KEKUASAAN KEHAKIMAN
Perbedaan Sistem Hukum Negara2 di dunia mengenal adanya perbedaan sistem hukum yang karenanya sangat menentukan tatanan kehidupan kenegaraan yang tercakup di dalamnya. Sistem Hukum yang berlaku di dunia antara lain: Sistem Hukum Civil Law (Eropa Kontinental) Rechtsstaat Sistem Hukum Common Law (Anglo Saxon) Rule of Law Sistem Hukum Islam Nomokrasi Islam Sistem Hukum Sosialis Socialist Legality Sistem Hukum Adat Perbedaan sistem hukum ini menimbulkan konsekwensi pada mazhab hukum yang dianut pada wilayah tertentu, terkait dengan sistem peradilan dan kekuasaan kehakiman yang berlaku di dalamnya.
Rechtsstaat (Negara Hukum) Gagasan konstitusionalisme Negara Hukum (RechtsStaat) di Eropa Kontinental (tempat berlakunya sistem hukum civil law) pada abad ke 19 hingga permulaan abad 20, oleh ditandai dengan Ciri2: Jaminan atas perlindungan HAM; Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin HAM trias politica; Pemerintahan berdasarkan peraturan perundang2an (Wetmatigheid van Bestuur); Peradilan Administrasi. (Friedrich Julius Stahl)
Rule of Law Sementara pada wilayah negara-negara Anglo Saxon, berkembang prinsip Rule of Law: Supremasi Hukum, dalam arti tidak boleh ada kesewenang-wenangan, sehingga seseorang hanya boleh dihukum jika melanggar hukum; Kedudukan yang sama di depan hukum baik bagi rakyat biasa maupun bagi pejabat; Terjaminnya HAM oleh UUD dan keputusan pengadilan. (A.V. Dicey)
Negara Kemakmuran (Welvaarts Staat atau Welfare State) Berkembang pada abad XX Wetmatigheid menjadi rechtmatigheid Paul Scholten dan Scheltema (Eropa Kontinental) Wade dan Philip (Anglo Saxon)
Negara Hukum Konsep International Commision of Jurist di Bangkok (1965) Unsur-unsur dari rule of law: Adanya proteksi konstitusional Adanya pengadilan yang bebas dan tidak memihak Adanya pemilihan umum yang bebas Adanya kebasan untuk menyatakan pendapat dan berserikat Adanya tugas oposisi Adanya pendidikan civic
Elemen Negara Hukum (Prof. A. Mukthie Fadjar, S.H.,M.S.) Asas pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia Asas legalitas Asas pembagian kekuasaan negara Asas peradilan yang bebas dan tidak memihak Asas kedaulatan rakyat Asas demokrasi, dan Asas konstitusional
Teori Pemisahan Kekuasaan Montesquieu The Spirit of Laws (1748) Montesquieu memisahkan 3 (tiga) jenis kekuasaan, yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif. Berbeda dengan John Locke yang memasukkan kekuasaan yudisial dalam kekuasaan eksekutif, Montesquieu memandang kekuasaan pengadilan sebagai kekuasaan yang berdiri sendiri.
Teori Pemisahan Kekuasaan Montesquieu The Spirit of Laws (1748) Bila kekuasaan legislatif dan eksekutif dipegang oleh satu orang atau oleh sebuah badan, maka tidak akan ada kebebasan karena warga negara akan khawatir jika raja atau senat yang membuat UU tirani akan memerintah mereka secara tiran.
