Taungya/Tumpangsari dan Perladangan Berpindah Foto: kawasan hutan kayu putih, KPH Indramayu © Budiadi
Agroforestry Systems (2005) 64:143 –155 Springer 2005 Productivity of kayu putih (Melaleuca leucadendron LINN) tree plantation managed in non-timber forest production systems in Java, Indonesia Budiadi1,*,Yoichi Kanazawa1 ,Hiroaki T.Ishii1 ,M.Sambas Sabarnurdin2 and Priyono Suryanto2 1Graduate School of Science and Technology,Kobe University,Kobe 657-8501 Japan;2 Faculty of Forestry,Gadjah Mada University,Yogyakarta 55281, INDONESIA;*Author for correspondence (Telephone/Fax : +81-78-803-5826 ;e-mail:budifitri@yahoo.com) Received 16 July 2003; accepted in revised form 5 July 2004 Key words: Biomass production, Kayu putih oil, Non-timber forest products, Sustainability, Tumpangsari Abstract Kayu putih oil, extracted from the kayu putih tree (Melaleuca leucadendron), is an important non-timber forest product (NTFP) in Indonesia. We compared productivity of kayu putih tree plantations among three different sites in East, Central, and West Java, Indonesia. Leaf-twig, and branch production per tree differed significantly among the three sites. Tree biomass production was highest at the site in West Java practicing tumpangsari (a form of shifting cultivation) of kayu putih with rice (Oryza sativa) on alluvial soils. Tree biomass production was lowest at the site in East Java, practicing tumpangsari of kayu putih with maize (Zea mays) and cassava (Manihot esculenta). At this site, tree biomass production increased with increasing stand age and low production was compensated by greater biomass yield of companion crops. Intermediate tree biomass production was observed at the site in Central Java where intercropping is only practiced for the first two years after plantation establishment. Production of tree biomass and kayu putih oil did not increase with increasing stand density, indicating that at a given site, high tree stocking did not lead to high production. Stand-level productivity of the plantations increased with increasing stand age and maximum productivity was attained at 15 to 35 years, after which productivity declined. This suggested unsustainable stand productivity as plantations increase in age.
Klasifikasi agroforestri berdasarkan pengaturan waktu/temporal
Taungya/Tumpangsari Taungya (bhs. Burma): taung = hill, ya = plantation, diciptakan pertengahan th. 1800-an pada masa kolonialisme Inggris Waldfeldbau: cultivation of agricultural crops in forest Teknik permudaan hutan jati dengan melibatkan petani pada periode awal pertanaman. Ada 2 pihak yang terlibat, yakni pemilik hutan dan petani miskin Ada mekanisme saling menguntungkan antara pemilik lahan dan petani, apakah itu? Forest Village System di Thailand tahun 1967 mrp modifikasi taungya dan inovasi yang cukup berhasil untuk merelokasi peladang berpindah. Konsep taungya: Bhw komponen utama dalam taungya adalah pohon, sedangkan dalam agroforestri pada umumnya adalah tanaman pangan Kelemahannya a.l. setelah ditinggal petani, pohon tidak terawat
Mengapa taungya diintroduksi ke Indonesia/ Jawa (Becking 1928, Beekman 1948): Biaya pembangunan tegakan jati Produk tambahan (additional income) dari pertanian pada periode awal dari pertanaman Pemeliharaan tanaman (kayu) muda lebih baik Reclaim tanah kosong (wasted lands) melalui pertanian sebelum pembangunan hutan bosokan Kebutuhan lokal akan tanah pertanian yang baik Tetapi: Apa yang lebih diutamakan? A prerequisite of taungya is forestry, the own objectives of the forest entreprise may not be hindered by increased food production (Hellinga 1953) Tidak mungkin mencetak orang kaya dari bertani di hutan (pesanggem) karena luas rata-rata lahan 0.25 ha.
Kebutuhan tenaga kerja untuk reforestasi di Thailand Jenis pertanaman Kebutuhan tenaga kerja (HOK/ha) Jati Tumpangsari Tahun pertama Tahun kedua Total 124,44 45,06 169,50 Jati Non-Tumpangsari 142,25 58,06 200,31
Subsidi petani kepada Perhutani melalui pekerjaan tanam* Pengeluaran petani per ha Pemasukan dari Perhutani Pekerjaan HOK/ha Rp Tarif upah 24.000 Uang kontrak Babat/resik 46 414.000 Gebrus 1 133.71 1.203.390 100.000 Uang pengolahan Gebrus 2 38 342.000 Bahan baku 9.000 Buat acir 2 18.000 Pasang acir 4 36.000 11.110 Buat & pasang acir Langsir bibit 14.81 133.290 Tanam bibit 31.15 280.350 Alat pertanian 33.333 1.722.800 Hasil tumpangsari sebagai upah 2.463.363 1.880.130 * Laporan bulanan ARuPA, studi kasus sembilan desa di BH Randublatung, 2001
Tumpangsari di Jawa Sejarah Tumpangsari konvensional (3x1 m): Pertama kali dikenalkan di Jawa tahun 1873, di Perhutani Jati dan tanaman sela Luas lahan tumpangsari hampir tak terbatas Tumpangsari konvensional (3x1 m): Untuk meminimalkan biaya penanaman Menghasilkan produk pangan Untuk mengelola tanaman muda secara lebih baik Intensifikasi tumpangsari (6x1 m): Pemilihan varietas tanaman pangan yang unggul Pengelolaan lahan dengan lebih baik Penggunaan pupuk Penanganan hama dan penyakit Penanaman dan pemupukan secara tepat waktu, sesuai curah hujan
Gambar pola tumpangsari Alur Tan.Pagar Tan. Sela Tan.Pokok Tan.Pengisi Sungai/ lembah sbg acuan kontur Tan.sela Ruang untuk Tan.Pertanian ? Jati Tan. pengisi
TS pada Jati Ts jati dengan kacang tanah Papan Tanaman TS Tan. pengisi Kesambi Ts dengan tanaman sela lamtoro Ts jati dengan jagung
Foto-foto Ts Pemasangan acir pertanaman areal
Perkembangan pola tumpangsari ……… Sistem bosokan Pola Manajemen Rejim (jarak tanam menyesuaikan keberadaan petani) Pola tanam untuk Jati Plus Perhutani (3 x 3 m) Pola tanam untuk Proyek Jati ProspektiF (6 x 2 m) di 8 KPH aplikasi teknologi silvikultur intensif
Teak Breeding & Tree Improvement Program in Perum Perhutani Natural Forest Plus Tree Plantation Forest Seed Production Area Plantation Forest Clone Bank Progeny Test Tissue Culture Clone Seed Orchard Clonal Test Controlled Polination Hedge Orchards
PERTIMBANGAN DIGUNAKAN METODA TS > Ada tidaknya tenaga penggarap (pesanggem). > Penduduk di sekitar hutan sangat padat, sehingga perlu tanah garapan untuk mencukupi kebutuhan bahan makanan. > Kondisi tanahnya memungkinkan untuk di tumpangsarikan. > Jenis tanaman pokok memerlukan pengerjaan tanah yang intensif.
