Pemberantasan Perdagangan Orang Dibuat,disadur,disebarluaskan sebagai sosialisasi upaya pemberantasan perdagangan orang berdasar UU 21/2007
UUPTPPO: Perdagangan Orang (Trafficking Manusia) tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
UNSUR-UNSUR TRAFIKING MANUSIA Unsur Proses/Kegiatan/Aksi yang meliputi: perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang; Unsur Cara yg menjamin kegiatan/aksi dapat terlaksana yang meliputi: ancaman, kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut; dan Unsur Maksud/Tujuan kegiatan/aksi yang meliputi: eksploitasi pada orang atau mengakibatkan orang tereksploitasi, dengan cara-cara yang disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 ayat 1 UU No 21 Th 2007.
eksploitasi tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik,seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriil.
Perekrutan adalah tindakan yang meliputi mengajak, mengumpulkan, membawa, atau memisahkan seseorang dari keluarga atau komunitasnya. Pengiriman adalah tindakan memberangkatkan atau melabuhkan seseorang dari satu tempat ke tempat lain.
Bagaimana Pelaku Mengendalikan Korban? Memastikan bhw korban akan terus bekerja sesuai perintah & tdk coba melarikan diri, dgn cara pengawasan tanpa henti atas para korbannya; Mengeksploitasi terus menerus, termasuk dgn sistem penjeratan utang; Menyita, merampas/menghilangkan dokumen perjalanan milik korban; Menakut-nakuti korban dengan menciptakan presepsi buruk pihak berwenang; Isolasi linguistik dan sosial; Mencipta stigma negatif tentang korban agar korban merasa malu; Ancaman/kekerasan/intimidasi/penyiksaan thdp korban; Ancaman balas dendam thd keluarga korban, terutama org yg paling disayangi korban
Hal Penting Yang Harus Diingat definisi mengakui segala bentuk Trafiking Manusia, tidak terbatas pada Trafiking untuk eksploitasi seksual saja. Definisi juga terfokus pada sejumlah kondisi pemberian layanan paksa, penghambaan, praktek-praktek serupa perbudakan, dan perbudakan. definisi tidak mensyaratkan korban selalu menyeberang tapal batas internasional, orang dapat juga menjadi korban Trafiking secara internal dari satu daerah tertentu ke daerah lain dalam batas wilayah negara. kecuali untuk kasus orang usia di bawah delapan belas (18) tahun, Protokol menghendaki beberapa bentuk pengurangan/pembatasan kehendak bebas dan terungkap dari korban.
BENTUK-BENTUK TRAFIKING MANUSIA Para perempuan dan anak ditrafik untuk dilacurkan dan eksploitasi seksual lainnya (termasuk phaedopili); Buruh migran; Pengemisan anak; Pengantin pesanan; Pekerja rumah tangga; Industri pornografi; Pengedaran obat terlarang dan penjualan organ tubuh; serta bentuk-bentuk eksploitasi lainnya;
Prostitusi – di jalan, bar, rumah bordil, tempat pijat; sauna, jasa perempuan panggilan; Kerja paksa – pertanian, perikanan, konstruksi, pabrik, jasa katering; Penghambaan dalam rumah tangga (PRT) Kelompok-kelompok kriminal; Pemindahan organ tubuh; Isu adopsi internasional, dsb….