Teori Pemisahan Kekuasaan Montesquieu The Spirit of Laws (1748) Kebebasan pun tidak ada jika kekuasaan kehakiman tidak dipisahkan dari kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif, maka kekuasaan atas kehidupan dan kebebasan warga negara akan dijalankan sewenang-wenang karena hakim akan menjadi pembuat hukum, dan jika hakim disatukan dengan kekuasaan eksekutif maka hakim bisa menjadi penindas
5 PUSAT UUD 1945 DAERAH LEMBAGA-LEMBAGA DALAM SISTEM KETATANEGARAAN menurut UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 5 PUSAT UUD 1945 BPK Presiden DPR MPR DPD MA MK KY kementerian negara badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman kpu bank sentral dewan pertimbangan TNI/POLRI Perwakilan BPK Provinsi Pemerintahan Daerah Provinsi Lingkungan Peradilan Umum Gubernur DPRD Lingkungan Peradilan Agama Lingkungan Peradilan Militer Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota Lingkungan Peradilan TUN Bupati/ Walikota DPRD DAERAH
Pasal 24 Perubahan Ketiga UUD Negara R.I. Tahun 1945: (1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. (2) Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara; dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
UU NOMOR 48 TAHUN 2009 Pasal 18 Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Lembaga Peradilan Umum Peradilan Agama Peradilan Militer Mahkamah Agung Peradilan Umum Peradilan Agama Peradilan Militer Peradilan Tata Usaha Negara Mahkamah Konstitusi Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman
MAHKAMAH KONSTITUSI
24 KEKUASAAN KEHAKIMAN Mahkamah Konstitusi Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara [Pasal 24C (5)] mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh MA, tiga orang oleh DPR dan tiga orang oleh Presiden [Pasal 24C (3)] MK Pasal 24C Wewenang berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum [Pasal 24C (1)]; wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar [Pasal 24C (2)];
MAHKAMAH AGUNG
MAHKAMAH AGUNG Pasal 24A ayat (1) Perubahan Ketiga UUD Negara R.I. Tahun 1945: “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji perundang-undangan di bawah UU terhadap UU dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh UU.”
Mahkamah Agung Pasal 20 (1) Mahkamah Agung merupakan pengadilan negara tertinggi dari badan peradilan yang berada di dalam keempat lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18. Mahkamah Agung berwenang: a. mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, kecuali undang-undang menentukan lain; b. menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang; dan c. kewenangan lainnya yang diberikan undang-undang.
Kasasi “mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir.” Putusan tingkat terakhir bisa terjadi pada putusan tingkat banding atau pengadilan tingkat pertama.Putusan terakhir pengadilan tingkat pertama terjadi apabila karena undang-undang menentukan tidak ada banding (misal: pengadilan niaga)
Menguji Peraturan Perundang-undangan di bawah UU terhadap UU ”Mahkamah Agung berwenang ..., menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang,...(Pasal 24A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 dan Pasal 11 ayat (2) UU 4/04) “Hak uji tersebut dapat dilakukan baik terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari peraturan perundang-undangan tersebut yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi maupun terhadap pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut.” (Penjelasan Pasal 11 ayat (2))
Hierarki Peraturan Perundang-undangan Tata Urut Peraturan Perundang-undangan menurut UU No. 12 tahun 2011: UUD NRI tahun 1945; Tap MPR; UU/Perpu; Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; Peraturan Daerah Tingkat Provinsi, Kabupaten/kota dan Desa
Pengujian Peraturan Perundang-undangan Pengujian Undang-undang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi; Pengujian Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-undang dilakukan oleh Mahkamah Agung; Khusus untuk Peraturan Daerah, pengujiaannya dapat pula dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri selaku bagian dari pemerintah pusat yang berwenang membina pemerintahan daerah.
