Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

Presentasi sedang didownload. Silahkan tunggu

Pertumbuhan PLN Pelita-1 s/d 2005 Sudaryatno Sudirham.

Presentasi serupa


Presentasi berjudul: "Pertumbuhan PLN Pelita-1 s/d 2005 Sudaryatno Sudirham."— Transcript presentasi:

1 Pertumbuhan PLN Pelita-1 s/d 2005 Sudaryatno Sudirham

2 Pengantar Berikut ini disajikan rangkuman perkembangan PLN dari masa repelita pertama sampai tahun 2005 dalam bentuk grafik dan tabel, untuk menjaga perspektif dalam meninjau berbagai perkembangan yang sedang dan akan terjadi.

3 1. Pendahuluan

4 1. Pendahuluan Tenaga listrik adalah salah satu bentuk energi dan merupakan salah satu kebutuhan hidup orang banyak. Oleh karena itu masalah ketenagalistrikan merupakan masalah kita bersama, baik pihak pengelola maupun pihak pengguna “Jika saya ibaratkan negara ini adalah tubuh manusia, maka jaringan telekomunikasi adalah urat syaraf negara dan jaringan tenaga listrik adalah urat darah negara” Pada tahun 1963, Prof. TM Soelaiman berkata dalam salah satu kuliahnya: Jika pengibaratan itu berlaku, kita mengerti betapa pentingnya membuat “urat darah” negara ini tetap sehat dan berkembang. Sebuah tulisan sekitar tahun 1975, yang mengulas perkembangan negara-negara dunia ketiga (the third world), menyebutkan bahwa salah satu sebab mengapa negara-negara dunia ketiga sulit berkembang adalah ketidakmampuan negara untuk men-supply energi listrik yang cukup kepada rakyatnya.

5 1. Pendahuluan Pertumbuhan ketenagalistrikan di Indonesia tidak lepas dari pengaruh perubahan-perubahan situasi ekonomi negara (dan politik) yang terjadi pada 1997. Sementara itu pola pengelolaan ketenagalistrikan di banyak negara lain mengalami perubahan (restrukturisasi), ada yang berhasil dengan baik ada pula yang kurang/belum berhasil. Upaya perubahan-perubahan ini pernah pula hendak dilakukan di Indonesia akan tetapi batal. Sesungguhnya produksi energi listrik di Indonesia tidak hanya dilakukan oleh PLN, tetapi juga oleh satuan industri untuk keperluan sendiri dan lokal. Namun di sini kita hanya melihat PLN saja.

6 2. Jumlah Pelanggan

7 2. Jumlah Pelanggan Jumlah Pelanggan. Jumlah pelanggan PLN terus meningkat setiap tahun. Pada tahun 2005 jumlah pelanggan mencapai 34,56 juta, dengan 93% di antaranya adalah dari kelompok Rumah Tangga.(Gb.1). Sumber: Statistik PLN Pada tahun 2005 jumlah pelanggan mencapai 34,56 juta, dengan 93% di antaranya adalah dari kelompok pelanggan Rumah Tangga.

8 Tabel-1. Laju Pertumbuhan Rata-Rata per Tahun Jumlah Pelanggan [%]
Walaupun jumlah pelanggan terus meningkat, namun mulai tahun 1998 laju pertumbuhannya menurun dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Laju pertumbuhan pada lima tahun terakhir (2001 sampai 2005) hanya mencapai 4.4%, jauh di bawah laju pertumbuhan pada Repelita-2 (1974 – 1979) yang 11,56%. (Tabel-1). Laju pertumbuhan yang rendah ini terkait dengan rendahnya laju pertumbuhan pembangunan fisik pembangkitan dan jaringan. Tabel-1. Laju Pertumbuhan Rata-Rata per Tahun Jumlah Pelanggan [%] RT Ind. Bisnis Lain2 Jumlah Repelita 1 3.05 -0.55 7.17 10.75 3.51 Repelita 2 11.64 2.51 13.27 6.28 11.56 Repelita 3 20.62 15.85 10.45 18.21 19.83 Repelita 4 16.45 10.47 8.33 16.93 16.05 Repelita 5 8.00 4.20 6.53 10.36 Repelita 6 (s/d 1998) 10.97 1.62 11.89 8.94 10.16 3.75 0.95 6.5 4.8 4.4 Sumber: Statistik PLN

