LARANGAN PERKAWINAN DALAM ISLAM Yeni Salma Barlinti Hukum Perorangan & Kekeluargaan Islam FHUI, Depok Rabu, 5 Oktober 2011
DASAR HUKUM LARANGAN PERKAWINAN DALAM ISLAM Al Qur’an Al-Baqarah: 221 (larangan mengawini orang musyrik) Al-Baqarah: 228 dan 234 (laki-laki dilarang menikahi perempuan yang sedang berada pada masa iddah) An-Nisa:22 (larangan mengawini ibu tiri);
Cont’d An-Nisa:23 (larangan mengawini karena hubungan darah, sepersusuan, anak tiri yang ba’da dukhul dengan ibunya, poligami 2 perempuan bersaudara kandung/seayah/ seibu An-Nisa:24 (larangan POLIANDRI); Al-Maidah: 5 (mengawini wanita ahlul-kitab) lihat pula Al Mumtahanah: 10
Cont’d UU Perkawinan Pasal 8 Kompilasi Hukum Islam Pasal 39-44 dan 54
1. Larangan Perkawinan Karena Hubungan Darah KHI Pasal 39 ayat (1) An Nisa ayat 23. Laki-laki dilarang menikahi: Ibu Anak perempuan Saudara perempuan Saudara bapak yang perempuan Saudara ibu yang perempuan Anak perempuan dari saudara laki-laki Anak perempuan dari saudara perempuan
2. Larangan Perkawinan Karena Hubungan Sesusuan KHI Pasal 39 ayat (3) An Nisa ayat 23. Laki-laki dilarang menikah dengan: Ibu yang menyusukan kamu Saudara perempuan sesusuan Syarat saudara sesusuan: Umur anak kurang dari 2 tahun Ukuran menyusui: 5 kali menyusui penuh sampai kenyang (HR Muslim) (Syafi’i & Hanbali) Sedikit atau banyak sama akibatnya (Mazhab Hanafi & Maliki)
3. Larangan Perkawinan Karena Hubungan Semenda KHI Pasal 39 ayat (2) An Nisa ayat 23. Laki-laki dilarang menikah dengan: Ibu isteri (mertua perempuan) Anak isteri dari isteri yang telah dicampuri (jika isteri belum dicampuri dan telah bercerai, anak isteri boleh dinikahi) Isteri anak kandung Menikahi 2 orang perempuan bersaudara sekaligus An Nisa ayat 22. Laki-laki dilarang menikah dengan: Ibu tiri
Larangan Khusus dalam Poligami Larangan poligami dengan wanita yang mempunyai pertalian nasab atau sesusuan dengan isterinya (KHI Pasal 41 (1)): saudara kandung, seayah, atau seibu serta keturunannya lihat An Nisa: 23 bibinya atau kemenakannya lihat HR Jamaah HR Jamaah dari Abu Hurairah ra., ia berkata: Nabi saw. melarang seorang perempuan dinikah (secara poligami) bersama bibinya dari pihak ayah atau bibinya dari pihak ibu HR Jamaah kecuali Ibnu Majah dan Tirmidzi dan dalam riwayat lain: Nabi saw. melarang dimadu (dihimpun) antara seorang perempuan dengan bibinya dari pihak ayah dan antara seorang perempuan dengan bibinya dari pihak ibu
Larangan Khusus dalam Poligami Larangan tersebut tetap berlaku meskipun isteri ditalak raj’i tapi masih ‘iddah (KHI Pasal 41 ayat (2))
Menghimpun Anak Tiri dan Ibu Tiri Dari Ibnu Abbas, bahwa sesungguhnya ia pernah memadu (menghimpun) antara janda seorang laki-laki dengan anak perempuan laki-laki itu dari isteri yang lain setelah isteri (yang pertama) ditalak dua kali dan sekali talak khul’i Sahabat Rasulullah, Jabalah, memadu (menghimpun) antara janda seorang laki-laki dan anak perempuan laki-laki itu dari isterinya yang lain
Larangan & Kebolehan Perkawinan Karena Hubungan Semenda Ibnu Taimiyah: Boleh menikah dengan ANAK PEREMPUAN dari IBU TIRI; ANAK PEREMPUAN dari ISTERI ANAK (CUCU TIRI) Dilarang menikah dengan: isteri-isteri AYAH; isteri-isteri Anak Kandung; keturunan dari Anak Tiri
4. Larangan Menikahi Perempuan Karena Kondisinya An Nisa ayat 24 dan KHI Pasal 40 huruf a. Laki-laki dilarang menikahi perempuan yang sedang bersuami (poliandri) Al Baqarah ayat 228 dan 234 dan KHI Pasal 40 huruf b. Laki-laki dilarang menikahi perempuan yang sedang berada pada masa iddah
5. Larangan Perkawinan Terkait dengan Putusnya Perkawinan KHI Pasal 43 ayat (1) dan (2) Talak ba’in kubra. Laki-laki dilarang menikahi bekas isterinya apabila telah melakukan talak bai’in kubra, kecuali ada muhallil Li’an. Suami atau isteri yang menuduh pasangannya berbuat zina mengajukan alat buktinya dengan sumpah li’an. Bandingkan dengan ketentuan dalam Pasal 126-127 KHI bahwa li’an terjadi apabila ada penolakan dari tertuduh
