POLITIK HUKUM Dr. MIRZA NASUTION, S.H., M.Hum.
PENGERTIAN POLITIK HUKUM Istilah/nomenklatur Politik Hukum merupakan terjemahan Bahasa Indonesia dari istilah Hukum Belanda yaitu rechtspolitiek, yang terdiri dari dua kata, recht dan politiek. Kata politiek (bhs. Belanda) menurut van der Tas mengandung arti beleid, kata beleid berarti kebijakan (policy). Kata hukum (bhs. Arab) hukm (kata jamaknya ahkam berarti putusan (judgement, decision)
Definisi Politik Hukum: rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak dalam bidang hukum.
SEJARAH MUNCULNYA POLITIK HUKUM Dilatarbelakangi oleh rasa ketidakpuasan para teoretisi hukum terhadap model pendekatan hukum selama ini. Pendekatan hukum secara normatif tidak mampu menyelesaikan semua persoalan hukum. Persoalan hukum yang berkembang seiring terjadinya pergeseran perubahan struktur sosial akibat modernisasi dan industrialisasi, politik, ekonomi dan pertumbuhan Iptek.
Van Apeldoorn dalam bukunya Inleiding tot de Studie van Het Nederlandse Recht, tidak menyebutkan secara eksplisit istilah politik hukum dan tidak pernah menyebutkan bahwa politik hukum merupakan salah satu disiplin ilmu hukum. Soepomo dalam salah satu bukunya yang berjudul Soal-soal Politik Hoekoem dalam Pembangunan Negara Indonesia (dipublikasikan pada tahun 1947) telah menyebutkan secara eksplisit istilah politik hukum. Bellefroid dalam bukunya yang berjudul inleiding tot de Rechtswetenschap in Nederland yang diterbitkan tahun 1953, yang di dalam tulisannya itu menyebutkan secara eksplisit istilah politik hukum (de rechtspolitiek) sebagai sebuah istilah mandiri. Istilah lain tentang politik hukum dapat ditemui pada buku Soepomo dan Djoko Soetono berjudul Sejarah Politik Hukum Adat 1848-1928 .
Dari kutipan di atas dapat diketahui istilah dan kajian tentang politik hukum baik dari sisi teoretis maupun praktis sebenarnya telah dikenal di Indonesia cukup lama. Dari pemaparan di atas, hal-hal yang berkaitan dengan politik hukum dalam pengertian teoretis dan praktis (menyangkut makna dan jiwa sebuah tata hukum dan “teknik hukum” yang menyangkut cara membentuk hukum) adalah kajian Hukum Tata Negara.
Rechterlijke Organisatie Administratiefrechterlijke ORGANISATIERECHT Materieel PRIVAATRECHT Regelend Dwingend MATERIEEL ADMINISTRATIEF RECHT Materieel STRAFRECHT in bijzondere comuun wetten strafecht Burgelijk PROCESRECHT Administratief PROCESRECHT Non contentieus contentieus Straf PROCESRECHT Rechterlijke Organisatie Administratiefrechterlijke ORGANISATIERECHT Rechterlijke Organisatie STAATSRECHT Sumber: Sistem Hukum H.D. Van Wijk
POLITIK DAN PENEGAKAN HUKUM DEMOKRASI DAN HUKUM Secara historik Prinsip demokrasi lahir sebagai saudara kembar dari prinsip hukum dalam negara-negara demokrasi modern. Ketika gagasan demokrasi muncul kembali setelah tenggelam karena takluknya Romawi terhadap Eropa Barat maka pemunculan itu diikuti oleh prinsip hukum sebagai prosedur untuk memproses aspirasi rakyat dan prosedur untuk menegakkannya
Demokrasi normatif Demokrasi empirik Makna demokrasi Ada yang melihat perbedaan antara demokrasi sebagai performance dan sebagai essence
Sistem politik yang demokratis cenderung melahirkan hukum yang berkarakter responsif dan otonom. Sistem politik yang otoriter cenderung melahirkan hukum-hukum yang berwatak konservatif.
