Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

MATA KULIAH USHUL FIQH I PUSAT STUDY ISLAM ASY-SYIFA’

Presentasi serupa


Presentasi berjudul: "MATA KULIAH USHUL FIQH I PUSAT STUDY ISLAM ASY-SYIFA’"— Transcript presentasi:

1 MATA KULIAH USHUL FIQH I PUSAT STUDY ISLAM ASY-SYIFA’
أصول الفقة Andri Ismail,MA Pertemuan ke-1 MATA KULIAH USHUL FIQH I PUSAT STUDY ISLAM ASY-SYIFA’

2 PENGERTIAN FIQH DAN USHUL FIQH
Pengertian Fiqh (الفقهُ) menurut bahasa (etimologi) : adalah : (العلم بالشيء والفهم له/ pengetahuan dan pemahaman terhadap sesuatu). Contoh : [يَفْقَهُوا قَوْلِي/supaya mereka mengerti perkataanku, (QS. Thaha:28)] Pengertian Fiqh menurut istilah (terminologi) : [العلمُ بالأحكامِ الشَّرعيَّة العمليَّة المُكتسبة من أدلَّتِها التَّفصيليَّة /Mengetahui hukum-hukum syara’ (Islam) yang bersifat amaliah (praksis) yang diambil dari dalil-dalinya yang terperinci].

3 العلمُ بالأحكامِ الشَّرعيَّة العمليَّة المُكتسبة من أدلَّتِها التَّفصيليَّة
ilmu tentang hukum-hukum syar’I yang bersifat amaliyah yang digali dan ditemukan dari dalil-dalil yang tafsili Dalam defenisi ini, fiqh diibaratkan dengan ilmu karena fiqh itu semacam ilmu pengetahuan. Memang fiqh itu tidak sama dengan ilmu seperti disebutkan diatas, fiqh itu bersifat zhanni. Fiqh adalah apa yang dapat dicapai oleh Mujtahid dengan zhannya, sedangkan ilmu tidak bersifat zhan seperti fiqh. Namun karena zhan dalam fiqh kuat, maka ia mendekati kepada ilmu; karena dalam defenisi ini ilmu digunakan juga untuk fiqh.

4 Kata “ hukum” dalam defenisi tersebut menjelaskan bahwa hal-hal yang berada di luar apa yang dimaksud dengan kata “hukum”, seperti zat, tidaklah termasuk ke dalam pengertian fiqh. Bewntuk jama’ dari hukum adalah “ahkam”. Disebut dalam bentuk jama’, adalah untuk menjelaskan bahwa fiqh itu ilmu tentang seperangkat aturan yang disebut hukum. Penggunaan kata “ syar’iyah” atau “ syari’ah” dalam defenisi tersebut menjelaskan bahwa fiqh itu menyangkut ketentuan yang bersifat syar’I, yaitu sesuatu yang berasal dari kehendak Allah SWT. Kata ini sekaligus menjelaskan bahwa sesuatu yang bersifat ‘aqli seperti ketentuan bahwa dua kali dua adalah empat atau bersifat hissi seperti ketentuan bahwa api itu panas bukanlah lapangan ilmu fiqh.

5 Kata “ amaliyah” yang terdapat dalam defenisi diatas menjelaskan bahwa fiqh itu hanya menyangkut tindak tanduk manusia yang bersifat lahiriyah. Dengan demikian hal-hal yang bersifat bukan amaliyah seperti masalah keimanan atau aqidah tidak termasuk dalam lingkungan fiqh dalam artian ini. Umpamanya ketentuan bahwa Allah itu bersifa Esa dan bahwa Allah dapat dilihat diakhirat.

6 Penggunaan kata digali dan ditemukan” mengandung arti bahwa fiqh itu adalah hasil penggalian, penemuan, penganalisaan dan penentuan ketetapan tentang hukum. Karenanya bila bukan dalam bentuk hasil suatu penggalian- seperti mengetahui apa-apa yang secara lahir dan jelas dikatakan Allah- tidak disebut fiqh. Fiqh itu adalah hasil penemuan mujtahid dalam hal-hal yang tidak dijelaskan oleh nash.

