Mengenang Pribadi Besar, Sederhana, dan Jujur BUNG HATTA Putra Utama Bangsa Indonesia Di dalam Al-Qur’an Surah Ar-Rahman ayat 27 dan 28, Allah swt. berfirman: “Segala sesuatu di atas bumi akan binasa. Dan yang akan tetap tinggal untuk selama-lamanya hanya Wujud Tuhan engkau, Yang Mempunyai Kebesaran dan Kemuliaan”. Sesuai dengan firman Allah di atas, seorang hamba Allah, Dr. Mohammad Hatta, telah berpulang ke Rahmatullah dengan tenang pada tanggal 14 Maret 1980. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Berita kemangkatannya bagaikan petir di siang hari bolong. Itulah suratan takdir, bahwa setiap orang yang dilahirkan pasti akan mengalami saat ketika ia harus minum piala maut. Dengan perasaan haru dan sedih, saya segera mengirimkan telegram menyatakan rasa dukacita dan belasungkawa kepada Ibu Rahmi Hatta atas musibah yang menimpa keluarganya. Saya mengenal almarhum secara pribadi sejak permulaan tahun 1947, ketika untuk pertama kalinya saya menghadap beliau di kediaman beliau yang terletak di samping Gedung Kepresidenan di Jogjakarta. Waktu itu saya menghadiahkan sebuah kitab berjudul Ahmadiyyat or True Islam, karya Hadhrat Basyiruddin Mahmud Ahmad, Khalifatul Masih II. Dalam perjumpaan untuk pertama kali itu saya mendapat kesan, bahwa kepribadian yang beliau miliki amat menarik: ramah, jujur dalam ucapan dan tindakan, dan sederhana. Perkenalan dengan beliau lebih diakrabkan setelah saya pindah dari Kebumen ke Jogjakarta atas ajakan almarhum Bung Karno, untuk turut aktif dalam perjoangan kemerdekaan tanah air Indonesia, selama masa perjoangan di Jogjakarta dengan restu Hadhrat Khalifatul Masih II r.a. dengan karunia Allah. Selama kurang lebih tiga tahun saya mendapat kesempatan yang berbahagia berjumpa dan berkomunikasi lewat percakapan yang intim dengan beliau, kalau tidak ratusan mungkin puluhan kali. Saya sangat terkesan bukan saja oleh keterpelajarannya, tetapi juga disiplin pribadi beliau menjaga waktu, menepati janji, mentaati peraturan Allah, dan menjunjung tinggi etika pergaulan. Saya dapat mengenangkan kembali peristiwa, tatkala pihak Belanda melancarkan agresinya yang ke-2 dan menduduki ibukota sementara RI, Jogjakarta, Dwi Tunggal - Bung Karno dan Bung Hatta - beserta beberapa pimpinan lainnya ditawan dan diasingkan ke pulau Bangka oleh pihak Belanda. Saat itu sungguh merupakan saat yang pahit bagi perjoangan bangsa Indonesia. Mengetahui bahwa Bung Hatta gemar membaca buku-buku agama, saya mengirimkan kepada beliau di tempat pengasingan itu beberapa buah kitab agama terbitan Jemaat Ahmadiyah melalui Palang Merah Internasional. Pada tahun 1949 tiba saatnya Dwi Tunggal, Bung Karno dan Bung Hatta, beserta pemimpin-pemimpin lainnya - di antaranya, almarhum Haji Agus Salim, Mr. A.G.Pringgodigdo, Laksamana Udara Suryadarma, dan Mr. Ali Sastroamijoyo - kembali di tengah-tengah masyarakat Jogjakarta dengan mendapat sambutan yang menggelora. saya sendiri, sebagai anggauta Panitia Pemulihan Pemerintahan RI Pusat ( yang diketuai oleh Ki Hajar Dewantoro) mendapat kehormatan menjemput pemimpin-pemimpin bangsa itu di lapangan terbang Maguwo. Saya tidak lupa akan saat ketika saya menjabat tangan Bung Hatta; beliau sempat mengucapkan terima kasih atas bingkisan buku-buku yang pernah saya kirimkan kepada beliau tempo hari itu. Seorang Pencinta Al-Qur’an Setelah penyerahan kedaulatan dari pihak Belanda ke tangan RI, pusat pemerintahan RI pindah dari Jogjakarta ke Jakarta. Sekitar tahun 1950 saya berkesempatan menghadiahkan kepada almarhum kitab The Holy Quran with English Translation and Commentary, Jilid I. Saya persembahkan kitab itu atas nama Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Kitab itu merupakan kitab tafsir Al-Qur’an dalam bahasa Inggris,
