PRINSIP-PRINSIP REGULASI DALAM BIDANG KESEHATAN DAN OTONOMI DAERAH Dr. Mailinda Eka Yuniza, S.H., LL.M Roadmap FH UGM Juli 2016
Pengantar Pertanyaan yang sering muncul ketika berbicara prinsip-prinsip regulasi di bidang kesehatan pada masa otonomi daerah, al: Bagaimana kita tahu bahwa regulasi/keputusan yang kita ambil adalah keputusan yang benar secara yuridis? Apa yang berbeda pada kewenangan untuk membuat regulasi bagi daerah di bidang kesehatan sebelum dan sesudah otonomi?
Regulasi Daerah Yang Benar Materi yang diatur Masuk Kepada Kewenangan Daerah Untuk Mengatur Tidak Bertentangan dengan Peraturan Perundang-Undangan yang Lebih Tinggi dan Kepentingan Umum -> substansi, prosedur Sesuai dengan Good Governance
Regulasi Daerah Yang Dibatalkan KLIKSAMARINDA.COM - Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri telah mengeluarkan 3.143 Peraturan Daerah di seluruh Indonesia. Menurut Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, sejumlah perda tersebut dinilai menghambat pertumbuhan ekonomi daerah dan memperpanjang jalur birokrasi, menghambat investasi, dan kemudahan berusaha. “Tujuan dari pembatalan perda ini adalah memperkuat daya saing bangsa di era kompetisi. Perda itu merupakan aturan yang dinilai menghambat pertumbuhan ekonomi daerah dan memperpanjang jalur birokrasi, menghambat investasi, dan kemudahan berusaha,” kata Tjahjo, seperti dikutip dari Setkab.go.id, Selasa 21Juni 2016. Nah, di Kalimantan Timur (Kaltim), terdapat 59 Perda yang menjadi bagian dari pembatalan dari Kemendagri. Sembilan Perda di antaranya berada pada tingkat Pemerintahan Provinsi Kaltim.
REGULASI Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan Regulasi tidak sama dengan keputusan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah pembuatan Peraturan Perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan
Pembentukan Peraturan perundang Undangan
Partisipasi Masyarakat (Ps 96) (1) Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. (2) Masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui: a. rapat dengar pendapat umum; b. kunjungan kerja; c. sosialisasi; dan/atau d. seminar, lokakarya, dan/atau diskusi. Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas substansi Rancangan Peraturan Perundang-undangan. (4) Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap Rancangan Peraturan Perundang-undangan harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.
PRINSIP REGULASI a. kejelasan tujuan; Materi peraturan perundangan harus berisi asas: Asas pembentukan peraturan perundangan yg baik a. pengayoman; b. kemanusiaan; c. kebangsaan; d. kekeluargaan; e. kenusantaraan; f. bhinneka tunggal ika; g. keadilan; h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. a. kejelasan tujuan; b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; d. dapat dilaksanakan; e. kedayagunaan dan kehasilgunaan; f. kejelasan rumusan; dan g. keterbukaan.
Teori Kewenangan Menurut cara berfikir hukum (juridische denken), para pengambilan keputusan/kebijakan hanya dapat dilakukan oleh orang yang memiliki kewenangan. Hal ini dapat diperoleh dari 3 sumber: 1) Kewenangan atribusi bersumber dari peraturan perundang undangan 2) Kewenangan delegasi bersumber dari pelimpahan wewenang atasan yang sifatnya terus menerus, tanggung jawab atas tindakan berada pada penerima kewenagan delegasi
3) Kewenangan mandat bersifat sekali selesai (eenmaligh), tindakan yang dibuat merepresentasikan dari pemberi mandat dan bukan penerima mandat. Tanggung jawab atas akibat tindakan berada pada pemberi mandat
Terkait dg kewenangan atribusi Mengingat kewenangan atribusi adalah kewenangan yang didasarkan oleh Peraturan, maka penting kiranya mengetahui mana saja yang disebut dengan peraturan, bagaimana hierarkisitasnya, dll. Hal ini dapat dilihat di UU tentang Pembentukan Peraturan Per-Undang-undangan, biasa dikenal dengan sebutan UU P3. UU 12/2011 yang menggantikan UU 10/2004
Perbandingan UU P3 yang lama dengan yang baru Pasal 7 ay 1 UU N0 10/2004 No Pasal 7 ay 1 UU No 12/2011 UUD 45 1 UU/Perppu (Peraturan pemerintah pengganti UU) 2 Tap MPR PP 3 Perpres 4 Peraturan Daerah (Perda Prov, Perda Kab/Kota, Perdes) 5 6 Perda Provinsi 7 Perda Kabupaten/Kota
Poin-Poin Perubahan penambahan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai salah satu jenis Peraturan Perundang-undangan dan hierarkinyaditempatkan setelah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; perluasan cakupan perencanaan Peraturan Perundang-undangan yang tidak hanya untuk Prolegnas dan Prolegda melainkan juga perencanaan Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Perundang-undangan lainnya; pengaturan mekanisme pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; pengaturan Naskah Akademik sebagai suatu persyaratan dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota; pengaturan mengenai keikutsertaan Perancang Peraturan Perundangundangan, peneliti, dan tenaga ahli dalam tahapan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; dan penambahan teknik penyusunan Naskah Akademik dalam Lampiran I Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.