9 3. Daya Tersambung

10 3. Daya Tersambung Daya Tersambung. Pertumbuhan daya tersambung untuk berbagai kelompok pelanggan tidak selalu sama (Gb.2.). Sumber: Statistik PLN

11 3. Daya Tersambung Kelompok pelanggan Rumah Tangga, Bisnis, dan kelompok Lain-lain (gedung pemerintah, penerangan jalan umum, sosial) cenderung selalu meningkat. Kelompok pelanggan Industri mengalami penurunan pada 1999, setelah itu meningkat lagi namun dengan laju pertumbuhan yang lebih rendah dari tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2005 daya tersambung kelompok pelanggan Rumah Tangga mencapai MVA dan kelompok Bisnis mencapai MVA. Jumlah keduanya mencapai MVA yang dapat dianggap sebagai komponen penentu tingginya beban puncak (malam hari). Sementara itu pertumbuhan daya tersambung pelanggan Industri tidak cukup besar, hanya mencapai MVA pada tahun 2005 sehingga daya tersambung total menjadi MVA

12 Tabel-2. Laju Pertumbuhan Rata-Rata per Tahun Daya Tersambung [%]
Secara nasional, laju pertumbuhan tertinggi terjadi pada kurun (Repelita-3) yakni sebesar 20,03%, kemudian menurun pada perioda lima tahun berikutnya menjadi 14,83%, dan menurun lagi pada lima tahun berikutnya menjadi 8,74%. Pada lima tahun terakhir, laju pertumbuhan daya tersambung rata-rata per tahun hanya mencapai 5,48%, jauh lebih rendah dari laju pertumbuhan yang dicapai pada Pelita I yang 12,81%.(Tabel-2). Tabel-2. Laju Pertumbuhan Rata-Rata per Tahun Daya Tersambung [%] RT Ind. Bisnis Lain2 Jumlah Repelita 1 10.81 18.24 9.33 8.06 12.81 Repelita 2 20.01 18.18 16.90 10.13 17.97 Repelita 3 21.69 13.79 20.12 35.72 20.03 Repelita 4 15.30 17.04 12.42 10.07 14.83 Repelita 5 8.27 9.50 12.18 3.68 8.74 Repelita 6 (s/d 1998) 11.93 5.90 14.20 5.43 9.81 6.11 2.62 7.64 7.34 5.48 Sumber: Statistik PLN

13 4. Produksi

14 4. Produksi Produksi. Produksi tahunan terus meningkat namun dengan laju yang terus menurun.(Gb.3). Sumber: Statistik PLN

15 Tabel-3. Laju Pertumbuhan Rata-Rata per Tahun Produksi [%]
Laju pertumbuhan rata-rata per tahun tertinggi tercapai pada masa Repelita-3 sebesar 18.53%, menurun pada lima tahun berikutnya menjadi 13,86% dan menurun lagi menjadi 12,76%. Pada lima tahun terakhir, laju pertumbuhan rata-rata per tahun produksi hanya mencapai 6.42%. (Tabel-3). Tabel-3. Laju Pertumbuhan Rata-Rata per Tahun Produksi [%] Repelita Tahun 2 3 4 5 6 (s/d 1999) 01– 05 13.74 18.53 13.86 12.76 10.92 6.42 Sumber: Statistik PLN

