Prinsip-prinsip Keadilan, Pajak dan Kebebasan SUNARYO Pengajar di Universitas Paramadina
Isi diskusi Dalam diskusi pajak kali ini, saya ingin masuk lewat sebuah rumusan mengenai keadilan yang dipahami sebagai fairness. Perdefinisi, pajak adalah kewajiban finansial yang harus ditanggung oleh seseorang atas institusi kepada negara. Saya tidak akan menjelaskan soal detil mengenai jenis-jenis pajak. Yang saya akan jelaskan adalah tentang teori keadilan yang dipahami sebagai fairness. Dari uraian mengenai justice as fairness, nanti kita akan menarik beberapa kesimpulan mengenai pajak, khususnya soal dasar legitim mengapa pajak pantas untuk diberlakukan, dan kepada siapa pajak seharusnya didistribusikan.
John rawls dan teori keadilan Tokoh yang dibahas dalam diskusi mengenai keadilan adalah John Rawls (1921- 2002), pemikir filsafat politik kontemporer paling utama. Hampir seluruh diskusi mengenai filsafat politik dan filsafat social menjadikan pemikiran Rawls sebagai titik tolak. Karyanya yang paling penting, A Theory of Justice terbit pada 1971 dan baru direvisi pada 1999. Selain karya ini, ia juga menulis buku besar lainnya, Political Liberalism pada 1993. Dua buku itu menjadi karya utama pemikiran besar Rawls. Karya-karya yang lain lebih meneguhkan pandangan yang ada di dalam dua buku tersebut.
John Rawls 1921-2002
Pengaruh pemikiran rawls Pengaruh pemikiran Rawls sangat luas, tidak hanya bagi mereka yang bergelut pada filsafat politik dan filsafat social, tetapi juga pada pemikiran ekonomi dan hukum. Di Indonesia, namanya sebenarnya cukup populer. Namun, secara umum, pemikirannya masih belum dipahami dengan baik. Pemikiran Rawls layak dan bahkan sangat layak untuk dipahami, meski kita tidak perlu menerima semuanya. Dalam beberapa hal, kita juga bisa mengajukan kritik dan catatan terhadap pemikiran yang diajukan Rawls.
Minat pada masalah keadilan Minat Rawls pada tema keadilan sebenarnya berangkat dari pertanyaan mendasar dalam agama Mengapa ada kejahatan, dan apakah ekistensi manusia dimaafkan meski ada kejahatan? Pertanyaan ini menuntunnya untuk mencari jawaban apakah masyarakat yang adil itu benar-benar mungkin dalam realitas sejarah. Bagi Rawls, realitas dunia itu bersifat arbitrer dari perspektif moral (arbitrary form a moral point of view) Karenanya realitas itu tidak bisa dinilai adil atau tidak adil. Yang bisa dinilai adil atau tidak adil adalah soal bagaimana institusi merespon realitas itu.
Mencari rumusan prinsip keadilan Dari minat tadi, Rawls kemudian mencoba merumuskan masalah keadilan dalam cara berikut. Pertama-tama ia mencari rumusan mengenai prinsip yang menjadi dasar pembentukan sebuah institusi social (di dalamnya termasuk kerjasama social) yang fair dan berlangsung langgeng. Kedua, dalam merumuskan masalah keadilan, ia juga mencoba merespon realitas ketidaksetaraan (inequality) dalam masyarakat yang membuat prospek hidup setiap orang menjadi berbeda.
Keadilan dan latar belakang sosial Dalam merumuskan ide keadilan, Rawls menolak pandangan Nozick yang diinspirasi oleh John Locke mengenai keadilan pemerolehan (acquire) dan pemindahan (transfer). Dalam pengertian itu, sejauh seseorang memperolah harta dengan cara yang legal maka ia memiliki hak atas harta itu. Rawls menilai pengertian itu jelas belum memadai bagi ide keadilan. Dalam merumuskan prinsip-prinsip keadilan, penting untuk melihat latar belakang social setiap orang. Cara ini bisa menghindari konsentrasi kekayaan pada satu orang atau satu kelompok. Paling tidak ada kontingensi yang perlu dilihat: kontingensi social dan kontingensi alamiah.
