Asal Bunga Api Konflik Poso dan Ambon Versi JK Konflik horizontal di Poso dan Ambon melahirkan sejumlah teka-teki dan beragam rupa analisis. Berbagai analisis diutarakan oleh berbagai oknum. Bagi yang sangat mahir berkalkulasi politik, mengatakan bahwa konflik di kedua tempat itu adalah hasil dari bentrokan berbagai kepentingan politik, terutama elite politik di Jakarta. Kemudian yang lain menilai konflik tersebut adalah refleksi kondisi politik global yang terjadi antara kepentingan super power yang ingin menegakkan hegemoni di satu pihak, dan kepentingan lain yang menentang hegemoni tersebut. Sehingga, terorisme internasional adalah alat yang ikut dimainkan di kedua tempat itu. Ada lagi kalkulasi politik yang mengatakan bahwa konflik di kedua tempat tersebut muncul sebagai akibat dari pemisahan institusional antara lembaga TNI dan Kepolisian. Pihak TNI memberikan pelajaran kepada pihak Kepolisian bahwa mereka sebenarnya tak mampu mengamankan, dan hanya TNI yang mampu mengamankannya. Ada lagi yang seru. Konflik di Poso dan Ambon dinilai sebagai konflik yang dipicu oleh sejumlah personel TNI yang frustasi akibat reformasi yang memarjinalkan posisi TNI dalam politik. Kaum akademisi pun ikut memberi analisis. Ada yang menilai, konflik yang beraroma SARA di Poso dan Ambon adalah konflik seperti yang diprediksi oleh Samuel Huntington sebagai benturan peradaban. Yang bisa muncul dalam bentuk pertentangan agama, bisa muncul dalam wujud pertikaian etnis dan sebagainya. Ada pula yang berfikir bahwa konflik tersebut adalah pertanda lemahnya dan tak berwibawanya negara dalam menjalankan fungsinya sebagai pengaman. Menghadapi berbagai kalkulasi dan dugaan tersebut, JK dengan enteng menjawab, adalah tidak mungkin personel TNI bermain bunga api di Poso dan Ambon sebab banyak juga personel mereka yang jadi korban. Begitu pula polisi. Bahwa ada personel mereka yang ikut-ikut di salah satu pihak, logis saja sebab ini adalah konflik yang berbau SARA. Konflik SARA pasti cenderung membuat orang jadi subjektif. JK selanjutnya menilai, bunga api konflik Poso dan Ambon tidak dilempar pertama kali oleh faktor eksternal tetapi semuanya karena faktor internal, yang terjadi di Poso dan Ambon. Bagi JK, ada beberapa faktor yang memercikkan bunga api konflik di Poso dan Ambon. Pertama, selama beberapa puluh tahun terakhir di Poso, telah terjadi perubahan komposisi penduduk. Dulu, beberapa kawasan di Poso didominasi oleh warga Nasrani. Secara perlahan dan tak terasa, komposisi tersebut bergeser dan warga Islam pun mulai meningkat dan menggeser populasi Nasrani. Ini adalah hasil dari pembangunan infrastruktur, dalam wujud terbukanya trans-Sulawesi. Jalur trans-Sulawesi inilah yang memobilisasi munculnya kaum pendatang dari Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara yang beragama Islam. Mereka datang ke Poso karena di sana lebih subur. Sebagai kaum pendatang, mereka tentu bekerja lebih keras dan ulet agar bisa bertahan. Dengan modal keuletan dan kerja keras, beberapa puluh tahun kemudian mereka menjadi kelas menengah baru di wilayah tersebut. Karena posisi mereka yang meningkat itu, dengan sendirinya secara ekonomis juga lebih baik dari yang lain. Sehingga pendidikan anak-anak mereka juga lebih baik. Maka, lengkap sudah faktor yang memungkinkan mereka melakukan mobilitas vertikal yang sangat signifikan. Selama proses mobilitas vertikal itu menggelinding, memang belum terasa adanya konflik. Tetapi setelah panen atas hasil proses mobilitas vertikal tersebut diraih, barulah terasa agak mengganggu yang lain. Di sinilah bunga api konflik mulai memercik. Tesis Kalla ini dibuktikan dengan fakta lapangan bahwa tatkala konflik ini bermula, baik di Poso, khususnya di Ambon, isunya bukan soal agama sama sekali. Yang menjadi tema sentral saat itu justru “usir BBM” (BBM=Bugis Buton Makassar). Malah, pelatuk konflik di Ambon, lebih spesifik memang, yakni, seorang kernet mobil di stasiun adalah anak muda Bugis yang cekcok dengan penduduk setempat. Sejalan dengan adanya pendatang baru ini, komposisi penduduk dalam Ambon sendiri juga mengalami perubahan. Dulunya, pemilik tanah, termasuk kebun-kebun cengkeh, lebih banyak warga Nasrani. Pilihan bagi warga Islam adalah pendidikan. Maka, setelah beberapa puluh tahun kemudian, investasi yang mereka