapat juga timbul karena perubahan atau kecenderungan global atau perkembangan dalam masyarakat internasional, baik dibidang politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan/keamanan

10 Under Legislation Under Legislation in criminal matters adalah keadaan dimana perbuatan-perbuatan tertentu yang telah dipandang sebagai “kriminal” oleh masyarakat, tetapi masih belum dinyatakan sebagai tindak pidana Under Legislation in criminal matters boleh jadi timbul karena perkembangan teknologi, misalnya dengan adanya modus dan objek kejahatan baru, seperti cyber crime, dimana peraturan perundangn-undangan yang berlaku belum “adekwaat” apabila dibandingkan dengan perkembangan yang ada. Under Legislation in criminal matters dapat pula terjadi karena perobahan dalam pergaulan internasional, seperti menguatnya penghormatan terhadap hak asasi manusia (gross violation of human rights), kesadaran akan pentingnya kelestarian lingkungan, ataupun demokratisasi

11 Criminalization dan Decriminalization
Criminalization adalah proses penetapan suatu perbuatan yang tadinya dipandang legal menjadi suatu tindak pidana Decriminalization adalah proses penetapan suatu perbuatan yang tadinya sebagai tindak pidana menjadi suatu perbuatan yang legal.

12 Penalization dan Depenalization
Penalization adalah proses penetapan suatu sanksi, dari sanksi non hukum pidana menjadi sanksi pidana atau dari sanksi pidana yang lebih ringan menjadi sanksi pidana yang lebih berat Depenalization adalah proses penetapan sanksi dari sanksi pidana yang berat menjadi sanksi pidana yang lebih ringan atau dari sanksi pidana menjadi sanksi non hukum pidana

13 Trend of Criminalization
Criminalization berpangkal tolak dari berbagai persoalan: Perobahan yang terjadi dalam organisasi sosial dan ekonomi. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknogi Harmonisasi perundang-undangan dengan negara-negara satu kawasan atau seluruh dunia. Perlindungan lingkungan global sebagai wujud perencanaan kelangsungan di bumi. Penyempitan dan Perluasan Pemidanaan

14 Trend of Decriminalization
Decriminalization berpangkal tolak dari berbagai persoalan: Suatu perbuatan pidana dapat didekriminalisasikan jika kelakukan tersebut untuk selanjutnya dilihat sebagai sesuatu yang legitim. Suatu perbuatan pidana dapat didekriminalisasikan apabila ada pendapat lain mengenai peranan negara yang mengakibatkan bahwa negara tidak perlu lebih jauh mencampuri beberapa kepentingan tertentu. Suatu perbuatan pidana dapat didekriminalisasikan jika fungsionalisasi hukum pidana (upayanya) lebih jelek jika dibandingkan dengan keadaan yang dihadapi. Suatu perbuatan pidana dapat didekriminalisasikan apabila telah ditemukan suatu cara lain bereaksi yang lebih baik daripada cara menurut hukum pidana.

15 Kebijakan Yudikatif dalam Bidang Hukum Pidana
Pengkajian terhadap Kebijakan Yudikatif dalam bidang Hukum Pidana terutama difokuskan pada dua hal: Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System), baik sistem dalam arti abstrak maupun dalam arti konkrit. Administrasi Peradilan Pidana Criminal Justice Administration), baik dalam arti kewenangan maupun pengelolaannya.

16 Kebijakan Yudikatif Terhadap Sistem Peradilan Pidana
Kebijakan Yudikatif terhadap Sistem Peradilan Pidana terutama ditandai oleh adanya: Kecenderungan untuk meningkatkan keterpaduan Sistem Peradilan Pidana (Integreated Criminal Justice System), baik keterpaduan diantara subsistem dalam CJS, maupun keterpaduan antara CJS dengan sistem peradilan lainnya. Kecenderungan untuk meningkatkan Fleksibilitas Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System Flexibility), baik dalam tahap penyidikan (misalnya police waiver), dalam tahap penuntutan (prosecutor diversion), dalam tahap pemeriksaan dimuka pengadilan (judge discretion)