7 Kata’ tafsili” dalam definisi itu menjelaskan tentang dalil-dalil yang digunakan seorang ahli fiqh atau mujtahid dalam penggalian dan penemuannya. Karena itu, ilmu yang diperoleh orang awam dari seorang mujtahid yang terlepas dari dalil tidak termasuk kedalam pengertian Fiqh.

8 Al-Amidi memberikan defenisi yang berbeda dengan defenisi diatas, yaitu:” ilmu tentang seperangkat hukum-hukum syara’ yang bersifat furu’iyah yang berhasil di dapat melalui penalaran atau istidlal”. Kata “furu’iyah” dalam defenisi al-Amidi menjelaskan bahwa ilmu tentang dalil dan macam-macamnya sebagai hujjah, bukanlah fiqh menurut arti ahli ushul, sekalipun yang diketahui itu adalah hukum yang bersifat nazhari.

9 Penggunaan kata “penalaran” dan “istidlal” (yang sama maksudnya dengan “digali”) menurut istilah Al-Amidi di atas memberikan penjelasan bahwa fiqh itu adalah hasil penalaran dan istidlal. Ilmu yang diperoleh bukan dengan cara seperti itu – seperti ilmu Nabi tentang apa yang diketahuinya dengan perantaraan wahyu- tidak disebut fiqh.

10 Dari dua defenisi itu di simpulkan :
Fiqh itu adalah ilmu tentang hukum Allah Yang dibicarakan adalah hal-hal yang bersifat amaliyah furu’iyah Pengetahuan tentang hukum Allah itu didasarkan kepada dalil tafsili Fiqh itu digali dan ditemukan melalui penalaran dan istidlal seorang mujtahid dan faqih

11 Pengertian “Ushul” تعريف أصول
الأصول جمع الأصل , فهو لغة : ما يبنى عليه غيرُهُ Al-ushuul adalah bentuk jamak dari al-ashl yang secara etimologis berarti ma yubna ‘alaihi ghairuhu (dasar segala sesuatu, pondasi, asas, atau akar). (أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ (إبراهيم ٢٤

12 و الأصل اصطلاحا : الدليل , قيل : أصل هذا الحكم من الكتاب
Sedangkan menurut istilah, kata al-ashl berarti dalil, misalnya: para ulama mengatakan: “ Ashlu / Dalil tentang hukum masalah ini ialah ayat sekian dalam Al-Qur’an). (أصلٍ) secara istilah berarti : (الدليلُ) : dalil (الرَّاجحُ) : yang kuat (القاعدةُ) : kaidah (الاستصحابُ) : istishhab (salah satu dalil syar’I yang dipersilahkan/akan dijelaskan nanti)

13 Ushul Fiqh secara istilah (menurut Baidhawi) :
مَعْرِفَةُ دَلائِلِ الْفِقْهِ إجْمَالا وَكَيْفِيَّةِ الاِسْتِفَادَةِ مِنْهَا وَحَالِ الْمُسْتَفِيْدِ Memahami dalil-dalil fiqh secara global, bagaimana menggunakannya dalam mengambil sebuah hukum fiqh, serta kondisi orang yang mengambil faidah hukum tersebut. Penjelasan : Yang dimaksud dengan (دَلائِلِ الْفِقْهِ إجْمَالا / dalil-dalil fiqh secara global) adalah kaidah-kaidah yang bersifat umum dan menyeluruh yang mencakup hukum-hukum parsial (bagian).

14 Contoh : الأَصْلُ فِي الأَمْرِ لِلوُجُوبِ : dasar dalam perintah menunjukkan wajib. Jadi firman Allah :[وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ/ Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat (QS. Al-Baqarah:43] menunjukkan wajibnya shalat dan zakat. الأَصْلُ فِي النَهْيِ لِلتَحْرِيْم : dasar dalam larangan menunjukkan haram. Jadi firman Allah : [وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا/ Dan janganlah kamu mendekati zina. (QS. Al-Isra’:32)] menunjukkan haramnya zina. Jadi tidak termasuk dari “dalil-dalil (kaidah-kaidah fiqh secara global” dalil-dalil yang terperinci. Dalil-dalil terperinci tersebut tidaklah disebutkan dalam ilmu Ushul Fiqih kecuali sebagai contoh (dalam penerapan) suatu kaidah.