terdiri dari 10 juz pertama, disusun oleh beberapa sarjana dan ulama Jemaat Ahmadiyah dibawah asuhan Hadhrat Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad, Khalifatul Masih II r.a. Dua tahun kemudian, yakni tahun 1952, saya sempat menghadiahkan lagi jilid keduanya, yang terdiri dari 5 juz berikutnya. Sekitar tahun 1959 beliau jatuh sakit dan terpaksa dirawat di RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo, menempati bagian pavilium Cendrawasih. Sekali perisitwa saya bersama istri saya memerlukan melayat beliau. Ketika kami sampai di paviliun Cendrawasih, kami dapati seorang jururawat wanita duduk di depan kamar beliau. Ketika kami nyatakan maksud kami, ia menunjuk kepada sebuah tulisan pada sebuah papan yang tergantung di pintu kamar, berbunyi: Dr. Mohammad Hatta, tidak diperkenankan menerima tamu selain keluarganya. Prof. Dr. Aulia. Dengan perasaan sedikit kecewa kami terpaksa harus kembali. Tetapi, sebelum meninggalkan tempat itu kami minta kepada perawat itu sehelai kertas dan saya menuliskan nama saya pada kertas itu dengan berpesan kepada perawat itu agar secarik kertas itu disampaikan kepada Bung Hatta dan menitipkan salam dari kami berdua. Kami melangkah ke luar dari paviliun itu. Baru saja kami melangkah sejauh 100 meter, terdengar langkah-langkah orang setengah berlari dari belakang dan memanggil-manggil nama saya, “Bapak Sayyid …. Bapak Sayyid!” Ketika saya menoleh kebelakang, barulah saya mengetahui yang memanggil-manggil itu kiranya jururawat Bung Hatta. Ia menyilahkan kami kembali, karena Bung Hatta menghendaki sendiri berjumpa. Maka masuklah kami ke kamar tempat beliau berbaring. Kami diterima beliau dengan wajah berseri-seri dan keramahan yang khas beliau. Di tengah percakapan beliau berucap, “Tafsir Al-Qur’an dua buah yang telah Pak Sayyid berikan kepada saya itu saya bawa di sini. Dan saya suka membacanya di sini,” seraya jari beliau menunjuk ke sebuah pojok kamar, tempat sebuah meja kecil terletak, yang di atasnya terdapat kedua kitab Tafsir yang beliau maksudkan. Hal itu cukup memberikan citra betapa beliau cinta kepada Kalam Allah. Tak ada hiburan yang beliau anggap lebih mengasyikkan dalam keadaan beliau sakit selain menelaah firman Allah. Yang beliau pilih justru tak lain ialah Kitab Tafsir dari Jemaat Ahmadiyah. Suatu peristiwa yang sungguh melegakan hati saya. Ketika kami hendak minta diri akan pulang, beliau mengatakan supaya kami jangan pulang dahulu dan menunggu sampai tibanya istri beliau (Ibu rahmi Hatta) yang baru saja pulang ke rumahnya dan sebentar akan datang, dan beliau juga memang tidur di Cendrawasih. Karena sudah lebih setengah jam kami sudah berada di situ, maka kami mohon diri dan sebelum meninggalkan kamar beliau saya berjanji akan mengirimkan beberapa buah kitab karya Jemaat sebagai bahan bacaan bagi beliau. Sesuai dengan janji itu, esok harinya saya kirim satu bingkisan berisi buku-buku karya Hadhrat Khalifatul Masih II dan para alim ulama Jemaat. Bingkisan tersebut diantarkan oleh Sdr. Hamid Ahmad Sukarjo. Ketika Sdr. Sukarjo sampai di paviliun Cendrawasih di rumah sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, kebetulan Bapak I. Wangsa Widjaja, Sekretaris pribadi Bung Hatta, ada di sana. Beliau menanyakan kepada Sdr. Sukarjo mengenai isi bingkisan itu, dan beliau agak keberatan untuk menyampaikannya kepada Bung Hatta, khawatir bisa menganggu ketenangan beliau, sebab beliau, menurut dokternya, diharuskan beristirahat betul-betul. Tiba-tiba Prof. Dr. Aulia muncul dan langsung menanyakan kepada Pak Wangsa, “Ada apa itu?” Pak Wangsa menjawab bahwa ada yang mengirimkan setumpukan buku-buku. Prof. Aulia melihat sepintas lalu bingkisan tersebut dan mengatakan kepada pak Wangsa “Berikanlah saja ini kepada Bung Hatta, ini merupakan makanan baginya.” Maka bingkisan tersebut akhirnya disampaikan kepada Bung Hatta. Esoknya Pak Wangsa Widjaja menyampaikan kepada saya salam dan rasa terima kasih dari Bung Hatta atas kiriman bingkisan “makanan” tersebut itu. Bingkisan yang dikirimkan itu berisi lebih dari dua puluh kitab, di antaranya: Introduction to the Study of the Holy Quran, Life of the Holy