Sebagai sarana sangat kuat dan komprehensif untuk memberantas kejahatan trafiking, karena: Memuat definisi dan ketentuan hukuman sangat jelas dan lengkap, termasuk tentang penjeratan utang, sehingga dapat mengeliminasi perbedaan pandangan dan penafsiran. (Lihat Pasal 1 Ketentuan Umum UU PTPPO);
Memuat ancaman pidana relatif berat kepada para pelaku dan jaringannya dgn ancaman pidana antara pidana penjara dan pidana denda bersifat kumulatif (tidak bersifat alternatif) ; Menetapkan batas minimum khusus dari sanksi pidana yang dijatuhkan dalam putusan hakim; Memuat ancaman pidana kepada para penyelenggara negara yang terlibat (langsung maupun tidak) dalam kegiatan trafiking dengan hukuman yang lebih berat, yakni pidana ditambah 1/3 dan pemberhentian secara tidak dengan hormat dari jabatan. (Lihat Pasal 8 UU PTPPO);
Memuat ancaman pidana yang dapat dijatuhkan kepada setiap orang yang melakukan tindak pidana perdagangan orang secara perorangan / kelompok / korporasi (ilegal maupun legal) dengan hukuman “relatif berat”. Pemberatan pidana dijatuhkan apabila korbannya adalah anak, juga bila mengakibatkan korbannya menderita luka berat, gangguan jiwa berat, penyakit menular, kehamilan, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi. Bila korbannya meninggal dunia maka pelaku diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama seumur hidup dan pidana denda paling sedikit 200 juta rupiah paling banyak 5 milyar rupiah. Bila pelakunya badan hukum/korporasi, pidananya diperberat dengan sanksi denda 3 kali dari denda pelaku orang, dan berupa pencabutan izin usaha, perampasan kekayaan hasil tindak pidana perdagangan orang, pencabutan status badan hukum, dll. (Lihat Pasal 15-17 UU PTPPO);
Memberikan perlidungan maksimal kepada para korban dari perbuatan yang berpotensi reviktimisasi, dengan membebaskan korban perdagangan orang dari tuntutan hukum apabila terlibat dalam tindak pidana perdagangan orang karena dipaksa atau ditipu/dicurangi oleh pihak lain tertentu. (Lihat Pasal 18 dan 26 UU PTPPO); Secara khusus memuat ketentuan bahwa persetujuan korban tidak menghilangkan penuntutan tindak pidana perdagangan orang. (Lihat Pasal 26 UU PTPPO). Substansi pasal ini ingin menjerat para pelaku yang lazim menerapkan strategi perdata sebagai pengemas aksi kejahatannya. Misalnya, pembuatan perjanjian antara pelaku dan korban yang berisi persetujuan bahwa korban bersedia menjalani pekarjaan yang diberikan pelakudengan tidak dijelaskan kondisi pekerjaannya terlerbih dahulu;
Mengkualifikasi pelaku perbantuan dalam tindak pidana perdagangan orang sama dengan pelaku utama. Artinya, UU PTPPO ini tidak membedakan peran pembantu dan pelaku utamanya. (Lihat Pasal 10 UU PTPPO); Secara khusus mengelompokkan “tindak pidana perdagangan orang” dan tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana perdagangan orang. (Lihat Bab III UU PTPPO); Dalam sistem hukum pidana Indonesia, rumusan delict-delict yang diakomodir sesungguhnya telah diatur di dalam KUHP. Namun, UU PTPPO masih tetap mengaturnya secara khusus, dengan pertimbangan agar semua rangkaian perbuatan berkaitan dengan perdagangan orang harus dapat dituntut dan diadili dengan UU PTPPO ini, sehingga para pelakunya tidak dapat lepas dari jeratan hukum;
Memuat ketentuan tentang perlindungan saksi dan korban (termasuk yang masih tergolong anak) dalam proses hukum acaranya. (Lihat Bab V UU PTPPO); Trafiking bukan merupakan delik aduan absolut. (Lihat Pasal ….. UU PTPPO); Trafiking ditetapkan sebagai gabungan delik formal sekaligus materil, bukan sebagai delik materil. (Lihat Penjelasan Pasal 2 UU PTPPO); Memuat ketentuan untuk menyediakan berbagai jenis dan fasilitas pelayanan dan penanganan terhadap para korban, termasuk pemulangan, rehabilitasi dan repatriasi korban; Memuat ketentuan tentang kerjasama internasional dan peran serta masyarakat untuk memperkuat upaya pemberantasan trafiking melalui mekanisme tertentu secara efektif.(Lihat Pasal Bab VII UU PTPPO); Mengabaikan proses beracara pidana yang selama ini cenderung bertele-tele dan merugikan korban;
Memberikan kekhususan dalam hal beracara berupa : » Perluasan terhadap pemaknaan alat bukti, sehingga tidak lagi hanya terbatas sebagaimana dimaksud dalam pasal 184 KUHAP (Lihat Pasal 29 UU PTPPO); » Melegalisasi keterangan satu orang saksi saja sebagai keterangan saksi yang sah, sehingga memudahkan polisi dalam penyidikan serta pembuktian di sidang pengadilan kelak. (Lihat Pasal 30 UU PTPPO);
Lanjutan... Memberikan kewenangan khusus kepada penyidik untuk melakukan penyadapan, permohonan pemblokiran harta kekayaan tersangka keharusan untuk merahasiakan identitas korban/saksi. (Lihat Pasal 31 – 33 UU PTPPO); » Melegalisasi pemanfaatan teknologi audio visual bagi keterangan saksi untuk menghindarkan korban bertemu langsung dengan tersangka/terdakwa, sekaligus mengantisipasi perubahan kondisi psikologis korban yang tidak stabil. (Lihat Pasal 34 UU PTPPO);
Melegalisasi pelaksanaan sidang in absentia dalam rangka mewujudkan kepastian hukum. (Lihat Pasal 41 – 42 UU PTPPO); » Pemberlakuan ketentuan beracara secara khusus bagi korban anak guna mencegah dan meminimalkan ekses dari proses penegakan hukum terhadap kelanjutan tumbuh kembang anak. (Lihat Pasal 38 – 40 UU PTPPO); Semangat yang diakomodasi dalam Bab IV UU PTPPO ini pada dasarnya adalah ingin memberikan kemudahan kepada korban dalam menegakkan hak-haknya dan mendapatkan keadilan, serta melindungi korban dari ekses proses penegakan hukum yang dijalaninya.