15 Yang dimaksud dengan : (وَكَيْفِيَّةِ الاِسْتِفَادَةِ مِنْهَا / bagaimana menggunakannya dalam mengambil sebuah hukum fiqh) adalah dgn mengetahui bagaimana cara mengambil hukum dari dalil-dalilnya dengan mempelajari hukum-hukum lafadz dan penunjukkannya seperti ‘am, khas, muthlaq, muqoyyad, nasikh, mansukh, dan lain-lain. Maka dengan menguasainya (cara mengambil hukum dari dalil-dalil umum) seorang Mujtahid bisa mengambil hukum dari dalil-dalil fiqih.

16 Yang dimaksud dengan (وَحَالِ الْمُسْتَفِيْدِ/ serta kondisi orang yang mengambil faidah hukum tersebut) adalah mengetahui kondisi/keadaan orang yang mengambil faidah hukum , yaitu mujtahid. Dinamakan orang yang mengambil faidah hukum (الْمُسْتَفِيْدِ), karena ia dengan dirinya sendiri dapat mengambil faidah hukum dari dalil-dalilnya karena ia telah mencapai derajat ijtihad. Maka mengenal mujtahid, syarat-syarat ijtihad, hukumnya dan yang semisalnya dibahas dalam ilmu Ushul Fiqih.

17 Menurut ulama ushul fikih mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali, ushul fikih adalah kaidah-kaidah (qawâ’id) yang dapat mengantarkan pada penggalian (istinbâth) hukum syariat dari dalil-dalilnya yang terperinci (Wahbah az-Zuhaili,1989: jld. I, hlm ) Sedangkan menurut ulama mazhab Syafii, ushul fikih adalah pengetahuan mengenai dalil-dalil fikih yang bersifat global, tatacara pengambilan hukum dari dalil-dalil itu, serta keadaan orang yang mengambil hukum (al-Amidi:2005 jld. I, hlm. 10).  ushul fiqh dlm pengertian sederhana adalah : Ilmu tentang kaedah-kaedah yang membawa kepada usaha merumuskan hukum syara‘ dari dalilnya yang terperinci“ (Amir: 2005:38).

18 Pengertian hukum Islam
Hukum Islam terdiri dari kata hukum dan Islam. Hukum berarti Seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang diakui sekelompok masyarakat; disusun orang-orang yang diberi wewenang oleh masyarakat itu; berlaku dan mengikat untuk seluruh anggotanya”. Hukum Islam adalah: “ Seperangkat perarturan berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah Rasulullah tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini mengikat untuk semua yang beragama Islam”. (Amir : 2005: 5-6).

19 Pengertian Syariat Kata شريعة secara etimologi mempunyai dua arti :
مورد الماء الجاري الذى يقصد للشرب yang artinya aliran air yang digunakan untuk minum. Dikatakan demikian karena sumber/aliran air merupakan sumber kehidupan dan kesehatan bagi tubuh. الطريقة المستقيمة (jalan yang lurus)

20 Pengertian syariat secara Istilah
Manna' al-Qattan (ahli fiqh dari Mesir) mendefinisikan syari'ah sebagai segala ketentuan Allah SWT bagi hamba-Nya yang meliputi masalah akidah, ibadah, akhlak dan tata kehidupan umat manusia untuk mencapai kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat.  Imam asy-Syatibi menyatakan bahwa syariat sama dengan agama. Fathi ad-Duraini: syari'ah adalah segala yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW berupa wahyu, baik yang terdapat dalam Al-Qur'an maupun dalam sunnah Nabi SAW yang diyakini kesahihannya. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa syari'ah adalah an-nushush al-muqaddasah (teks-teks suci) yang dikandung oleh Al-Qur'an dan sunnah Nabi SAW. 