Hierarki Peraturan Perundang-undangan Tata Urut Peraturan Perundang-undangan menurut Ketetuan Pasal 7 UU No. 12 tahun 2011: (1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
a. Fungsi Peradilan Peradilan kasasi Peradilan untuk sengketa tentang: (a) kewenangan mengadili (b) perampasan kapal asing dan muatannya oleh kapal perang R.I. (Pasal 33 UU No. 14 Tahun 1985) Peradilan untuk permohonan PK Peradilan untuk pengujian per-UU-an di bawah UU terhadap UU Peradilan di bidang Penyelesaian Perselisihan di Daerah: Permohonan keberatan terhadap pembatalan Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah oleh Pemerintah (Pasal 145 UU No. 32 Tahun 2004)
b. Fungsi Pengawasan i. Pengawasan terhadap perbuatan para Pejabat Pengadilan ii. Pengawasan tertinggi terhadap jalannya peradilan iii.Pengawasan yang dilakukan bersama-sama dengan Pemerintah terhadap Penasihat Hukum dan Notaris
c. Fungsi Mengatur a. SEMA: yaitu suatu bentuk edaran dari Mahkamah Agung ke seluruh jajaran peradilan yang isinya merupakan bimbingan dalam penyelenggaraan peradilan yang lebih bersifat administrasi. b. PERMA: yaitu suatu bentuk peraturan dari prinsip Mahkamah Agung ke seluruh jajaran peradilan tertentu yang isinya merupakan ketentuan bersifat hukum beracara
d. Fungsi Penasehat Pasal 22 UU No 48 Tahun 2009 “MA dapat memberi keterangan, pertimbangan, dan nasihat masalah hukum kepada lembaga negara dan lembaga pemerintahan” Pasal 37 UU No 14 Tahun 1985 ““MA dapat memberi pertimbangan2 dalam bidang hukum baik diminta maupun tidak kepada Lembaga Tinggi Negara yang lain.” Pasal 35 UU No 5 Tahun 2004 “MA memberikan pertimbangan hukum kepada Presiden dalam permohonan grasi dan rehabilitasi.”
e. Fungsi Administratif Pasal 21 ayat (1) UU No 48 Tahun 2009 “Organisasi, administrasi, dan finansial MA dan badan peradilan yg berada di bawahnya berada di bawah kekuasaan MA.”
Kewenangan lainnya Ketentuan yang bersumber dari Pasal 24A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 ini memberi delegasi kepada pembentuk undang-undang menambah, mengurangi, menghapus wewenang MA, kecuali yang sudah diatur dal UUD NRI Tahun 1945 Menurut Bagir Manan, delegasi yang bersifat umum (blanco mandaat) seperti di atas dapat menimbulkan masalah Wewenang alat kelengkapan negara sebagai unsur organisasi negara harus ditentukan dalam UUD. Setiap delegasi (wewenang atau pengaturan) harus menentukan objek delegasi secara spesifik. Tidak boleh ada delegasi yang bersifat umum karena menimbulkan kesewenang-wenangan dari penerima delegasi
Kewenangan MA yang bersumber pada UU di luar UUD Wewenang dalam bidang teknis peradilan. MA dapat melakukan PK terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (UU 14/85 jo UU 5/04) membubarkan PT (Pasal 117 UU 1/95) Membuat peraturan (Perma) => UU5/04 Memberikan pendapat hukum sebagaimana diatur dalam UU 4/04, UU 14/85 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU 5/04 Memutus pendapat DPRD yg mengusulkan KADA atau WAKADA diberhentikan dengan alasan –antara lain- melanggar sumpah jabatan, melakukan pelanggaran hukum. MA juga berwenang memutus sengketa mengenai hasil pilkada (UU 32/04
Badan Peradilan Umum Merupakan lingkungan kekuasaan kehakiman yang bersifat umum (the ordinary court) yang memutus semua perkara pidana dan perdata atau permohonan yg tidak menjadi kompetensi badan peradilan khusus (peradilan agama, peradilan militer, peradilan tata usaha negara)
Badan Peradilan Umum UU No 8 Tahun 2004 ttg Peradilan Umum Kek keh dalam lingkungan badan peradilan umum dilaksanakan 2 badan peradilan: PN sbg peradilan tingkat pertama PT sbg peradilan tingkat banding
Badan Peradilan Umum Pasal 27 ayat (1) UU No 48 Th 2009 “Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung” Penjelasan: “Yang dimaksud dengan “pengadilan khusus” dalam ketentuan ini, antara lain, adalah pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan HAM, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial yg berada di lingkungan peradilan umum, dan pengadilan pajak di lingkungan peradilan tata usaha negara.”
Badan Peradilan Agama Pasal 2 UU No 3 Th 2006 “Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam UU ini.”