Posisi asali dan selubung ketidaktahuan Salah satu ide penting dalam perumusan prinsip-prinsip keadilan yang bersifat universal dan langgeng adalah ide posisi asali (the original position). Ide ini tentu saja tidak pernah ada dalam sejarah, tetapi perlu dan penting diandaikan untuk melahirkan prinsip yang fair. Posisi asali adalah kondisi di mana kita semua berada dalam selubuh ketidaktahuan (veil of ignorance). Dalam selubung ketidaktahuan, kita diandaikan tidak mengetahui posisi kita nanti: berada di kelasa social apa, berjenis kelamin apa, berwarna kulit apa dan seterusnya. Pengandaian ini dimaksudkan agar putusan yang dilahirkan dalam posisi asali bersifat formal, universal dan langgeng.
Struktur dasar Subjek utama dalam ide keadilan yang dibayangkan Rawls adalah struktur dasar (basic structure) masyarakat. Yang dimaksud dengan struktur dasar adalah prinsip yang menjadi rujukan dalam kehidupan sosial, politik dan juga ekonomi. Ia semacam konstitusi dasar kehidupan bersama. Struktur dasar itu bukan berasal dari satu doktrin komprehensif tertentu. Ide mengenai Justice as Fairness harus menjadi struktur dasar masyarakat.
Prinsip-prinsip keadilan rawls Lantas apa prinsip-prinsip keadilan yang dianggap fair itu? Menurut Rawls ada dua prinsip keadilan yang sangat mendasar. 1. Setiap orang memiliki klaim tak terbatalkan yang sama untuk sebuah skema yang betul-betul memadai dari kebebasan dasar yang setara, di mana skema itu juga kompatibel dengan skema kebebasan yang sama bagi semua 2. Ketidaksetaraan sosial dan (ketidaksetaraan, pen.) ekonomi adalah (hanya dizinkan, pen.) untuk memenuhi dua hal: yang pertama peluang pekerjaan dan posisi tertentu harus terbuka bagi semua (warganegara, pen.) dalam satu kondisi kesetaraan kesempatan yang fair; yang kedua memberikan manfaat paling besar kepada kelompok yang paling tidak beruntung (prinsip perbedaan/difference principle).
Prinsip pertama Dalam prinsip pertama Rawls menekankan pentingnya prinsip equal basic liberties for all bagi penegakan keadilan. Yang dimaksud dengan kebebasan dasar itu adalah kebebasan berpikir dan kebebasan suara hati; kebebasan berpolitik dan berserikat; dan hak dan kebebasan yang dilindungi oleh aturan hukum. Perlunya jaminan, dalam pandangan Rawls, untuk melindungi dua daya moral dasar pada setiap manusia, yakni sense of justice dan sense of the good. Selain itu, jaminan kebebasan dasar ini juga yang memungkinkan sukses atau langgengnya sebuah rezim demokrasi.
Prinsip kedua Dalam prinsip kedua, ada dua hal yang ditekankan, yakni prinsip kesetaraan kesempatan yang fair (fair equality of opportunity) dan prinsip perbedaan (difference principle). Dalam prinsip kesetaraan kesempatan yang fair, Rawls menolak model liberal formal yang kerap dipahami dalam prinsip laissez-faire. Dalam pandangan liberal formal, kesetaraan kesempatan dipahami sebagai “careers open to talents” atau yang terbaik yang berhak atas sebuah kesempatan. Bagi Rawls pandangan ini sangat tidak memadai untuk disebut sebagai fairness, karena tidak mempertimbangkan kontingensi social dan kontingensi natural setiap orang.