16 Tabel-4. Pertumbuhan Produksi
Produksi (total) terdiri dari produksi sendiri yang persentasenya terus menurun dan pembelian energi yang persentasenya terus meningkat. Pada tahun 2005 produksi sendiri mencapai 77% dan pembelian energi mencapai 23% dari produksi total. (Tabel 4). Tabel-4. Pertumbuhan Produksi Prod Sendiri Energi Beli Tahun Total GWh GWh tumbuh % 1998 77,903 74,421 3,482 1999 84,775 80,023 7.5 4,752 36.5 2000 93,326 83,504 4.3 9,822 106.7 2001 101,654 87,635 4.9 14,019 42.7 2002 108,361 88,069 0.5 20,292 44.7 2003 112,972 90,166 2.4 22,806 12.4 2004 120,244 93,113 3.3 27,132 19.0 2005 127,370 98,177 5.4 29,193 7.6 Sumber: Statistik PLN

17 5. Fisik

18 5. Fisik Fisik. Sarana fisik PLN untuk menyediakan energi listrik terdiri dari pembangkitan, jaringan transmisi, dan jaringan distribusi. Semenjak krisis 1997, pertumbuhan sarana fisik tersebut sangat memprihatinkan. Pertumbuhan kapasitas terpasang tidak mengimbangi pertumbuhan daya tersambung dan produksi. Jumlah kapasitas terpasang hanya bertambah sebesar 3,2% dari 1998 sampai (Gb.4.a). Gb.4.a Sumber: Statistik PLN

19 Tabel-5. Persentase Kapasitas Terpasang (1999)
5. Fisik Melihat kenyataan bahwa kapasitas terpasang antara 1999 sampai 2005 hampir tidak ada perubahan, maka komposisi pembangkit pada 2005 tidak akan jauh berbeda dengan komposisi pada tahun 1999, yaitu PLTU 32,9%, PLTGU 30,5%, PLTA 14,6%, PLTD 12,9%, PLTG 7,4%, dan PLTP 1,7%, dengan sekitar 74% melayani beban di Jawa.(Tabel-5). Tabel-5. Persentase Kapasitas Terpasang (1999) Luar Jawa Jawa Indonesia PLTA 3.03% 11.63% 14.67% PLTU 3.75% 29.19% 32.94% PLTG 2.87% 4.50% 7.38% PLTGU 4.28% 26.29% 30.57% PLTP 0.00% 1.75% PLTD 12.17% 0.53% 12.70% Total 26.10% 73.90% 100.00% Sumber: Statistik PLN

20 5. Fisik

21 5. Fisik Pertumbuhan jaringan tidak mengimbangi peningkatan jumlah pelanggan. Semenjak 2002 hampir tidak ada penambahan jaringan distribusi, walaupun ada peningkatan jaringan transmisi. (Gb.5.a dan Gb.5.b). Gb.5.a. Jaringan Transmisi dan Distribusi 27,442 24,289 10X20,762 10X22,810 10X30,723 10X27,796 5,000 10,000 15,000 20,000 25,000 30,000 35,000 1994 1996 1998 2000 2002 2004 Tahun kms Transmisi [kms] JTM [kms] JTR [kms] Sumber: Statistik PLN

22 5. Fisik Sumber: Statistik PLN

23 6. Energi Primer

24 6. Energi Primer Energi Primer. Melihat kenyataan bahwa kapasitas terpasang antara 1999 sampai 2005 hampir tidak ada perubahan, maka komposisi pembangkit pada 2005 tidak akan jauh berbeda dengan komposisi pada tahun 1999, yaitu PLTU 32,9%, PLTGU 30,5%, PLTA 14,6%, sedangkan PLTD 12,9%, PLTG 7,4%, dan PLTP 1,7%. Pusat-pusat pembangkit ini sekitar 74% untuk melayani beban di Jawa dan 26% di Luar Jawa. Dengan komposisi pembangkit seperti tersebut di atas, dalam perioda 1996 sampai 2005 produksi dengan menggunakan bahan bakar minyak (BBM) terus meningkat sedangkan produksi dengan menggunakan gas alam terus menurun. (Gb.6.a dan Gb.6.b). Pada tahun 1999 produksi menggunakan gas alam hampir dua kali lipat dibandingkan dengan produksi menggunakan BBM. Sebaliknya, dengan komposisi pembangkit yang tak jauh berbeda, pada tahun 2005 produksi menggunakan BBM hampir dua setengah kali lipat dibandingkan dengan produksi menggunakan gas alam, sementara harga BBM terus meningkat.