6. Laki-laki Dilarang Menikah Karena Kondisinya KHI Pasal 42: Telah memiliki 4 isteri, baik keempat-empatnya masih terikat dalam perkawinan atau salah seorang masih dalam iddah talak raj’i KHI Pasal 44: Tidak beragama Islam apabila ingin menikahi perempuan muslimah
7. Larangan Mengawini Pezina HR Ahmad dan Abu Daud Dari Abu Hurairah ra ia berkata: Rasulullah saw bersabda “Pezina laki-laki yang pernah didera hendaklah tidak kawin melainkan kepada perempuan sepertinya” HR Abu Daud, Nasai, dan Tirmidzi Dari Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari datuknya, sesungguhnya Martsad bin Abi Martsad al-Ghunawi pernah membawa beberapa tawanan ke Makkah, sedang di Makkah (pada waktu itu) ada seorang pelacur bernama ‘Anaq dan ‘Anaq ini adalah teman Martsad. Martsad berkata: Kemudian aku menghadap Nabi saw, lalu aku bertanya, Ya Rasulullah, bagaimana kalau aku mengawini ‘Anaq? Martsad berkata; Maka Nabi pun diam; Lalu turunlah ayat “Dan perempuan pezina itu tidak (pantas) dikawini melainkan oleh laki-laki pezina atau laki-laki musyrik” (QS 24: 3). Kemudian Nabi saw memanggilku, lalu ia membaca ayat tersebut kepadaku dan bersabda, “Janganlah engkau mengawininya”
Pernikahan antara Zani dan Zaniyah Ibnu Taimiyyah dan mazhab Imam Ahmad berpendapat bahwa seorang perempuan pezina dilarang untuk dinikahi kecuali ia telah bertobat dan habis masa iddahnya Umar bin Khattab dalam ijtihadnya membolehkan laki-laki menikahi perempuan pezina yang telah bertobat
8. Pernikahan Antara Laki-laki Muslim dengan Perempuan Non-Muslimat (Ahlul Kitab) Al Maidah: 5. Dihalalkan menikahi wanita ahlul kitab Pendapat Hazairin KHI Pasal 40 huruf c wanita non-muslim dilarang dinikahi oleh laki-laki muslim Umar bin Khattab melarang (membenci) laki-laki muslim yang menikahi perempuan non-muslim, meskipun tidak dilarang dalam al Qur’an. Alasannya adalah: Anak-anak yang lahir dalam rumah tangga tersebut akan dirusak akidahnya dari Islam Komunitas perempuan muslim yang belum menikah dapat meningkat Perempuan non-muslim dapat menginformasikan kepada kaum non-muslim tentang umat Islam
9. Perkawinan Dalam Masa Ihram KHI Pasal 54 (1): Selama masih dalam keadaan ihram, tidak boleh melangsungkan perkawinan dan juga tidak boleh bertindak sebagai wali nikah. (2) Apabila terjadi perkawinan dalam keadaan ihram, atau wali nikahnya masih berada dalam ihram, maka perkawinannya tidak sah.
10. Kawin Mut’ah Kebolehan melakukan Kawin Mut’ah: HR Muslim dari Saburah Al Juhani: “Bahwa ia ikut berperang bersama Rasulullah saw pada saat penaklukan kota Mekah. Nabi saw memberi izin kepada mereka (yang ikut berperang) melakukan nikah mut’ah” Larangan melakukan Kawin Mut’ah: HR Ibnu Majah: “Bahwa Rasulullah saw mengharamkan mut’ah.” Lalu Rasulullah bersabda: “Wahai sekalian manusia, aku telah membolehkan kalian melakukan nikah mut’ah; ketahuilah! Sekarang Allah swt telah mengharamkannya sampai hari kiamat nanti.”
Cont’d Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Ibnu Umar ra ia berkata: Ketika Umar ra menjadi khalifah, beliau berpidato di depan khalayak “Sesungguhnya Rasulullah saw mengizinkan kita tiga macam mut’ah, kemudian setelah itu beliau mengharamkannya. Demi Allah, kalau ada seseorang melakukan kawin mut’ah, sedangkan ia telah beristeri, pasti ia akan saya hukum rajam dengan batu, kecuali kalau ia bisa mendatangkan 4 orang saksi kepadaku yang semuanya menyatakan bahwa Rasulullah saw telah menghalalkannya lagi setelah beliau mengharamkannya
Kawin Hamil Pasal 53 KHI Al Ahqaaf ayat 15 masa mengandung dan menyusui adalah 30 bulan Lukman ayat 14 dan Al Baqarah ayat 233 masa menyusui adalah 2 tahun atau 24 bulan Berpengaruh terhadap pengertian “anak sah” yaitu anak yang lahir dari hasil perkawinan yang sah? atau anak yang lahir dalam perkawinan yang sah?
Wanita hamil yang dinikahi oleh laki-laki yang menghamilinya tidak menjadikan anak yang dilahirkannya adalah anak sah dan mempunyai hubungan hukum terhadap ayah biologisnya Akibat hukum Anak hasil zina dan ayah biologisnya tidak dapat saling mewarisi Ayah biologisnya tidak dapat menjadi wali nikah apabila anak tersebut adalah wanita
Terima Kasih Wassalam