Mengakomodasi seluruh kepentingan terbaik bagi korban, yang secara substansial dapat dijumpai dalam berbagai ketentuan UU PTPPO ini yang memberikan perluasan hak korban/saksi dan keluarganya: » Untuk mendapatkan pelayanan khusus dari pihak kepolisian melalui kewajiban bagi pihak kepolisian menyediakan fasilitas Ruang Pelayanan Khusus (RPK). (Lihat Pasal 45 UU PTPPO); » Untuk mendapatkan pelayanan memadai pada fasilitas Pusat Pelayanan Terpadu/Trauma Center di setiap kabupaten/kota. (Lihat Pasal 46 UU PTPPO); » Untuk mendapatkan pelayanan perlindungan khusus dari Kepolisian Negara apabila terdapat ancaman yang membahayakan diri, jiwa, ataupun hartanya. (Lihat Pasal 47 UU PTPPO); » Untuk mendapatkan fasilitas pelayanan pemulihan medis/psikologis, bantuan hukum, pemulangan ke negara atau daerah asal sesuai keinginan korban, rehabilitasi dan reintegrasi sosial dari pemerintah. (Lihat Pasal 51 - 54 UU PTPPO); » Untuk mendapatkan restitusi dari pelaku, (Lihat Pasal 48 - 50 UU PTPPO; dan hak-hak lainnya, (Lihat Pasal 55 UU PTPPO).
Unsur Penipuan dalam tindak pidana perdagangan orang yang selama ini seringkali dipahami secara keliru (yakni mempersyaratkan harus terdapat unsur penyerahan barang). Padahal, inti yang harus ada dari tindak pidana penipuan ádalah pada ada atau tidaknya unsur kerugian (bisa bersifat materiil/immateriil) yg dialami satu pihak dan keuntungan secara tidak sah yg didapat pada pihak lain. Artinya, tidak perlu ada unsur penyerahan barang. Hal ini memang dimaksudkan untuk mengakomodasi berbagai praktek penipuan dimana pihak korbannya menyerahkan atau memberikan jasa tertentu – bukan barang sehingga menimbulkan kerugian pada pihaknya; Pemalsuan Dokumen dan/atau Penggunaan Dokumen Palsu yang cenderung membalikkan posisi korban dari korban tindak pidana perdagangan orang sesungguhnya menjadi pelaku pelanggaran hukum dalam tindak pidana lainnya; Kerja Paksa; dll. Penerapan Pasal 51 ayat 2 Untuk Menangani Korban yang harus dipahami bahwa pelayanan bisa diberikan kepada para korban trafiking dengan tidak mensyaratkan adanya laporan kepada polisi terlebih lebih dulu sebagai satu-satunya persyaratan. Artinya identifikasi awal yang dilakukan dengan teliti oleh petugas kesehatan di rumah sakit atau klinik tempat korban ditangani atau oleh pihak lain tertentu dianggap sudah cukup;
Pasal 2 (1) Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan,penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). (2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang tereksploitasi, maka pelaku dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 3 Setiap orang yang memasukkan orang ke wilayah negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi diwilayah negara Republik Indonesia atau dieksploitasi di negara lain dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 4 Setiap orang yang membawa warga negara Indonesia ke luar wilayah negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di luar wilayah negara Republik Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 5 Setiap orang yang melakukan pengangkatan anak dengan menjanjikan sesuatu atau memberikan sesuatu dengan maksud untuk dieksploitasi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 6 Setiap orang yang melakukan pengiriman anak ke dalam atau ke luar negeri dengan cara apa pun yang mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Setiap penyelenggara negara yang menyalahgunakan kekuasaan yang mengakibatkan terjadinya tindak pidana perdagangan orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana dalam Pasal 2,Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6. (2) Selain sanksi pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pelaku dapat dikenakan pidana tambahan berupa pemberhentian secara tidak dengan hormat dari jabatannya. (3) Pidana tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan.