25 6. Energi Primer Sumber: Statistik PLN

26 6. Energi Primer Sumber: Statistik PLN

27 Tabel-5. Specific Fuel Consumption
6. Energi Primer Konsumsi bahan bakar per kWh (Specific Fuel Consumption - SFC) bervariasi dari tahun ke tahun. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir dilaporkan SFC seperti terlihat dalam Tabel-5. Tabel-5. Specific Fuel Consumption Tahun BBM (liter/kWh) Batubara (kg/kWh) Gas Alam (MSCF/kWh) 2000 0.284 0.470 0.009 2001 0.476 2002 0.2847 0.4748 0.0085 2003 0.2776 0.4787 0.0086 2004 0.2750 0.4845 0.0088 2005 0.2732 0.5169 0.0093 Sumber: Statistik PLN

28 7. Faktor Permintaan, Faktor Beban, Faktor Kapasitas.

29 7. Faktor Permintaan, Faktor Beban, Faktor Kapasitas
Hubungan antara produksi bruto dengan kapasitas terpasang dinyatakan dengan faktor kapasitas, sedangkan hubungan antara produksi netto dengan beban puncak dinyatakan dengan faktor beban, dan hubungan antara beban puncak dengan daya tersambung dinyatakan dengan faktor permintaan. Gb.7. memperlihatkan perubahan ketiga faktor tersebut dari tahun Pada tahun 2005 produksi sendiri adalah 98,177 GWh dan pembelian energi 29,193 GWh. Kapasitas terpasang adalah 22,073 MW dan ini memberikan faktor kapasitas 50,77%. Sumber: Statistik PLN

30 7. Faktor Permintaan, Faktor Beban, Faktor Kapasitas
Peningkatan produksi yang tidak diimbangi kenaikan kapasitas terpasang menyebabkan meningkatnya faktor kapasitas. Sebelum tahun 2000 faktor kapasitas masih sekitar 45% akan tetapi pada 2005 telah mencapai 68.46%. Peningkatan faktor kapasitas ini sudah barang tentu tidak boleh dibiarkan terus berlangsung. Seandainya faktor kapasitas ini harus kembali pada nilai 60% pada 2005, kapasitas terpasang yang diperlukan adalah MW, artinya pada tahun 2005 sudah terjadi kekurangan kapasitas terpasang sebesar kira-kira MW. Mulai tahun 1997 faktor permintaan meningkat mencapai hampir 50% pada tahun 1999, dari nilai dibawah 40% pada tahun-tahun sebelumnya. Karena daya tersambung terus meningkat maka kenaikan faktor permintaan ini akan berarti naiknya beban puncak. Faktor beban cenderung menurun namun masih berada di sekitar 70%.

31 8. Beban Puncak & Kapasitas Terpasang

32 8. Beban Puncak & Kapasitas Terpasang
Beban Puncak Dan Kapasitas Terpasang. Melihat kenyataan bahwa komposisi kapasitas terpasang hampir tidak berubah dari 1998 sampai 2005, dapat diperkirakan bahwa proporsi daya tersambung di Jawa dan Luar Jawa sama seperti proporsi pada tahun 1999 yaitu 74,6% di Jawa dan 26,4% di Luar Jawa. Dengan mengambil faktor permintaan 50%, maka beban puncak di Jawa pada 2005 bisa mencapai MW, hampir sama dengan kapasitas terpasang di Jawa pada 1999 yang MW, di mana beban puncak pada waktu itu adalah MW. Dengan cara perhitungan yang sama, beban puncak untuk Luar Jawa dapat mencapai MW, sedikit lebih rendah dari kapasitas terpasang pada tahun 1999 yang MW di mana beban puncaknya MW. Kapasitas terpasang total (nasional) pada tahun 2005 hanya mencapai MW, sedikit lebih tinggi dari kapasitas terpasang tahun 1999 yang MW Dengan mengambil proporsi antara Jawa dan Luar Jawa seperti pada Tabel-3, kapasitas terpasang di Jawa hanya sekitar MW dan di Luar Jawa MW, tidak jauh berbeda dari pehitungan beban puncaknya. Keadaan ini sangat memprihatinkan, mengingat bahwa laju pertumbuhan kapasitas terpasang sangat rendah sementara produksi terus meningkat