Isinya bersifat limitatif Proses pembuatannya partisipatif artinya mengundang partisipasi masyarakat. Materi muatannya aspiratif dalam arti menampung aspirasi masyarakat yang dikonteskan secara demokratis dan bukan sekedar memberi justifikasi atas kebijaksanaan negara. Isinya bersifat limitatif Hukum yang berwatak responsif
Dalam penegakannya hukum di era Orde Baru ditandai juga oleh dua hal yang bertendensi memanipulasi dan melanggar hukum itu sendiri yakni pengutamaan kebijaksanaan di atas peraturan resmi dan pembelokan kasus hukum menjadi bukan kasus hukum. Kebijaksanaan yang dibuat terang-terangan melanggar ketentuan hukum hanya karena mengejar target atau capaian satu program. Begitu juga kita sering mendengar adanya kasus yang sebenarnya harus menjadi kasus hukum dan diselesaikan di pengadilan ternyata hanya dijadikan kasus salah prosedur yang tidak dianggap berdosa. Ini merupakan cerminan dari hukum-hukum yang berkarakter elitis.
Purnadi Purbacaraka penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah/pandangan-pandangan yang mantap dan mengejawantah dalam sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan (social engineering), memelihara, dan mempertahankan (social control) kedamaian pergaulan hidup.
Soerjono Soekanto Tegaknya hukum ditandai oleh empat faktor: Hukum atau aturannya sendiri; Mental aparat penegak hukum; Fasilitas pelaksanaan hukum; Kesadaran dan kepatuhan hukum serta perilaku masyarakat.
PEMERINTAHAN DAERAH KHUSUS/ISTIMEWA Otonomi Daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai peraturan perundang-undangan. Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 menentukan, “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang”.
Dalam ketentuan tersebut terdapat lima hal pokok yaitu: a. negara mengakui b. negara menghormati c. yang diakui dan dihormati itu adalah satuan-satuan pemerintahan daerah. d. satuan-satuan pemerintahan daerah dimaksud bersifat khusus atau istimewa. e. satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa tersebut diatur dengan undang- undang. Apa yang dimaksud dengan negara mengakui? Apakah pengakuan tersebut harus bersifat retrospektif yaitu objek yang diakui harus sudah ada lebih dulu daripada pernyataan pengakuan atau juga dapat bersifat proaktif dan forward-looking di mana objek yang diakui baru timbul setelah adanya pernyataan pengakuan.
OTONOMI KHUSUS DALAM KONSTITUSI Setelah terjadi amandemen UUD 1945 Pasal 18B ayat (1) menegaskan: “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang”. Perkataan khusus akan memiliki cakupan yang lebih luas, antara lain karena dimungkinkan membentuk pemerintahah daerah dengan otonomi khusus (NAD dan Papua).
Apakah perbedaan antara faktor kekhususan dengan faktor istimewa Apakah perbedaan antara faktor kekhususan dengan faktor istimewa? Menurut Penjelasan Pasal 18 (lama), pengertian istimewa dikaitkan dengan pemerintahan asli seperti desa atau pemerintahan yang diselenggarakan pribumi seperti Daerah Istimewa Yogyakarta (di masa penjajahan). Dengan pembentukan Daerah Istimewa Aceh, pengertian istimewa bergeser, tidak lagi semata-mata menunjuk pemerintahan asli atau yang diselenggarakan pribumi di masa penjajahan. Daerah Istimewa Aceh bertalian dengan pelaksanaan syariat Islam.
Politik hukum otonomi khusus dapat bermakna: Otonomi khusus sebagai suatu siasat; Otonomi khusus sebagai suatu pengakuan; Otonomi khusus sebagai suatu peluang. Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus harus dilihat dalam pendekatan sistemik dan dengan pendekatan sistem hukum (legal system). Politik hukum otonomi khusus yang sedang dan akan dibangun seyogianya berdasarkan politik hukum yang paradigmatik konstitusional, futuristik dengan semangat kenegarawanan.