Apa Makna Perubahan UU P3 bagi Pengambil Kebijakan di Kab/Kota? Dahulu daerah kabupaten/kota merasa tidak terikat dengan peraturan provinsi, sehingga koordinasi sulit dilakukan Namun dalam UU P3 yang baru Perda Provinsi memiliki hierarkisitas lebih tinggi daripada Perda kabupaten/kota. Artinya, kebijakan apapun yang dilahirkan di kabupaten/kota perlu merujuk dan tidak boleh bertentangan dengan aneka aturan yang lebih tinggi. Hal ini tidak terkecuali untuk Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Lalu bagaimana dengan kedudukan Peraturan2 yang tidak disebutkan dalam hierarki UU N 12/2011 (seperti Permenkes)? Apakah aneka aturan tersebut tetap berlaku sah dan dapat digunakan sebagai rujukan dalam pengambilan kebijakan? Tetap sah karena… (lihat tabel berikut)
UU N0 10/2004 UU No 12/2011 Pada Pasal 7 ayat (4) dinyatakan: Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Pada Pasal 8 ayat (1) dinyatakan Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh MPR, DPR, DPD, MA, MK, BPK, KY, BI, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan UU atau Pemerintah atas perintah UU, DPRD Provinsi, Gubernur, DPRD Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. Pada Pasal 8 ayat (2) dinyatakan Peraturan Per-UU-an sbgmn dimaksud pada (Pasal 8) ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
Kesimpulan Pada intinya ketika ketika bapak/ibu menginginkan memastikan apakah kebijakan yang bapak ibu ambil telah sesuai ataukah belum ditinjau dari aspek yuridis, maka bapak ibu perlu melihat sampai sejauh mana kewenangan atribusi yang bapak ibu miliki untuk mengambil kebijakan tersebut. Apabila tidak ada kewenangan atribusi, maka dimungkinkan didasarkan atas kewenangan delegasi (tetapi tidak atas kewenangan mandat). Bapak/ibu juga perlu melihat kesesuaian antara kebijakan yang diambil dengan aturan-aturan yang ada di atasnya (baik aturan aturan yang secara eksplisit disampaikan dalam hierarki, maupun yang tidak terdapat didalam hierarki namun mengikat).
Good governance Seain itu, kebijakan juga hendaknya dapat merujuk pada aspek aspek yang terkandung dalam good governance, yi: Sumber: UNESCAP
REGULASI KESEHATAN DAN OTDA Desentralisasi: asas terkait hubungan pusat daerah dlm penyelenggaraan pemerintahan Otonomi: hak mengatur/mengurus RTS Implikasi desentralisasi/otonomi: Pembagian urusan pusat daerah Daerah mempunyai kewenangan mengatur Peran Regulasi masih dianggap sbg kelemahan dlm pelaksanaan otda di Indonesia, tmsk di bidang kesehatan.