33 9. Susut Energi

34 9. Susut Energi Susut Energi di Jaringan. Dalam penyaluran dan distribusi energi terjadi susut energi di jaringan. Karena penjualan energi terus meningkat sedangkan jaringan praktis tidak mengalami perubahan maka pembebanan jaringan akan terus meningkat pula. Hal ini menyebabkan meningkatnya susut energi di jaringan. Sebelum tahun 2001 persentase susut di jaringan distribusi berada di bawah 10%. Mulai 2001 persentase susut energi terus meningkat sampai Susut ini merupakan jumlah dari susut teknik (yang terjadi secara alamiah) dan susut nonteknik (pemakaian secara tidak syah, kekeliruan administratif). (Tabel-6). Penurunan susut nonteknik akan menurunkan perentase susut total tetapi tidak menurunkan susut teknik secara signifikan. Upaya penurunan susut yang telah dilakukan mampu menurunkan persentase susut pada Audit energi yang dilakukan oleh Gugus Tugas Audit Susut yang dibentuk pada 2005 menyebutkan bahwa persentase susut di jaringan pada 2004 adalah 12.84%, turun lebih dari 4% dari tahun sebelumnya.

35 Tabel-6. Susut Energi di Jaringan [%]
Tahun Transmisi Distribusi 1994 2.75 9.63 1995 2.86 9.47 1996 2.82 9.07 1997 2.47 9.62 1998 1.35 9.89 1999 2.59 2000 2.56 9.08 2001 2.38 11.14 2002 13.87 2003 2.49 14.64 2004 11,29% (LM); 12,84% (GT Audit) 2005 11,54% (LM) Sumber: Statistik PLN

36 9. Susut Energi Dalam tulisan sebelumnya penulis melakukan estimasi susut jaringan distribusi menggunakan metoda Rasio TM/TR dengan menggunakan data realisasi energi tahun Hasil estimasi memperlihatkan bahwa jika tingkat keberhasilan upaya penurunan susut nonteknik mencapai 70%, maka susut jaringan distribusi akan mencapai 11,3% terhadap input di jaringan distribusi. Jika susut di saluran transmisi bisa dipertahankan pada tingkat 2% terhadap input jaringan transmisi, maka dalam kondisi jaringan yang ada pada tahun 2004 dan dengan pola pembebanan yang berlangsung pada waktu itu, susut jaringan diperkirakan akan berada di sekitar nilai 13%. Angka ini dekat dengan angka yang diberikan oleh Gugus Tugas Audit yang 12,84%. Jika tingkat keberhasilan penurunan susut nonteknik bisa lebih tinggi dari 70%, susut total di jaringan akan berada di bawah angka 13%.

37 10. Mutu dan Keandalan

38 10. Mutu dan Keandalan Lama gangguan per pelanggan (SAIDI) dan jumlah gangguan per pelanggan (SAIFI) dalam lima tahun terakhir terlihat dalam Tabel-7. SAIDI dan SAIFI selain tergantung dari kondisi jaringan, dipengaruhi juga oleh kondisi lingkungan (faktor alam). Tahun SAIDI [jam/plg] SAIFI [kali/plg] 1994 20.97 19.81 1995 20.42 21.45 1996 24.49 13.95 1997 15.15 12.81 1998 15.58 18.68 1999 14.06 18.58 2000 13.24 15.12 2001 17.48 18.24 2002 14.35 14.17 2003 10.90 12.51 2004 9.43 11.78 2005 15.77 12.68 2006 27.01 13.85 Sumber: Statistik PLN

39 Courseware Perkembangan PLN Terimakasih Sudaryatno Sudirham


Download ppt "Pertumbuhan PLN Pelita-1 s/d 2005 Sudaryatno Sudirham."

Presentasi serupa


Iklan oleh Google