Kajian politik hukum otonomi khusus tidak semata-mata kajian legal formal, tetapi harus dilihat dari kajian legal sosiologis historis. Sebagaimana faham yang dianut Friedrich Karl von Savigny yang mengemukakan prinsip-prinsip the spirit of the people: a. All law is originally formed by costum and popular feeling. “that is, by silently operating forces” ; (Semua hukum itu asal mulanya dibentuk oleh hukum adat (costum) dan perasaan rakyat (popular feeling) yaitu oleh suatu kekuatan yang bekerja secara diam-diam (silently operation forces); b. Law is special product of a people’s genius. Like language, it evolves gradually and embodies a people’s characteristics. It flourishes with the growth of a people; it dies away when a people loses its individuality; (Hukum itu merupakan produk dari bangsa yang genius. Ia terbentuk secara perlahan-lahan dan menjelma menjadi karakteristik suatu bangsa. Ia berkembang dengan tumbuhnya suatu bangsa dan mati dengan hapusnya kepribadian suatu bangsa);
c. Law have no universal validity; they apply solely to the nations in which they were created; (Hukum tidak bisa berlaku umum, ia hanya bisa diterapkan bagi bangsa tempat ia dibuat); d. Law is not static; it is subject to the same movement and developmen as every other expression of the life of the people (Hukum tidak statis; ia merupakan subjek pada setiap kemajuan dan setiap perkembangan sebagaimana hal-hal lain yang tercermin dari kehidupan suatu bangsa);
e. Law comes from no law-giver, but from a people’s instinctive sense of “the right”; hence, because true law is “found and not made”. Legislation lacks the vital significance of costum; (Hukum berasal dari hukum yang sesungguhnya itu “ditemukan dan bukan dibuat”; suatu legislasi akan menghilangkan arti yang vital dari suatu hukum kebiasaan (costum); f. Law is, therefore, the expression of a “people’s spirit”, Law is to be identified with a people’s “folk-soul” and its feeling of justice and right. (oleh karena itu hukum merupakan ekspresi dari “jiwa suatu bangsa” (people spirit). Hukum harus diidentifikasikan dengan: jiwa bangsa dan perasaannya tentang apa yang dianggap benar dan adil).
Politik hukum otonomi khusus harus bersumber dari aspirasi dan gagasan dasar masyarakat. Pendekatan terhadap masyarakat yang menentukan kehidupannya, pemerintahannya harus terlebih dahulu dibangun budaya hukumnya (legal culture) baru membangun struktur hukum (legal structure) dan substansi hukumnya (legal substance). Tujuan hukum dari semangat berotonomi khusus harus mencapai: - kepastian hukum; - keadilan hukum dan; - kemanfaatan hukum.
Cakupan studi tentang politik hukum nasional tidak hanya dilihat dari perspektif formal yang memandang kebijakan hukum (legal policy) dari rumusan-rumusan resmi sebagai produk saja, melainkan dapat dilihat dari latar belakang dan proses keluarnya rumusan-rumusan resmi tersebut.
Hubungan tolak tarik antara politik dan hukum, maka hukumlah yang terpengaruh oleh politik, karena sub sistem politik memiliki konsentrasi energi yang lebih besar daripada hukum. Sehingga jika harus berhadapan dengan politik, maka hukum berada dalam kedudukan yang lebih lemah Dalam kaitan ini, Lev mengatakan untuk memahami sistem hukum di tengah-tengah transformasi politik harus diamati dari bawah dan dilihat peran sosial politik apa yang diberikan orang kepadanya. Karena lebih kuatnya konsentrasi energi politik, maka menjadi beralasan adanya konstatasi bahwa kerapkali otonomi hukum di Indonesia ini diintervensi oleh politik, bukan hanya dalam proses pembuatannya tetapi juga dalam implementasinya.
Sri Soemantri pernah mengkonstatasi hubungan antara hukum dan politik Indonesia ibarat perjalanan lokomotif kereta api yang keluar dari relnya. Apeldoorn misalnya mencatat, adanya beberapa pengikut paham bahwa hukum adalah kekuasaan. Pertama, kaum Sophis di Yunani yang mengatakan keadilan adalah apa yang berfaedah bagi orang yang lebih kuat. Kedua, Lassalle mengatakan konstitusi suatu negara bukanlah undang-undang dasar yang tertulis yang hanya merupakan secarik kertas, melainkan hubungan-hubungan kekuasaan yang nyata di dalam suatu negara. Ketiga, Gumplowics mengatakan hukum berdasar atas penaklukkan yang lemah oleh yang kuat, hukum adalah susunan definisi yang dibentuk oleh pihak yang kuat untuk mempertahankan kekuasaannya. Keempat, sebagian pengikut aliran positivisme juga mengatakan kepatuhan kepada hukum tidak lain dari tunduknya orang yang lebih lemah pada kehendak yang lebih kuat, sehingga hukum hanya merupakan hak orang yang terkuat.