tanamkan di bidang pendidikan, mulai menuai hasil. Bagi mereka yang meninggalkan Ambon untuk meneruskan pendidikan di berbagai tempat mulai berdatangan kembali ke Ambon, dan mengisi pos-pos penting di pemerintah daerah. Di saat yang berbarengan, pada era Suharto, anak-anak Suharto, khususnya Tommy Suharto telah merajalela di sektor ekonomi. Saat itulah dibentuk BPPC yang mengatur monopoli distribusi dan harga cengkeh. Dengan mudah dinujum, saudara/saudari kita di Maluku mengalami penderitaan ekonomi yang signifikan. Sehingga lengkap sudah derita kaum Nasrani yang notabene menguasai lahan-lahan cengkeh selama ini. Dengan perspektif seperti ini, jelas bahwa kaum Nasrani perlahan-lahan mengalami pergeseran posisi dengan struktur masyarakat Ambon. Pendatang baru dari selatan tiba-tiba menjadi kelas menengah baru, penduduk Ambon dari kalangan Islam datang dengan pendidikan yang tinggi mulai mengisi pos-pos penting di pemerintah. Nah, di sinilah bunga api di Ambon mulai memercik. Ungkap JK di berbagai kesempatan. Menanggapi tesis JK tentang bunga api konflik Poso dan Ambon tersebut, seorang ahli sosiologi pernah mengatakan secara terbuka bahwa kaum ilmuwan sosial Indonesia mestinya menundukkan kepala karena malu atas tesis JK tersebut. Masalahnya, konflik Poso dan Ambon selama ini selalu dilihat dari perspektif kalkulasi politik praktis dan hitungan-hitungan dangkal. Tak ada di antara kita yang mau menukik ke aspek struktural, seperti yang dilakukan oleh JK. Faktor kedua, khususnya di Poso, adalah sistem rekruitmen di elit formal tingkat daerah yang mengalami perubahan, sejalan dengan perubahan sistem politik kita setelah reformasi. Dalam perspektif ini, JK meyakini bahwa dulu, siapa yang menjadi bupati dan pendamping bupati, bisa saja diatur dengan hitungan komposisi penduduk dan perimbangan etnis dan agama. Sekarang, sulit lagi dilakukan karena segalanya diserahkan kepada mekanisme pasar dengan sistem demokrasi liberal. Sistem politik kita sekarang ini benar-benar the winner takes all. “Lateka yang dikenal sebagai pemimpin kelompok kelelawar Hitam pernah mencalonkan diri sebagai Bupati Poso, tetapi kalah dalam pertarungan.” kisah JK. Akibat dari sistem terbuka seperti ini, yang kalah dalam pertarungan, sulit lagi diatur untuk dicarikan tempat. Cara berpikir JK ini sangat terbuka dikemukakan, termasuk kepada duta besar negara-negara Barat dan Amerika Serikat. “Inilah bentuk demokrasi yang Anda paksakan untuk dipakai secara bulat-bulat di negeri ini,” kata JK. Faktor ketiga, baik di Poso maupun Ambon, keduanya sukses menggunakan alat yang paling efektif dan menggoda untuk melakukan kekerasan, yakni agama. Di sini, agama benar-benar dijadikan alat untuk menafikkan pihak-pihak yang dinilai sebagai lawan. Agama digunakan sebagai kendaraan untuk masuk surga dengan cara manipulatif. Bagi siapa saja, terutama yang merasa diri tak mungkin masuk surga karena perbuatan masa lalu, akan tergiur ikut perang karena ia dijanjikan masuk surga. Godaan masuk surga inilah yang kian mengobarkan semangat untuk saling menghabisi. Berbarengan dengan tema dan tawaran masuk surga ini, kebijakan pemerintah pada saat awal konflik muncul menambah persoalan kian runyam. Saat itu Gus Dur, sebagai Presiden Republik Indonesia, bukan hanya tidak serius mencari solusi atas konflik berdarah ini, tetapi malah dinilai membuat konflik kian menjadi-jadi. Karena pernyataan Gus Dur yang dinilai sebagai kebijakan pemerintah itu, kedua belah pihak kian keasyikan menabuh genderang perang tanpa ada rasa kekhawatiran harus berhadapan dengan negara. Dalam posisi seperti ini, kedua belah pihak hanya memfokuskan diri untuk menghadapi dan menghabisi lawan. Tidak ada diantara mereka yang berfikir menghadapi lawan sekaligus pemerintah. Ketidakhadiran negara dalam urusan hidup dan mati ini, membuat kedua belah pihak tidak memiliki alternatif, kecuali membuka diri kepada kekuatan luar untuk membantu, minimal mempertahankan diri. Jadi, kekuatan luar terlibat dalam motif menyelamatkan dan membantu hanya karena negara tidak hadir memberi jaminan. Hal ini dibenarkan oleh Agus Dwikarna, tokoh Laskar Jundullah yang banyak terlibat dalam konflik Poso. Dan juga dibenarkan oleh Ustad Jafar Umar Thalib, pemimpin Laskar jihad yang memang banyak terlibat pada konflik Ambon.