21 Menurut sebagian besar para fuqaha' syariah adalah merupakan hukum-hukum yang telah disyari'atkan Allah SWT kepada hamba-hambaNya melalui lisan nabi-nabi-Nya Menurut para ahli lainnya, defenisi syari’ah adalah: Segala titah Allah yang berhubungan dengan tingkah laku manusia di luar yang mengenai akhlaq”.

22 Diantara ulama ada yang lebih mengkhususkan lagi pemakaian kata “syari’ah” itu dengan : “ Apa yang bersangkutan dengan peradilan serta pengajuan perkara kepada mahkamah dan mencakup kepada halal dan haram”. Qatadah menurut yang diriwayatkan al-Thabari, menggunakan kata “syari’ah kepada hal yang menyangkut kewajiban, had, perintah dan larangan; tidak termasuk didalamnya ‘aqidah, hikmah, dan ibarat yang tercakup dalam agama. Syaltut mengartikan syari’ah dengan “hukum-hukum dan aturan-aturan yang ditetapkan Allah bagi hambaNya dengan sesama manusia”.

23 Jika kita melihat beberapa definisi yang telah disebutkan, ternyata ada yang mendefinisikan makna syari'ah secara ijmal (global, seperti definisi yang diberikan oleh as-Syathibi, Manna' al-Qaththan dan para fuqaha. Sedangkan definisi yang diberikan Fathi ad-Duraini merupakan pengertian syari'ah secara khusus, yaitu syari'ah Islamiyah (syari'at Islam).  Maka syari’ah dapat dipahami dalam artian khusus dan umum.

24 Syariat dalam pengertian umum adalah Khitab Allah atau Ad-Dinul Islam, dan dalam pengertian khusus adalah hukum-hukum yang berkaitan dengan amaliah. Pengkhususan ini di maksudkan karena ad-Din pada dasarnya adalah satu dan berlaku secara universal, sedangkan syari’ah berlaku untuk masing-masing umat yang berbeda dengan umat sebelumnya. Dengan demikian kata “ syari’ah” lebih khusus dari ad-Din. Syari’ah adalah hukum amaliah yang berbeda menurut perbedaan Rasul yang membawanya dan setiap yang datang kemudian mengoreksi yang datang lebih dahulu. Sdangkan dasar agama, yaitu aqidah/tauhid, tidak berbeda antara Rasul yang satu dengan lainnya.

25 Perbedaan Fiqh dengan Ushul Fiqh :
Pembahasan ilmu fiqh berkisar: perbuatan mukallaf dari sisi konsekuensi hukumnya secara syar’I ( jual beli, sholat, dst). Sedangkan pembahasan ushul fiqh berkisar tentang : dalil syar’i global dan apa yang diambil darinya hukum-hukum global ( qiyas, ‘am, mutlaq, dst)

26 OBYEK PEMBAHASAN FIQH DAN USHUL FIQH
Objek pembahasan fiqh : perbuatan mukallaf dari sisi ditetapkannya hukum syara’. Jadi seorang Ahli Fiqh umpamanya membahas shalat, zakat, shaum, haji, jual beli, hutang piutang, sewa menyewa dan lain sebagainya untuk mengetahui hukum syara’ bagi setiap perbuatan ini. Sedangkan objek pembahasan Ushul Fiqh adalah dalil syara’ yang bersifat menyeluruh dari sisi melalui dalil tsb ditetapkan hukum syara’ yang bersifat menyeluruh pula. Jadi Ahli Ushul Fiqh umpamanya membahas qiyas dan kehujjahannya, lafazh yang umum dan yang membatasinya, lafazh yang berbentuk perintah dan yang ditunjukinya, dst.

27 Tujuan mempelajari Fiqh dan Ushul Fiqh
Tujuan mempelajari ilmu fiqh : menerapkan hukum-hukum syara’ pada perbuatan-perbuatan dan perkataan-perkataan manusia. Jadi fiqh adalah rujukan seorang hakim dalam memutuskan perkara, rujukan seorang pemberi fatwa dalam memberikan fatwa, dan rujukan setiap mukallaf bagi setiap perkataan dan perbuatan yang dilakukannya. Inilah tujuan yang dimaksud dari undang-undang pada bangsa manapun.