Perubahan konfigurasi politik dari otoriter ke demokratis atau sebaliknya berimplikasi pada perubahan karakter produk hukum Variabel bebas Variabel terpengaruh Konfigurasi politik Karakter produk hukum Responsif/populistik demokratis Konservatif/ortodoks/elitis Otoriter
Hukum Otonom dan Hukum Menindas Nonet dan Selznick dalam bukunya yang berjudul Law and Society in Transition: Toward Responsive Law menjelaskan hubungan antara hukum dan penindasan. Dikatakannya, masuknya pemerintah ke dalam pola kekuasaan yang bersifat menindas, melalui hukum, berhubungan erat dengan masalah kemiskinan sumber daya pada elit pemerintah. Penggunaan kekuasaan yang bersifat menindas, terdapat pada masyarakat yang masih berada pada tahap pembentukan tatanan politik tertentu.
Karakteristik Hukum Menindas dan Hukum Otonom Tipe Menindas Tipe Otonom Tujuan Hukum Ketertiban -kesahan Legitimasi Pertahanan sosial dari raison d’etaat menegakkan prosedur Peraturan Kasar dan terperinci tetapi hanya mengikat pembuat peraturan secara lemah -sangat terurai; mengikat pembuat maupun mereka yang diatur. Penalaran (Reasoning) -Ad hoc, sesuai keperluan dan partikularistik. mengikatkan diri secara ketat kepada otoritas hukum; peka terhadap formalisme dan legalisme.
Diskresi -merata; oportunistik dibatasi oleh peraturan-peraturan; pendelegasian. Pemaksaan Luas sekali; pembatasannya lemah Dikontrol oleh pembatasan-pembatasan hukum. Moralitas Moralitas komunal; moralitas hukum; moralitas pemaksaan. Moralitas kelembagaan, yang diikat oleh pemikiran tentang integritas dari proses hukum Kaitan politik Hukum ditundukkan kepada politik kekuasaan Hukum bebas dari politik; pemisahan kekuasaan. Harapan terhadap kepatuhan Tidak bersyarat; ketidakpatuhan dengan begitu saja dianggap menyimpang. Bertolak dari peraturan yang sah; yaitu menguji kesahan undang-undang dan peraturan Partisipasi Tunduk dan patuh; kritik dianggap tidak loyal Dibatasi oleh prosedur yang ada; munculnya kritik hukum.
HUKUM REPRESIF HUKUM OTONOM HUKUM RESPONSIF TIGA TIPE HUKUM HUKUM REPRESIF HUKUM OTONOM HUKUM RESPONSIF TUJUAN HUKUM Ketertiban Legitimasi Kompetensi LEGITIMASI Ketahanan sosial dan tujuan negara ( raison d’etat ) Keadilan prosedural Keadilan substansif PERATURAN Keras dan rinci namun berlaku lemah terhadap pembuatan hukum Luas dan rinci; mengikat penguasa maupun yang dikuasai Subordinat dari prinsip dan kebijakan PERTIMBANGAN Ad hoc; memudahkan mencapai tujuan dan bersifat partikular Sangat melekat pada otoritas legal; rentan terhadap formalisme dan legalisme Purposif (berorientasikan tujuan); perluasan kompetensif kognitif DISKRESI Sangat luas; oportunistik Dibatasi oleh peraturan; delegasi yang sempit Luas, tetapi tetap sesuai dengan tujuan PAKSAAN Ekstensif ; dibatasi secara lemah Dikontrol oleh batasan-batasan hukum Pencarian positif bagi berbagai alternatif, seperti insentif, sistem kewajiban yang mampu bertahan sendiri MORALITAS Moralitas komunal; moralisme hukum; “moralitas pembatasan” Moralitas kelembagaan; yakni dipenuhi dengan integritas proses hukum Moralitas sipil; “moralitas kerja sama” POLITIK Hukum subordinat terhadap politik kekuasaan Hukum “independen” dari politik; pemisahan kekuasaan Terintegrasinya aspirasi hukum dan politik; keberpaduan kekuasaan HARAPAN AKAN KETAATAN Tanpa syarat; ketidaktaatan per se dihukum sebagai pembangkangan Penyimpangan peraturan yang dibenarkan, misalnya untuk menguji validitas undang-undang dan pemerintah Pembangkangan dillihat dari aspek bahaya substansif ; dipandang sebagai gugatan terhadap legitimasi PARTISIPASI Pasif; kritik dilihat sebagai ketidaksetiaan Akses dibatasi oleh prosedur baku; munculnya kritik atas hukum Akses diperbesar dengan integrasi advokasi hukum dan sosial