Pengaturan Tentang Pemerintahan Daerah UU 22/1999, PP 25/2000 UU 32/2004, PP 38/2007 UU 23/2014 -- pembagian urusan terdapat pada lampiran
Pembagian Urusan Menurut UU 23/2014 Urusan Konkurent dibagi berdasarkan asas eksternalitas, akuntabilitas,efisiensi dan kepentingan strategis nasional
UU 23/2014 Ps 9: Urusan Pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan umum. Urusan pemerintahan absolut adalah Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat: politik luar negeri, (2) pertahanan, (3) keamanan, (4) yustisi, (5) moneter dan fiskal nasional, dan (6) agama. Urusan pemerintahan konkuren adalah Urusan Pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota: wajib dan pilihan bidang kesehatan. Pembagian didasarkan pada prinsip akuntabilitas, efisiensi, dan eksternalitas, serta kepentingan strategis nasional. Pemerintah pusat memeiliki kewenangan pembentukan NSPK dan SPM, pembinaan dan pengawasan Urusan pemerintahan umum: menjaga ketertiban, kerukunan, dsb
UU 23/2014 Mengatur tentang perda dan Perkada Perda disusun untuk melaksanakan Otonomi Daerah dan tugas pembantuan. Perda disusun bersama2 oleh Pemda dan DPRD Ps 236; Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat materi muatan: a. penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan; dan b. penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
UU 23/2014 Ps 250: Perda dan Perkada sebagaimana dimaksud dalam Pasal 249 ayat (1) dan ayat (3) dilarang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan. (2) Bertentangan dengan kepentingan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. terganggunya kerukunan antarwarga masyarakat; b. terganggunya akses terhadap pelayanan publik; c. terganggunya ketenteraman dan ketertiban umum; d. terganggunya kegiatan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat; dan/atau e. diskriminasi terhadap suku, agama dan kepercayaan, ras, antar-golongan, dan gender.
UU 23/2014 Berusaha menjembatani masalah koordinasi antara kementerian kesehatan dan dinas kesehatan dengan menghadirkan kembali pembinaan teknis oleh kementerian kesehatan Pembentukan OPD harus tunduk dan linier dengan Organisasi Kementerian Kesehatan Ada sanksi bila pemda tidak memenuhi perintah pusat Resentralisasi?
Desentralisasi Secara teoritis, otonomi= daerah mempunyai kewenangan mengatur sendiri Semakin desentralistispemda makin mengatur urusan daerah
Desentralisasi Kota Jayapura: Selama kurun waktu tahun 2000 sampai 2011 ada sekitar 5 peraturan daerah yang ditetapkan pemerintah daerah Kota Jayapura di bidang kesehatan. Perda yang dikeluarkan mengatur tentang: retribusi pelayanan kesehatan, organisasi dan tata kerja dinas daerah Kota Jayapura, Pencegahan dan Penanggulangan Infeksi Menular Seksual, Human Immunodeficiency Virus, dan Acquired Immuno Deficiency Syndrome. Dalam konteks Kota Jayapura, terjadi peningkatan pelayanan kesehatan di Kota Jayapura yang cukup baik selama pelaksanaan otonomi luas. Baiknya pelayanan kesehatan di Kota Jayapura ini antara lain dapat dilihat dari: tingginya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kota Jayapura dan kinerja dinas kesehatan Kota jayapura. Kota Yogyakarta: Selama kurun waktu tahun 2004 sampai 2012 ada sekitar 8 peraturan daerah yang ditetapkan pemerintah daerah Kota Yogyakarta di bidang kesehatan. Selain itu ada sekitar 27 peraturan walikota di bidang kesehatan yang dikeluarkan dalam kurun waktu yang sama. Baik Perda maupun Perwal yang dikeluarkan mengatur tentang: fungi dan tugas dinas kesehatan, program jaminan kesehatan daerah, mutu pelayanan, Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan, Ijin Penyelenggara Pelayanan Kesehatan dan Tenaga Kesehatan, dan retribusi pelayanan kesehatan. Secara lebih detail, Baiknya pelayanan kesehatan di Kota Yogyakarta ini antara lain dapat dilihat dari tingginya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kota Yogyakarta. Pada tahun 2010, IPM tertinggi di Indonesia diperoleh oleh Kota Yogyakarta dengan angka harapan hidup 73,44 tahun meningkat dari 73,35 di tahun 2009.
Refleksi Secara General, meskipun desentralistis , daerah belum secara maksimal mengatur urusan kesehatan sesuai kondisi daerah Perda sebagian besar terkait Retribusi dan tarif, SOTK dan perijinan Anomali: pelayanan kesehatan meningkat Pertanyaan: Mengapa daerah tidak memaksimalkan kewenangannya untuk mengatur Jika tidak diatur daerah, bagaimana pelaksanaan hal-hal penting di daerah? Mengapa terjadi anomali?
Maturnuwun
Maturnuwun Roadmap FH UGM Juli 2016