Prophet Muhammad, The Economic Structure of Islamic Society, New World Order, Where Did Jesus Die?, Message of Ahmadiyah, Islam and Communism, Forty Gems, The Hadits, Meaning of Khataman Nabiyyin, Our Teaching, Tafsir Surah Al-Fatihah, Mi’raj dan Isra Nabi saw., Menyingkap keraguan dan Fatwa Allama Mahmud Syaltut, Apakah Ahmadiyah itu, dan lain-lain. “Sudah saya baca” Sekitar tahun 1962 saya mendapat karunia Tuhan untuk sekali lagi mempersembahkan Tafsir Al-Qur’an jilid ketiga, terdiri dari 10 juz lanjutan. Beliau pun menerimanya dengan suka cita dan tak lupa beliau mengucapkan terima kasih. Sekitar tahun 1968 Bapak Sahibzada Mirza Mubarak Ahmad, kepala departemen dakwah Islam dari Jemaat Ahmadiyah Pusat, berkunjung ke Indonesia dari Rabwah, Pakistan. Dalam kunjungan itu beliau memerlukan berkunjung kepada almarhum Bapak Dr. Mohammad Hatta di kediaman beliau, Jl. Diponegoro 57, Jakarta. Delegasi terdiri dari Sahibzada Mirza Mubarak Ahmad, sekretaris pribadi beliau M. Basyarat Ahmad, Ketua PB Jemaat Ahmadiyah Moertolo SH, Sdr. H.S. Yahya Pontoh, Sdr. R. Haji Hadi Iman Sudita SH, dan saya sendiri. Delegasi diterima beliau dengan segala senang hati, meski pun beliau baru bangun dari sakit beberapa minggu sebelumnya. Di tengah percakapan mengenai kegiatan dakwah Ahmadiyah di Eropa dan lain-lain negeri, almarhum langsung berkata kepada saya, “Pak Sayyid, Tafsir dua puluh lima juz dulu sudah saya baca. Saya menunggu-nunggu yang lima juz terakhir. Sampai kini belum saya terima.” Bapak Mirza Mubarak Ahmad Sahib, setelah saya berikan penjelasan apa yang diucapkan Bapak Hatta, berkata dalam bahasa Inggeris, “It is now waiting for you” (Kitab itu sekarang menantikan Anda). Karena itu saya mengeluarkan dari tas saya Kitab Tafsir yang beliau maksudkan, yaitu terdiri dari 5 juz terakhir, lalu saya menyerahkannya kepada Sahibzada Sahid untuk beliau serahkan kepada Bung Hatta. Bung Hatta bangkit dan berjalan menuju ruang tengah dan kembali membawa ketiga jilid Tafsir yang sudah lebih dahulu beliau terima. Beliau menerima jilid yang terakhir dengan senang hati dan langsung membuka dan melihat-lihatnya dengan penuh minat (seperti nampak pada foto). Nyata benar betapa jiwa beliau merindukan sekali bacaan yang berkenan dengan keagamaan dan betapa cinta beliau kepada Kitab Allah. Orang Besar dengan Jiwa Besar Saya mempunyai pengalaman pribadi yang mencerminkan watak beliau. Beliau dengan saya adalah seibarat gunung dengan sebuah batu kerikil. Namun, alangkah besar perhatian beliau terhadap seorang kenalan yang tidak berarti sebagaimana halnya saya. Sekitar tahun 1976 saya jatuh sakit, kena serangan jantung. Oleh dokter yang biasa merawat saya, malam hari itu juga saya disuruh masuk ke ruang ICCU, tempat penderita penyakit jantung gawat, di RSUP Dr. Cipto Mangunkusuma. Secara kebetulan sekretaris pribadi Bapak Hatta, Bapak I. Wangsa WIjaya memergoki saya di eawat di sana. Rupa-rupanya beliau menceriterakan hal itu kepada Bung Hatta, ternyata dari kedatangan Bung Hatta secara tak terduga bersama Ibu melayat saya. Masih segar diingatan saya kata-kata beliau menghibur saya. Betapa besar saya merasa terharu mengingat beliau seorang besar, putra utama bangsa indonesia, ko-proklamator kemerdekaan di samping Bung Karno. Beliau siapa dan saya siapa! Tetapi budi luhur dan jiwa besar beliau menggugah hati beliau memerlukan menjenguk seorang kenalannya yang hina sedang menderita sakit. Hal itu cukup menunjukkan kerendahan hati beliau yang murni. Kemudian saya mendapat layatan lagi 2 kali dari beliau bersama-sama Pak Wangsa. Jadi selama 22 hari saya dirawat di ICCU saya mendapat kehormatan kunjungan beliau tiga kali. Akhlak beliau serupa itu sesuai dengan ajaran Nabi Besar Muhammad saw bahwa, “Jika di antaramu ada yang sakit tengoklah dia, dan jika ada yang wafat di antaramu antarkanlah dia ke kuburan.”