17 Kebijakan Yudikatif Terhadap Administrasi Peradilan Pidana dalam tahap Penyidikan
Kebijakan Yudikatif terhadap Administrasi Peradilan Pidana dalam tahap penyidikan terutama ditandai oleh adanya: Kecenderungan meningkatnya difersivikasi (meragamnya) kewenangan menyidik, sehingga potensial terjadinya sengketa wewenang menyidik. Misalnya, dalam penyidikan tindak pidana korupsi yang menjadi kewenangan KPK, Polri dan Kejaksaan RI. Kecenderungan meningkatnya pembentukan penyidik khusus (Misalnya: Penyidik BPOM, Penyidik Bea dan Cukai, Penyidik Pajak, Penyidik Pasar Modal, Penyidik Perikanan, Penyidik TNI AL, Penyidik Daerah dll) berhadap-hadapan dengan penyidik Polri juga berpotensi terjadinya benturan kepentingan atau infektivitas dalam penyidikan. Misalnya, penyidikan atas tindak pidana yang terjadi di laut antara Penyidik POLAIRUD, Penyidik TNI AL, dan Penyidik Perikanan. Kecenderungan meningkatnya interdependensi antara penyidik (CJS) dengan lembaga-lembaga non-yudisial. Misalnya, interdependensi antara penyidik Polri dan PPATK dalam tindak pidana pencucian uang atau interdependensi antara penyidik Kejaksaan RI dan KOMNAS HAM dalam tindak pidana pelanggaran HAM berat.

18 Kebijakan Yudikatif Terhadap Administrasi Peradilan Pidana dalam tahap Penuntutan
Kebijakan Yudikatif terhadap Administrasi Peradilan Pidana dalam tahap penuntutan terutama ditandai oleh adanya: Kecenderungan meningkatnya motiv/latar belakang konflik politik yang berujung pada penuntutan pidana. Kecenderungan meningkatnya intervensi pejabat struktural terhadap pejabat teknis yang memiliki kewenangan (fungsional) penuntutan Misalnya, adanya keharusan RENTUT dalam mengajukan “Tuntutan” (Requisitoir) dalam pelaksanaan penuntutan perkara pidana. Kecenderungan meningkatnya pencampuadukan penilaian peran antara saksi dan ahli dalam pembuktian perkara pidana. Misalnya, dalam pembuktian tindak pidana korupsi auditor cenderung dipandang ahli daripada saksi atau sebaliknya. Kecenderungan meningkatnya penggunaan undang-undang khusus sebagai “multipurposes act” dalam pelaksanaan penuntutan perkara pidana. Misalnya, penggunaan UU Korupsi untuk Tindak Pidana dibidang Kepabeanan, Tindak Pidana dibidang Perbankan, Tindak Pidana dibidang Perpajakan, Tindak Pidana dibidang Kehutanan.

19 Kebijakan Yudikatif Terhadap Administrasi Peradilan Pidana dalam tahap Pemeriksaan di Muka Persidangan Kebijakan Yudikatif terhadap Administrasi Peradilan Pidana dalam tahap pemeriksaan di muka persidangan terutama ditandai oleh adanya: Kecenderungan meningkatnya disparitas (disparity) putusan pidana dalam perkara-perkara yang melibatkan lebih dari satu orang (penyertaan). Misalnya dalam tindak pidana korupsi dalam perumusan, penetapan dan pelaksanaan APBD Kecenderungan meningkatnya disparitas (disparity) pidana dalam perkara-perkara pidana yang sebenarnya hampir sama tetapi diputus oleh pengadilan-pengadilan yang berbeda. Misalnya, tindak pidana narkotika dan psikotropika di Pengadilan Negeri Tangerang dan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atau tindak pidana korupsi di Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi (Pengadilan Tipikor) dan Pengadilan Negeri pada umumnya. Kecenderungan meningkatnya disparitas (disparity) pidana dalam perkara yang mendapat perhatian besar dari masyarakat dan perkara yang sama tetapi tidak mendapat perhatian yang signifikan dari masyarakat.

20 Kebijakan Eksekutif Dalam Bidang Hukum Pidana
Hukum Pidana Indonesia menganut Double Track System (Sistem Dua Jalur), sehingga Kebijakan Eksekutif dalam bidang hukum pidana diarahkan pada dua sektor: Kebijakan Eksekutif terhadap fungsionalisasi/operasionalisasi pidana (straf), baik pidana pokok maupun pidana tambahan. Kebijakan Eksekutif terhadap fungsionalisasi/operasionalisasi tindakan (matreegeel), baik yang terdapat dalam KUHP maupun di luar KUHP.