Badan Peradilan Agama Pasal 49 UU No 3 Th 2006 “Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: Perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, ZIS, dan ekonomi syar’iyah”
Badan Peradilan Agama Pasal 3A UU No 3 Th 2006 “Di lingkungan Peradilan Agama dapat diadakan pengkhususan pengadilan yang diatur dengan UU.” Penjelasan: “Pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan Agama adalah pengadilan syari’ah Islam yg diatur dengan UU. Mahkamah Syar’iyah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yg dibentuk berdasarkan UU Otonomi Khusus bagia Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam…”
Badan Peradilan Agama Dihapusnya kalimat yang terdapat dalam Penjelasan Umum UU No. 7 Tahun 1989: “Para pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangakn untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam pembagian warisan.”
Badan Peradilan Militer Baru diadakan kembali dengan UU No 7 Tahun 1946
Susunan Pengadilan Pasal 12 UU No. 31 Th 1997 Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer terdiri dari: Pengadilan Militer Pengadilan Militer Tinggi Pengadilan Militer Utama Pengadilan Militer Pertempuran
Badan Peradilan Militer Berdasarkan pasal 29 UU No 2 Tahun 2002 ttg Kepolisian Negara RI, anggota kepolisian tunduk pada kekuasaan peradilan umum (Peradilan Kepolisian masuk ke Peradilan Militer berdasarkan Kepres No. 290/1964, Pen.Pres No. 3 Tahun 1965 diganti Pen.Pres No. 23/1965)
Badan Peradilan Militer Pasal 16 UU No 48 Tahun 2009 jo pasal 198 UU No 31 Tahun 1997 Peradilan koneksitas dilakukan di peradilan umum kecuali dalam keadaan tertentu yang ditentukan menurut keputusan ketua MA.
Badan Peradilan Tata Usaha Negara Pasal 1 Angka 3 UU No. 5 Tahun 1986 “Keputusan TUN adalah suatu penetapan tertulis yg dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN yg berisi tindakan hkm TUN yg berdasarkan peraturan per-UU-an yg berlaku, yg bersifat konkret, indivudual, dan final yg menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.”
Badan Peradilan Tata Usaha Negara Penjelasan: Bersifat konkret: obyek yg diputuskan dalam Keputusan TUN itu tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu, atau dapat ditentukan Bersifat indivudual: Keputusan TUN tidak ditujukan utk umum, ttp tertentu baik alamat maupun hal yg dituju Bersifat final: sdh definitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat hukum
Badan Peradilan Tata Usaha Negara Pasal 9A UU No 9 Th 2004 “Di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dapat diadakan pengkhususan pengadilan yang diatur dengan UU.” Penjelasan: “Yg dimaksud dengan “pengkhususan” adalah diferensiasi atau spesialisasi di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, misalnya pengadilan pajak.”
Badan Peradilan Tata Usaha Negara Perubahan penting: Syarat untuk menjadi hakim, dihilangkannya syarat PNS menjadi sehat jasmani dan rohani, dan hanya diperbolehkan lulusan SH (sebelumnya SH atau sarjana lain yang memiliki keahlian di bidang TUN) Batas umur pengangkatan hakim dan pemberhentian hakim Pengaturan tata cara pengangkatan dan pemberhentian hakim Pengaturan pengawasan terhadap hakim Penghapusan ketentuan hukum acara yang mengatur masuknya pihak ketiga dalam sengketa Adanya sanksi thdp pejabat karena tidak dilaksanakannya putusan pengadilan yg telah memperoleh kekuatan hukum tetap
KOMISI YUDISIAL
KY 25 Wewenang mengusulkan pengangkatan hakim agung [Pasal 24B (1)]; KEKUASAAN KEHAKIMAN Komisi Yudisial Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela [Pasal 24B (2)] Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan DPR [Pasal 24B (3)] KY Pasal 24B Wewenang mengusulkan pengangkatan hakim agung [Pasal 24B (1)]; mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim [Pasal 24B (1)];
Pasal 24B ayat (1) Perubahan Ketiga UUD Negara R.I. Tahun 1945: KOMISI YUDISIAL Pasal 24B ayat (1) Perubahan Ketiga UUD Negara R.I. Tahun 1945: “Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat, serta prilaku hakim.”