Bung Hatta adalah milik bangsa Indonesia Bung Hatta adalah milik bangsa Indonesia. Nama yang diberikan oleh ayahnya adalah Athar, artinya wangi-wangian. Secara alamiah beliau benar-benar seorang Aththaar - pembuat, penjual, dan penyebar wangi-wangian. Beliau sudah tiada, namun beliau yang harum menyebarkan wangi semerbak ke mana-mana. Di samping beliau seorang pecinta Al-Qur’an dan agama Islam, beliau adalah penyebar dan pendekar patriotisme, penggembleng nasionalisme berdasarkan demokrasi kerakyatan. Beliau berhasil dalam cita-cita perjoangan bangsanya dan mendapat karunai dari Tuhan menjadi ko-proklamator kemerdekaan bersama rekan perjoangannya, Bung Karno. Kita, 140 juta bangsa Indonesia, sungguh berhutang budi kepada kedua-dua putera utama bangsa Indonesia, Soekarno-Hatta. Semoga Tuhan memberi kesadaran dan taufik kepada bangsa Indonesia yang telah dinaikan derajatnya oleh kedua beliau ke puncak kemuliaan, supaya dapat meneruskan dan mensukseskan cita-cita perjoangan mereka. Semoga Tuhan memberi pahala yang sebesar-besarnya atas jasa-jasa mereka kepada bangsa dan tanah air Indonesia. Satu hal yang patut kita catat ialah, pernah Rasulullah saw bersabda, “Ceriterakanlah yang baik mengenai saudaramu yang meninggal dunia,” maka sesuai dengan ajaran itu setelah Bung Karno wafat, tidak pernah keluar dari mulut Bung Hatta sepatah kata pun yang mengecilkan nama baik dan kehormatan Bung Karno. Suatu sifat yang sungguh patut ditiru oleh setiap mukmin. Pada saat-saat golongan tertentu dan orang-orang vested interest sibuk memalsukan serta menggelapkan sejarah mengenai filsafat negara RI “Pancasila”, maka Bung Hatta dengan tegas dan secara jujur membongkar usaha pemalsuan tersebut dengan menyatakan dan disertai bukti-bukti bahwa Pancasila itu adalah inspirasi pribadi Bung Karno yang dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945 di muka sidang Badan “Dokuritzu Zyunbi Tyoo Sakai” (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan) di bawah pimpinan Ketua Badan tersebut almarhum Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat, dicetuskannya sebagai Filsafat Negara Indonesia Merdeka. Almarhum Bung Hatta pada detik-detik akhir hayatnya pun tetap menunjukkan sikap juur serta korektif mengenai sejarah perjuangan Bangsa Indonesia secara murni. Beliau segera angat suara, untuk membantah hal-hal yang sekiranya sengaja atau tidak sengaja hendak memalsukan sejarah perjuangan Bangsa Indonesia. Bung Hatta tetap berada di tengah-tengah rakyat dengan wasiatnya yang terakhir minta agar beliau dimakamkan di tengah-tengah rakyat jelata. Jasadnya sudah tiada, namun namanya yang harum akan tetap hidup selama bangsa dan tanah air Indonesia ada. Hidup Indonesia! Hidup Soekarno-Hatta! oleh : Sayyid Shah Muhammad al-Jaelani - Mubaligh Ahmadiyah