21 Kebijakan Fungsionalisasi/ Operasionalisasi Pidana Pokok
Kebijakan fungsionalisasi/operasionalisasi pidana pokok ditandai dengan berbagai kecenderungan: Abolisionisasi atau Empowerment pidana mati. Maksimalisasi penggunaan pidana penjara dan pembentukan pidana lain sebagai pengganti pidana penjara. Defungsionalisasi “pidana tutupan”. Pidana tutupan adalah pidana yang dapat dijatuhkan terhadap pembuat tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara, tetapi melakukan perbuatan tersebut untuk maksud yang patut dihormati Defungsionalisasi pidana kurungan, karena nyaris tidak ada perbedaan dengan pidana penjara Menempatkan pidana denda pada posisi “second line” termasuk terhadap tindak pidana yang behubungan dengan keuangan/perekonomian.

22 Kebijakan Fungsionalisasi/ Operasionalisasi Pidana Mati
Umumnya dibedakan empat kelompok negara terhadap pidana mati, yaitu: (1) negara yang telah menghapuskan pidana mati secara de jure; (2) negara yang telah menghapuskan pidana mati secara de facto tetapi masih menerapkannya secara de jure karena masih mencantumkannya dalam peraturan perundang-undangannnya; (3) negara yang masih memberlakukan pidana mati, baik secara de jure maupun de facto; (4) negara yang secara de jure menghapuskan pidana mati tetapi secara de facto masih memberlakukannya; Indonesia adalah negara yang menghapuskan pidana mati secara de facto tetapi tidak secara de jure, karena eksekusi pidana mati dibawah 10%; Meningkatnya fungsionalisasi pidana mati terhadap pelaku tindak pidana adminstratif (misalnya narkoba) dan terhadap tindak pidana khusus (misalnya terorisme), sedangkan fungsionalisasi pidana mati terhadap pelaku tindak pidana umum cenderung menurun ;

23 Kebijakan Fungsionalisasi/ Operasionalisasi Pidana Penjara
Keadaaan umum Prison di berbagai negara termasuk Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia cenderung melebihi daya tampung (over capacity), sehingga fokus dari penal policy di berbagai negara adalah upaya mengatasinya dengan berbagai cara: Amesti umum untuk pidana penjara kurang dari tiga bulan; Mengganti pidana penjara singkat waktu (short time sentence) yang tidak lebih dari enam bulan dengan berbagai alternatif; Penerapan night only dan weekend detention; Penerapan Community Service Order (Pidana Kerja Sosial); Penerapan pidana denda sebagai model eksekusi pidana penjara; Pembentukan Penjara Khusus (Misalnya: Khusus Pecandu Narkotika) dan pelaksanaan sistem pemenjaraan dalam bentuk khusus seperti “sistem penjara terbuka” (open prison)

24 KebijakanFungsionalisasi/ Operasionalisasi Pidana Denda
Kelemahan dan dampak stigmatisasi pidana perampasan kemerdekaan seharusnya mendorong menguatnya maksimalisasi pidana denda, tetapi di Indonesia kecenderungan sangat bervariasi; Terhadap tindak pidana dalam KUHP pidana denda nyaris tidak lagi diterapkan karena tidak mempunyai efek jera akibat ancaman yang terlalu ringan; Terhadap tindak pidana di luar KUHP pidana denda diterapkan secara alternatif/kumulatif dengan pidana penjara/kurungan; Pidana denda diancamkan bagi korporasi tetapi tidak ditentukan alternatif apabila denda tidak dibayar sehingga dapat menjadi non applicable;

25 Kebijakan Fungsionalisasi/ Operasionalisasi Pidana Tambahan
Penggunaan pidana tambahan khususnya yang ditentukan di luar KUHP menunjukkan kecenderungan yang meningkat; Dalam tindak pidana korupsi terdapat pidana tambahan berupa “pembayaran uang pengganti”; Pidana tambahan “pembayaran uang pengganti” cenderung diterapkan sebagai “pembayaran ganti kerugian”. Dalam hal ini pidana tambahan “pembayaran uang pengganti” bukan hanya ditetapkan terhadap sejumlah uang yang diperoleh terdakwa dari tindak pidana korupsi, tetapi juga seluruh “kerugian” dari tindak pidana tersebut; Terdapat problem yuridis serius dalam hal “pembayaran uang pengganti” ini tidak dapat dipenuhi oleh Terpidana, apakah dapat diganti dengan “pidana pokok” padahal ini hanyalah pidana tambahan ataukah dapat di “putihkan” tanpa putusan pengadilan.