KEUNTUNGAN DITERAPKAN METODA TS ~ Biaya pembuatan tanaman menjadi murah, karena sebagai upahnya petani boleh mengambil hasil tanaman semusimnya. ~ Umumnya dengan TS hasil tanamannya baik karena pada waktu akan dikembalikan atau habis masa kontraknya, tanaman hutannya harus mencapai % hidup paling sedikit 80 % (sekarang harus mencapai 100 %). ~ Dengan tanah digarap, maka aerasi tanah menjadi lebih bagus, sehingga memungkinkan pertumbuhan tanaman hutannya menjadi lebih baik. ~ Dengan tanah dikerjakan dan umumnya petani memupuk, maka tanaman hutan ikut memanfaatkannya dan pertumbuhannya menjadi lebih baik.
KERUGIAN DENGAN PENERAPAN METODE TS * Terjadi erosi akibat tanah selalu digarap, Dapat dicegah dengan pengetrapan teknik pengawetan tanah yang baik. * Terjadi persaingan memperoleh hara antara tanaman semusim dengan tanaman hutan, Pertumbuhan tanaman hutan terganggu. Tumpangsari yang dikenalkan oleh Buurman pada tahun 1873 (Lugt, 1933) dapat berkembang dengan baik karena situasi sosial ekonomi yang menguntungkan (Anonimous, 1982). * Kesuburan tanah akan menurun karena terjadi persaingan akar dan tajuk tanaman tumpangsari dengan tanaman pokok.
USAHA UNTUK MEMPERKECIL KELEMAHAN SISTEM TS ~ Penentuan jenis tanaman pertanian yang tepat. ~ Pembatasan masa berlakunya TS. ~ Penanaman tanaman sela (jenis Leguminosae). ~ Penanaman tanaman campuran (pohon pengisi). ~ Penentuan jarak tanam yang tepat. ~ Pengawasan yang baik.
JENIS TANAMAN SEMUSIM YANG seharusnya TIDAK BOLEH ditanam Tanaman yang sifatnya merambat dan membelit (kacang panjang, kecipir). Tanaman yang pertumbuhannya cepat dan menyaingi tanaman hutan (tanaman padi gogo). Tanaman yang menyerap hara sangat banyak (berumbi seperti ketela, ubi jalar, tebu dan pisang). Tanaman yang mempunyai nilai ekonomi tinggi (tembakau). Dengan tanaman tembakau petani akan lebih aktif untuk menyiangi tanah dan ini akan mempunyai dampak positif pada tanaman pokok, namun karena nilai tembakau sangat tinggi, maka sering petani akan mendahulukan tanaman tembakaunya dibandingkan tanaman kehutanannya.
Tumpangsari (?) yang lain …………………………….
Sekilas perladangan berpindah Istilah lain: swidden cultivation, slash and burn agriculture (SAB), shifting cultivation Sistem pengelolaan mengacu pada pengaturan hasil Ciri: tradisonal, subsisten, tanpa input Prospek ekologis “Tembawang” Apa yang dimaksud forest fallow Resettlement peladang berpindah …….. (Terbentuknya suksesi secara alami)
Tumpangsari dan perladangan berpindah: Perbedaannya : Lokasi, Jawa dan luar Jawa (: tekanan penduduk, kesuburan tanah) Tingkat intensitas pengelolaan Fasilitas yang diperoleh petani (Sequential vs simultaneous) Tumpangsari = improved shifting cultivation Tumpangsari tradisional, konvensional Jika peladang sudah memiliki skema yang baik Jika pemilik hutan sudah memiki kepedulian terhadap kerusakan hutan oleh peladang
Taungya vs shifting cultivation The taungya system can be considered as another step in the process of transformation from shifting cultivation to agroforestry. While shifting cultivation is a sequential system of growing woody species and agricultural crops, taungya consists of the simultaneous combination of the two components during the early stages of forest plantation establishment (Nair 1993) Taungya is a system of plantation forestry which crops are planted between the tree seedlings, for the first few years of the rotation. Taungya solves two problems: provides for re-establishment of high value timber that will provide much needed income in future years, stabilizes the peasants, and reduces the destruction caused by shifting cultivation (Gajaseni 1992) <Back
Terima kasih