SIAPA SAJA PELAKU TRAFIKING? Agen Perekrut Tenaga Kerja (legal or ilegal): membayar agen/calo (perseorangan) utk cari buruh di desa-desa, kelola penampungan, peroleh identitas & dokumen perjalanan, beri pelatihan & pemeriksaan medis serta tempatkan buruh dlm kerjaannya di ngr tujuan. Mrk melakukan praktik yg ilegal & eksploitatif, sprt fasilitasi pemalsuan paspor dan KTP serta scr ilegal nyekap buruh di penampungan. (Tdk semua PJTK terdaftar melakukan tindakan semacam itu); Agen: agen/calo mungkin saja org asing yg datang ke suatu desa, tetangga, teman or bahkan kepdes, tokoh masyarakat, tokoh adat, ataupun tokoh agama. Agen dpt bekerja scr bersamaan utk PJTK terdaftar & tdk terdaftar, guna peroleh bayaran utk tiap buruh yg direkrutnya.;
Pihak yang terlibat Pemerintah : Sadar or tdk, ”pjbt pemerintah” juga terlibat ketika memalsukan dokumen, mengabaikan pelanggaran dlm perekrutan ketenagakerjaan, or fasilitasi penyeberangan perbatasan scr ilegal (tmsk pembiaran oleh polisi/petugas imigrasi); Majikan : Maksa buruh yg direkrut utk kerja dlm kondisi eksploitatif, tdk bayar gaji buruh, nyekap buruh di tmpt kerja, lakukan kekerasan seksual or fisik thdp buruh, maksa buruh utk terus kerja di luar keinginan or kemampuan mereka, or nahan mereka dlm penjeratan utang; Pemilik dan Pengelola Rumah Bordil : Maksa seorang perempuan utk kerja di luar kemauan or kemampuannya, nahannya dlm penjeratan utang, nyekapnya, batasi kebebasan bergeraknya, tdk bayar gajinya atau merekrut dan mempekerjakan anak belum berusia 18 tahun;
Lanjutan… Calo Pernikahan: Ngatur pernikahan yg akibatkan pihak istri terjerumus dlm kondisi serupa perbudakan dan eksploitatif; Orangtua dan/atau sanak saudara/kenalan/tetangga : Scr sadar or tdk, tlh jual anak or sdr mereka kpd seorang apakah ke dlm industri seks or sektor lain, terima pembyaaran di muka utk penghasilan yg akan diterima anak mrk di hari kemudian, or tawarkan layanan/jasa dari anak mrk guna lunasi utang yg telah mrk ciptakan, akhirnya maksa anak mrk msk ke dlm penjeratan utang; Suami : Nikahi lalu ngirim istri ke sebuah tmpt baru dgn tujuan utk mengeksploitasinya demi keuntungan ekonomi, tempatkannya dlm status budak, or maksanya melakukan prostitusi.
AKIBAT TRAFIKING DAN ONGKOS KEMANUSIAAN Korban ngalami byk perlakuan kejam, termasuk pembunuhan; Mrk sgt sering ngalami pelecehan & kekerasan fisik, seksual & psikologis yg serius; pelecehan & kekerasan fisik (maksa korban bekerja pada kondisi sgt berbahaya or sengaja menganiaya sampai cacad bahkan cacad permanen) pelecehan & kekerasan seksual (maksa korban melakukan hubungan seksual, diperkosa, dianiaya kalau nolak berhubungan, akibatnya tertular PMS ttt – termasuk HIV AIDS) pelecehan & kekerasan psikologis (gabungan pelecehan & kekerasan fisik dan seksual, timbul Gangguan Stress Paska Trauma, berakibat pada kesulitan penyidik lakukan penyidikan)
DAMPAK TRAFIKING TERHADAP KESEJAHTERAAN KORBAN, MASYARAKAT DAN NEGARA Trafiking, terutama utk tujuan eksploitasi seks, adalah kejahatan ‘modal kecil-untung besar-resiko kecil-hukuman ringan’ yg menghancurkan kualitas kehidupan bahkan terkadang menghilangkan kehidupan dari para korban; Gangguan stabilitas & masa depan dari negeri jika kestabilan pasar seks & tenaga kerja yg ada terganggu, krn pd saat para korban yg diperdagangkan dipindahkan dari or sebaliknya diperkenalkan kpd pasar tenaga kerja & seks illegal, akan memiliki potensi perang antar kelompok yg hebat; Menyebabkan terjadinya pertumbuhan dan perluasan dari kejahatan terorganisir sebab kejahatan Trafiking Manusia yg terorganisir tdk terbentuk scr terpisah dari kejahatan-kejahatan lainnya.