28 Jadi dengan kaidah-kaidah dan metode penelitiannya :
Tujuan mempelajari Ilmu Ushul Fiqh : menerapkan kaidah-kaidah dan metode penelitian Ushul Fiqh terhadap dalil-dalil yang terperinci untuk menggali hukum syara’ yang ditunjuki dalil tersebut. Jadi dengan kaidah-kaidah dan metode penelitiannya : Nash-nash (teks-teks) dalil syara’ dapat dipahami dan diketahui hukumnya, dapat diketahui hilangnya suatu yang tidak jelas dari dalil-dalil itu, dapat diketahui yang kuat dari dalil-dalil yang bertentangan.

29 Hukum dapat digali melalui qiyas, istihsan, istishhab dan lainnya tentang suatu kejadian yang hukumnya tidak disebutkan dalam nash al-Qur’an atau sunnah. Dapat betul-betul dipahami hukum yang digali oleh para Ulama Mujtahid. Dapat membandingkan perbedaan-perbedaan pendapat para Ulama Mujtahid tentang hukum satu kejadian.

30 SEJARAH PERKEMBANGAN USHUL FIQH
Masa Rasulullah SAW Masa Sahabat Masa Tabi’in Masa Pembukuan (Tadwin) Masa Modern

31 Masa Rasulullah : Di masa awal hijriyah (Nabi saw) belum ada kebutuhan untuk ushul fiqh, karena Rasulullah SAW sendiri yg menetapkan dan memutuskan dengan al-Qur’an dan sunnah sehingga tidak membutuhkan kaidah istimbath (penggalian hukum) dan ijtihad.

32 Masa Sahabat Para Sahabat setelahnya berfatwa dengan nash-nash al-Quran & as-Sunnah yang mereka pahami melalui kemampuan bahasa Arab mereka tanpa membutuhkan kaidah-kaidah bahasa. Dalam hal-hal yang tidak ada nashnya, mereka beristinbath dari nash-nash yang ada , melalui pemahaman mereka yang kuat terhadap nash-nash itu. Hal itu lantaran mereka telah menemani Rasulullah saw, mengetahui sebab-sebab turun ayat dan hadits, serta memahami maqoshid syariah (tujuan pembentukan syari’at) dan prinsip-prinsip penetapannya.

33 Contoh Ijtihad Sahabat :
Umar ra tidak membagikan ghanimah berupa tanah pertanian di Sawad Iraq Umar ra tidak lagi memberikan zakat pada muallaf Umar ra tidak menjalankan praktek hukum potong tangan pada pencuri di masa paceklik dan kelaparan Ali ra memutuskan vonis 80 kali dera pada mereka yang terbukti minum khamr

34 Masa Tabi’in Pada masa ini futuhat islamiyah semakin meluas. Dengan demikian, umat Islam Arab banyak berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain yang berbeda bahasa dan latar belakang peradabannya, hal ini menyebabkan melemahnya kemampuan berbahasa Arab di kalangan sebagian umat, terutama di Irak . Di sisi lain kebutuhan akan ijtihad begitu mendesak, karena banyaknya masalah-masalah baru yang belum pernah terjadi dan memerlukan kejelasan hukum fiqhnya.

35 Dalam situasi ini, muncullah dua madrasah besar yang mencerminkan metode mereka dalam berijtihad:
Madrasah ahlir-ra’yi. Pusatnya : di Irak (Bashrah dan Kufah). Pengusungnya : murid-murid dari Abdullah bin Mas’ud. Banyak menggunakan ijtihad qiyasi (analog). Madarasah ahlil-hadits. Pusatnya : di Hijaz ( Mekkah dan Madinah). Pengusungnya : murid-murid dari Ibnu Umar dan Ibnu Amr bin Ash. Mengoptimalkan penggunaan atsar / riwayat.