26 Kebijakan Fungsionalisasi/ Operasionalisasi Tindakan
Penggunaan tindakan sebagai sarana non penal masih minim digunakan; Tindakan terkadang mempunyai efek “detterence” yang lebih tinggi daripada pidana tetapi dapat mengurangi impak stigmatisasi dari suatu sanksi;

27 Analisis Kebijakan dan Kebijakan Kriminal
Kebijakan kriminal sebagai sebuah disiplin juga menggunakan medote analisis tertentu, yang pada umumnya merupakan bagian dari “analisis kebijakan” dalam arti luas; Analisis kebijakan dalam arti luas dibedakan antara analisis kebijakan sebagai seni praktek dan analisis kebijakan sebagai ilmu. Dalam pada itu Kebijakan kriminal cenderung lebih ditempatkan sebagai ilmu daripada sebagai seni praktek; Walaupun demikian analisis kebijakan kriminal juga dapat ditempatkan sebagai seni praktek sepanjang analist-nya mempunyai kedudukan sebagai pengambil kebijakan dalam bidang hukum pidana itu sendiri;

28 Kebijakan Kriminal dalam kuadran analisis kebijakan sebagai bagian dari Kuadran Teknis dari Perspektif Administrator atau Teknokrat Stakeholder perspective Politician’s perspective Kuadran politis Kuadran Deliberative Kuadran Teknis Kuadran Strategis Administrator/ Technocrat perspective Policy Analist perspective

29 Analisis Kebijakan Kriminal Sebagai Ilmu
Kebijakan kriminal sebagai ilmu mempunyai filosofi dan grand theory-nya sendiri; Dasar filosofi analisis kebijakan kriminal adalah falsafah telelogis (kebijakan harus mengacu pada tujuan) dan falsafat deontologis (pencapaian tujuan dilakukan dengan proses yang benar); Analisis Kebijakan kriminal berpangkal tolak dari grand theory tentang sistem hukum. Friedmann misalnya mengetengahkan tiga kombinasi dasar dari sistem hukum, yaitu substance, structure dan culture;

30 Identifikasi Analisis Kebijakan
Studi Analisis Kebijakan dapat diidentifikasi kedalam berbagai bidang kajian (studi), yaitu: Analisis untuk merumuskan kebijakan Analisis untuk memprediksi impak kebijakan Analisis untuk memperbaiki isi kebijakan Analisis untuk memperbaiki pelaksanaan kebijakan Analisis untuk memperbaiki proses kebijakan

31 Kebijakan Kriminal dalam Penelitian tentang Kebijakan
Analisis Kebijakan kriminal terhadap kebijakan legislastif merupakan penelitian tentang Isi Kebijakan (policy contents) Analisis Kebijakan kriminal terhadap kebijakan yudikatif merupakan penelitian tentang Proses Kebijakan (policy process) Analisis Kebijakan kriminal terhadap kebijakan eksekutif merupakan penelitian tentang Hasil Kebijakan (policy outputs)

32 Langkah-langkah Menlakukan Analisis Kebijakan Kriminal
Analisis kebijakan kriminal dilakukan dengan langkah-langkah: Menemukenali isu kebijakan kriminal; Menetapkan isu kebijakan kriminal; Melakukan analisis-evaluasi kebijakan kriminal; Melakukan penilaian dan uji hasil sementara analisis kebijakan terpilih; Melakukan uji impak kebijakan kriminal; Menyusun penilaian altenatif kebijakan kriminal; Menetapkan alternatif kebijakan kriminal terpilih; Menyampaikan hasil analiasis kebijakan kriminal; Mendampingi proses perumusan kebijakan kriminal; Mengawasi proses implementasi kebijakan kriminal; Melakukan evaluasi “pasca kebijakan” kriminal;


Download ppt "Prof. Dr. Syaiful Bakhri, SH. MH"

Presentasi serupa


Iklan oleh Google