Lanjutan…. Akan mengganggu kestabilan ekonomi, krn bersamaan dgn itu, tumbuh juga kejahatan pencucian uang, sebab keuntungan finansial akan dgn cpt menuntun kpd berbagai kegiatan pencucian uang yg canggih, yg dilakukan scr internal maupun eksternal, hal mana dapat memicu terganggunya kestabilan ekonomi; Trafiking berskala besar, dpt mengganggu kestabilan demografis (penduduk) dalam skala mikro dan makro – sebab berhubungan dengan banyaknya korban yang diperdagangkan keluar dari negera asalnya;
Lanjutan…. Membuka peluang bagi tumbuhnya korupsi di sektor publik, sebab sifat Trafiking yg berlapis-lapis dpt ciptakan berbagai kesempatan bagi para petugas dari berbagai lembaga utk lakukan korupsi; Adanya cash setiap hari, memungkinkan terjadinya pelecehan terhadap upaya melawan kejahatan Trafiking oleh para penegak hkm, krn para penegak hukum yg terkontaminasi korupsi dlm jaringan Trafiking tdk lagi dpt bekerja menegakkan hkm utk berantas kejahatan-kejahatan Trafiking, but sebaliknya malah dpt bekerjasama dgn jaringan yg mengoperasikan Trafiking; Keseluruhan keadaan ini akan ganggu investasi ekonomi dlm negeri, timbulkan instabilitas politik & keamanan nasional, sehingga merusak seluruh tatanan kehidupan & kesejahteraan masyarakat yg menjurus kpd keruntuhan suatu bangsa/negara.
BAGAIMANA CARA DAN UPAYA MEMBERANTASNYA? Fokus pada Korban dan Calon Korban: Tangani masalah pendidikan dan ekonomi, Lakukan upaya penciptaan lapangan kerja untuk mengurangi pengangguran dan tercapainya peningkatan taraf hidup korban & masyarakat. Penanganan dan pemulihan secara terpadu
BAGAIMANA CARA DAN UPAYA MEMBERANTASNYA? Fokus pada Pelaku dan Jaringannya: Menegakkan hukum scr serius, keras dan konsiten dengan komitmen yang tinggi serta memberdayakan seluruh peraturan perundang2an yang berlaku, Tangkap pelaku dan jaringannya, proses mereka secara benar, tuntut mereka dengan tuntutan yang tinggi, serta hukum mereka seberat-beratnya.
PENTINGNYA PENEGAKAN HUKUM SEBAGAI SARANA PEMBERANTASAN TRAFIKING Dipandang yang paling efektif, oleh karena: Akar persoalan trafiking terhadap manusia bukanlah pada masalah ekonomi atau pendidikan, but adalah suatu praktik kejahatan keji yang mengeksploitasi dan memangsa mereka yang “lemah” ; Penegakan hukum yang serius, keras dan konsisten dengan komitmen yang tinggi dapat: Menghentikan dan mematikan langkah dan strategi bisnis bejat mereka, Mengurungkan niat para pelakunya mengeksploitasi org lain, serta Membuat para pelaku dan jaringannya mengalihkan bisnis mereka untuk bergerak di bidang usaha yang lain.
Peran Masyarakat Menjadi penjaga gerbang utama orang keluar masuk desa Membangun sistem perlindungan desa
Layanan bagi korban –PP 9 Tahun 2008 Rehabilitasi Kesehatan adalah pemulihan saksi dan/atau korban dari gangguan kesehatan yang dideritanya baik fisik maupun psikis yang dilaksanakan di PPT. Rehabilitasi Sosial adalah pemulihan saksi dan/atau korban dari gangguan kondisi psikososial dan pengembalian keberfungsian social secara wajar baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Pemulangan adalah tindakan pengembalian saksi dan/atau korban ke daerah asal atau negara asal dengan tetap mengutamakan pelayanan perlindungan dan pemenuhan kebutuhannya.
Reintegrasi Sosial adalah penyatuan kembali saksi dan/atau korban dengan pihak keluarga, keluarga pengganti, atau masyarakat yang dapat memberikan perlindungan dan pemenuhan kebutuhan bagi saksi dan/atau korban. Konseling dan bantuan hukum
Kewajiban Pemda menjemput dan memulangkan ke daerah asal dan tindakan lain yang diperlukan dalam melindungi saksi dan/atau korban. Penyelenggaraan pelayanan terpadu dilaksanakan pemerintah kabupaten/kota yang dilakukan dengan bekerja sama antarinstansi atau lembaga pemerintah terkait di daerah. Pemerintah dan pemerintah provinsi dapat menyediakan petugas pelaksana atau petugas fungsional yang diperlukan oleh PPT di kabupaten/kota.