36 Madrasah ahlir-ra’yi lebih banyak menggunakan qiyas (analogi) dalam berijtihad, hal ini disebabkan oleh: Sedikitnya jumlah hadits yang sampai ke ulama Irak. Ketatnya seleksi hadits yang mereka lakukan, hal ini karena banyaknya hadits-hadits palsu yang beredar di kalangan mereka sehingga mereka tidak mudah menerima riwayat seseorang kecuali melalui proses seleksi yang ketat. Di sisi lain masalah baru yang mereka hadapi dan memerlukan ijtihad begitu banyak, maka mau tidak mau mereka mengandalkan qiyas (analogi) dalam menetapkan hukum. Masalah-masalah baru ini muncul akibat peradaban dan kehidupan masyarakat Irak yang sangat kompleks. Mereka mencontoh guru mereka Abdullah bin Mas’ud ra yang banyak menggunakan qiyas dalam berijtihad menghadapi berbagai masalah.

37 Sedangkan madrasah ahli hadits lebih berhati-hati dalam menetapkan hukum dengan qiyas, karena situasi yang mereka hadapi berbeda, situasi itu adalah: Banyaknya hadits yang berada di tangan mereka dan sedikitnya kasus-kasus baru yang memerlukan ijtihad. Contoh yang mereka dapati dari guru mereka, seperti Abdullah bin Umar ra, dan Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, yang sangat berhati-hati menggunakan logika dalam beristinbath.

38 Masa Pembukuan 3 Faktor pembukuan Ushul Fiqh :
Adanya perdebatan sengit antara madrasah Irak dan madrasah Hijaz. Mulai melemahnya kemampuan bahasa Arab di sebagian umat Islam akibat interaksi dengan bangsa lain terutama Persia. Munculnya banyak persoalan yang belum pernah terjadi sebelumnya dan memerlukan kejelasan hukum, sehingga kebutuhan akan ijtihad kian mendesak.

39 Awal Penulisan Ushul Fiqh :
Menurut Ibnu Nadim : Ulama yang pertamakali menyusun ilmu ushul fiqh adalah Imam Abu Yusuf, murid Imam Abu Hanifah ( Kitabnya tidak sampai kepada kita). Menurut Abdul Wahhab Khallaf dan Jumhur ulama : Yang pertamakali membukukan kaidah ushul fiqh adalah Imam Syafi’i dalam kitabnya Ar-Risalah. Sampai sekarang, Imam Syafi’I dipandang sebagai bapak Ilmu Ushul Fiqh.

40 Imam Syafi’I , Fiqh & Ushul Fiqh
Beliau lahir di Ghaza, pada usia 2 tahun bersama ibunya pergi ke Mekkah untuk belajar dan menghafal Al-Qur’an serta ilmu fiqh dari ulama Mekkah. Sejak kecil beliau sudah mendapat pendidikan bahasa dari perkampungan Huzail, salah satu kabilah yang terkenal dengan kefasihan berbahasa. Pada usia 15 tahun beliau sudah diizinkan oleh Muslim bin Khalid Az-Zanjiy - salah seorang ulama Mekkah - untuk memberi fatwa. Kemudian beliau pergi ke Madinah dan berguru kepada Imam penduduk Madinah, Imam Malik bin Anas ra ( H) dalam selang waktu 9 tahun - meskipun tidak berturut-turut - beserta ulama-ulama lainnya, sehingga beliau memiliki pengetahuan yang cukup dalam ilmu hadits dan fiqh Madinah. Lalu beliau pergi ke Irak dan belajar metode fiqh Irak kepada Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani ra (wafat th 187 H), murid Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit ra ( H).

41 3 METODE PENULISAN USHUL FIQH
Metode Ahli Ilmu Kalam [ طريقة المتكلمين (الشافعية) ] Metode Ahli Fiqh [طريقة الفقهاء ( الحنفية) ] Metode Gabungan [طريقة المتأخرين (المزدوجة)]

42 1. Metode Mutakallimin Metode ini memusatkan diri pada kajian teoritis murni untuk menghasilkan kaidah-kaidah ushul yang kuat, walaupun kaidah itu mungkin tidak mendukung mazhab fiqh penulisnya. Dalam mengkaji dan menelurkan kaidah ushul, metode ini sangat mengandalkan kajian bahasa Arab yang mendalam, menggunakan dalalah (indikator) yang ditunjukkan oleh lafazh kata atau kalimat, logika akal, dan pembuktian dalil-dalilnya. Metode ini benar-benar terlepas dari pembahasan cabang-cabang fiqh dan fanatisme mazhab, jika masalah fiqh disebutkan ia hanya sebagai contoh penerapan saja.