Komisi Yudisial; Pasal 30 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 Pengangkatan hakim agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat dari nama calon yang diusulkan oleh Komisi Yudisial.
Komisi Yudisial Pasal 40 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 (1) Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim dilakukan pengawasan eksternal oleh Komisi Yudisial. (2) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim berdasarkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
Komisi Yudisial Pasal 41 UU Nomor 48 Tahun 2009 (1) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 40, Komisi Yudisial dan/atau Mahkamah Agung wajib: a. menaati norma dan peraturan perundang-undangan; b. berpedoman pada Kode Etik dan Pedoman PerilakuHakim; dan c. menjaga kerahasiaan keterangan atau informasi yang diperoleh.
Komisi Yudisial (2) Pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara. (3) Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan oleh Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung.
Komisi Yudisial Pasal 42 UU Nomor 48 Tahun 2009 Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, Komisi Yudisial dapat menganalisis putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagai dasar rekomendasi untuk melakukan mutasi hakim.
Komisi Yudisial Pasal 43 UU Nomor 48 Tahun 2009 Hakim yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim diperiksa oleh Mahkamah Agung dan/atau Komisi Yudisial.
Tugas dan Kewajiban Hakim Pasal 1 UU No. 4 8 Tahun 2009 Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia Pasal 10 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
Tugas dan Kewajiban Hakim Hakim & hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat Hakim & hakim konstitusi harus memiliki integritas & kepribadian yg tdk tercela, jujur, adil, profesional, & berpengalaman di bidang hukum Hakim & hakim konstitusi wajib mentaati Kode Etik & pedoman Perilaku Hakim Pasal 5 ayat (1), (2) dan (3) UU No. 48 Tahun 2009
Tiga Bentuk Independensi kekuasaan kehakiman dalam praktek 1. Secara normatif independen, dan realitanya juga independen. Antara peraturan perundang-undangan dengan realitanya sama yaitu sama-sama independen, ini menjadi cita-cita dari suatu negara hukum. Secara normatif tidak independen, dan realitanya juga tidak independen. Dengan berlakunya Undang-Undang No. 19 Tahun 1964, dimana Pasal 19 nya menyatakan bahwa Presiden dapat turut atau campur tangan dalam soal-soal pengadilan dan realitanya undang-undang tersebut dilaksanakan. Secara normatif independen, akan tetapi realitanya tidak independen. Pada masa orde baru peraturan perundang-undangannya menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka, namun realitanya para hakim secara otomatis menjadi anggota korpri, sebagaimana diketahui bahwa korpri pada masa itu merupakan pendukung birokrasi yang berafiliasi pada salah satu kekuatan politik yang berkuasa pada masa itu, sehingga netralitas sebagai hakim pada masa itu masih perlu dipertanyakan.
Asas Kemerdekaan Hakim tergantung dari Komponen Struktural dan Fungsional Struktur dan Organisasi lembaga-lembaga negara. Struktur dan Organisasi peradilan. Seleksi (Calon) hakim dan status kepegawaian hakim Komponen Fungsional: Bebas dari (Freedom from) campur tangan Bebas untuk (Freedom for) melaksanakan fungsi peradilan Dihormatinya asas kekebalan hukum yaitu no reprisal for their decisions (Philipus M. Hadjon)
Judicial Independence Independence from executive Independence from the legislative Independence from the media Independence from the lawyer and litigation Independence from the personal bias (L.P. Then)
Aspek Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka: Merdeka diartikan sebagai kemerdekaan dalam penyelenggaraan fungsi yustisional yaitu memeriksa, memutus suatu perkara atau menetapkan suatu putusan yustisial. Kemerdekaan badan peradilan yaitu peradilan diberi wewenang mengelola sendiri administrasi, kepegawaian, keuangan. (Bagir Manan)
PELAKSANA KEKUASAAN KEHAKIMAN Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945 Jo. Ps 18 UU No. 48 Tahun 2009 Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara; dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi
end of session…