Signifikansi latar belakang Dalam pandangan Rawls, talenta setiap orang sangat ditentuka oleh latar belakang social seperti kelas social keluarga di mana mereka hidup, pendidikan yang mereka peroleh dan seterusnya. Talenta juga ditentukan oleh kondisi fisik ketika seseorang lahir, apakah normal atau cacat. Bagi Rawls semua kondisi harus dipertimbangkan dalam distribusi kesempatan seperti pendidikan dan pekerjaan. Distribusi tidak hanya atas dasar pada yang terbaik, karena latar belakang kondisi setiap orang berbeda. Karena pandangan ini, sebagian pembaca Rawls mengeksplisitkan kemungkinan kebijakan affirmative action secara temporer.
Prinsip perbedaan Menurut Freeman, yang dimaksud dengan prinsip perbedaan (DP) adalah penataan institusi hukum agar memerhatikan soal hak kepemilikan dan kontrak, serta penataan institusi ekonomi agar aktivitas perdagangan dan konsumsi dapat berimplikasi pada prospek yang lebih baik bagi warganegara (individu-individu) yang tidak beruntung. Prinsip perbedaan lebih dimaknai sebagai tata kelola sistem ekonomi yang mampu mempromosikan manfaat bagi kelompok tidak beruntung secara optimal. Ada dua titik tekan yang hendak didorong lewat prinsip perbedaan ini: pertama perhatian terhadap kelompok tidak beruntung dengan mengatur sistem kepemilikan, produksi dan transaksi; kedua sistem ekonomi yang paling adil adalah sistem ekonomi yang dapat membuat kelompok tidak beruntung menjadi jauh lebih baik daripada kondisi sebelumnya
Beberapa kesimpulan terkait dengan pajak Kesimpulan apa yang dapat ditarik dari pandangan keadilan Rawls di atas? Pertama eksistensi negara dijustifikasi. Keberadaan institusi politik ini diarahkan untuk menegakkan prinsip-prinsip keadilan yang dipahami dalam arti fairness. Kedua, eksistensi negara tentu saja mengandaikan adanya kemampuan atau kekuasaan untuk menarik pajak. Dalam istilah James Buchanan, negara memiliki “power to tax”. Kekuasaan negara untuk menarik pajak harus diteguhkan dalam konstitusi sebagai struktur dasar politik. Ini kesimpulan normatif yang bisa ditarik dari pemikiran Rawls.
Ide tentang keadilan pajak Selain beberapa kesimpulan yang bersifat normatif, kita juga bisa menarik beberapa gagasan mengenai keadilan pajak (tax justice). Pertama, ide mengenai pajak progresif adalah fair. Semakin tinggi pendapatan yang diterima maka akan semakin besar nilai pajak yang harus ditanggung. Semakin besar risiko sebuah tindakan bagi kesehatan dan kelestarian lingkungan, maka beban pajak yang harus ditanggung seharusnya semakin besar. Misalnya pajak/cukai rokok dan penambangan. Kedua, pajak harus didistribusikan untuk meminimalisasi ketidakadilan yang ada dalam masyarakat. Orang miskin, orang cacat, kelompok masyarakat yang termarjinalkan harus diberi prioritas untuk mengakses pendidikan dan pekerjaan agar kapabilitas mereka semakin baik dan martabat kemanusiaannya tidak mengalami degradasi.
Akuntabilitas dan pemberdayaan Ketiga, penggunaan dana pajak harus semakin akuntabel. Kemana dana pajak didistribusikan harus diketahui oleh para warga. Institusi negara memang memiliki “power to tax”, tapi pada saat yang sama, kekuasaan itu hanya mungkin jika mereka bersikap akuntabel dalam menggunakan dana pajak dan mendistribusikan secara tepat. Keempat, pajak harus diproyeksi untuk membuat para warga semakin berdaya dalam menggunakan kebebasan dan kapabilitasnya. Karenanya penggunaan pajak untuk memperlemah daya kebebasan tentu saja dapat dianggap sebagai illegal.