43 Kitab-kitab yang menggunakan Metode Mutakallimin
Ar-Risalah karya Imam Syafi’i ( H). Al-Mustashfa karya Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali Asy-Syafi’i (wafat 505 H). Al-Ihkam fi Ushulil-Ahkam karya Saifuddin Ali bin Abi Ali Al-Amidi Asy-Syafi’i (wafat 631 H). Al-Minhaj, karya al-Baidhawi asy-Syafi’I (Wafat 685 H), disyarhkan oleh al-Isnawi.

44 2. Metode Fuqoha’ Keterkaitan erat antara Ushul Fiqh dengan masalah cabang-cabang Fiqh dimana ia dijadikan dalil dan sumber utama kaidah-kaidah ushul yang mereka buat. Apabila ada kaidah ushul yang bertentangan dengan ijtihad fiqh para imam dan ulama mazhab Hanafi, mereka menggantinya dengan kaidah yang sesuai. Tujuan utama dari metode ini adalah mengumpulkan hukum-hukum Fiqh hasil ijtihad para ulama mazhab Hanafi dalam kaidah-kaidah ushul. Metode ini terlepas dari kajian teoritis dan lebih bersifat praktis.

45 Kitab-kitab yang menggunakan Metode Fuqaha’
Kanz Al-Wushul Ila ma’rifat Al-Ushul karya Ali bin Muhammad bin Al-Husain Al-Bazdawi Al-Hanafi (wafat th. 482 H). Ta’sis An-Nazhar karya Ubaidullah bin Umar bin Isa Abu Zaid Ad-Dabbusi Al-Hanafi (wafat th 430 H). Al-Manar karya Hafizhuddin Abdullah bin Ahmad An-Nasafi Al-Hanafi (wafat th 701 H).

46 3. Metode Muta’akhirin (Metode Gabungan)
Metode ini muncul pertama kali pada permulaan abad ke-7 Hijriyah melalui seorang alim Irak bernama Ahmad bin Ali bin Taghlib yang dikenal dengan Muzhaffaruddin Ibnus Sa’ati (wafat th 694 H) dengan bukunya Badi’un-Nizham Al-Jami’ baina Ushul Al-Bazdawi Wal-Ihkam. Di antara keistimewaan terpenting dari metode ini adalah penggabungan antara kekuatan teori dan praktek yaitu dengan mengokohkan kaidah-kaidah ushul dengan argumentasi ilmiah disertai aplikasi kaidah ushul tersebut dalam kasus-kasus fiqh.

47 Kitab-kitab yang menggunakan Metode Gabungan
Badi’un-Nizham Al-Jami’ baina Ushul Al-Bazdawi Wal-Ihkam karya Ibnus-Sa’ati. Al-Ahkam, karya Muzhaffaruddin al-Baghdadiy al-hanfi(w 694 H) At-Taudhih , karya Shadr asy-Syari’ah. Di antara kitab-kitab Ushul Fiqh Modern : Irsyad Al-Fuhul Ila Tahqiq ‘Ilm Al-Ushul karya Muhammad bin Ali bin Abdullah Asy-Syaukani Asy-Syafi’i (wafat th 1250 H). Ushul Fiqh,karya al-Marhum asy-Syaikh al-Hudhari Bik ( w 1927 H) Tashil al-Wushul ilaa ‘Ilmi al-Ushul, karya al-Marhum Asy-Syaikh Muhammad ‘Abdur Rahman ‘Ied al-Mahlawi (w 1920 H)


Download ppt "MATA KULIAH USHUL FIQH I PUSAT STUDY ISLAM ASY-SYIFA’"

Presentasi serupa


Iklan oleh Google