Mengenang Pribadi Besar, Sederhana, dan Jujur

Slides:



Advertisements
Presentasi serupa
Semuanya Indah Jangan Menangis Mama
Advertisements

Suatu ketika seorang bayi siap untuk dilahirkan ke  dunia.
TUNGGU dulu YA RASULullah Berkunjung ke rumah kita)
MEDIA PEMBELAJARAN BERKOMITMEN TERHADAP PANCASILA SEBAGAI DASAR NEGARA
Bu Diro yang “Lebih Populer”
Pendidikan Nasional Indonesia (PNI) dari Hari ke Hari Pada bulan September 1932 saya sudah pindah pondokan, menyewa di Jalan Kopo. Waktu itu Pimpinan Umum.
Tanda Titik Koma (;) Tanda titik koma dapat dipakai untuk memisahkan bagian- bagian kalimat yang sejenis dan setara. Misalnya : Malam makin larut; pekerjaan.
Arti Revolusi Pada tanggal 27 November 1956 diadakan upacara pemberian gelar Doctor Honoris Causa kepada Bung Hatta oleh Universitas Gadjah Mada, bertempat.
Perpustakaan Ada satu hal lagi yang perlu saya kemukakan. Entah bagaimana saya berani mengusulkan sepintas lalu kepada Bung Hatta, agar perpustakaan pribadi.
AL-MUQAWQIS, GUBERNUR ROMAWI DI MESIR
Heraclius Kaisar Romawi Timur
LAMARAN KERJA DAN WAWANCARA KERJA
TAAT DAN PATUH KEPADA ORANG TUA
Etika menerima Tamu dan Bertelepon
BAB 7 USAHA PERSIAPAN KEMERDEKAAN INDONESIA
BAB 2 Menumbuhkan Kesadaran Berkonstitusi
Ar-Risalah Pengertian Risalah Rasul dan Nabi Auliya dan Ulama.
Uji-Ngaji Sewaktu kami bertiga: Kak Meutia, saya sendiri, dan Halida, masih kecil, Ibu menyarankan agar saya masuk sekolah Katolik. Waktu itu Ayah marah.
Bapak Bangsa Sejati Mohammad Hatta
Mukmin Sejati Sesudah pertemuan itu saya sering bertanya pada diri sendiri, di mana sumber sifat-sifat Bung Hatta? Itulah yang sering menjadi renungan.
Tawaran dari Bapak Koperasi
ALLAH KASIH KARUNIA DAN PENGHAKIMAN
Keluarga Mahasiswa Katolik (KMK) Santo Thomas Aquinas
Tak Setuju dengan Dwifungsi ABRI
Menyusuri Museum Naskah Proklamasi
Cum Laude Menurut rencana, pada tanggal 18 Februari 1968, Bung Hatta, Pak Njoto Amidjojo, Pak Hutabarat serta dua calon promo-vendus, Drs. Zainul Jasni.
MAKNA PROKLAMASI DAN KONSTITUSI PERTAMA
Sri Juwita Hanum Cukup lama kami menikah, namun belum dikaruniai anak. Dalam soal anak, orang Minangkabau tidak kalah usil mulut seperti orang Jawa. Mereka.
Tertib Itu Indah Memang benar apa yang dikatakan kawan saya itu sebab jadwal kerja Ayah luar biasa rapinya. Bayangkan saja, setiap hari, persisi pada jam.
Pendapat Tentang Sarjana
Sebagai Wartawan Sebagaimana dengan Bung Karno, Bung Hatta meyakini pentingnya peranan pers. Tidak banyak orang yang mengetahui betapa ampuhnya senjata.
KEBIJAKAN NASIONAL PENDIDIKAN KARAKTER 2011
Dialog dalam “Seikere”
Sederhana Tapi Tegas Pada waktu dilangsungkan pertunjukan Koenig Quarter di Goethe Institut di Jakarta (1972), hadir Bung Hatta dengan disertai oleh Ibu.
BAB X Salat Jum’at.
PINTU MASUK DAN SALURAN PENYEBARAN AGAMA ISLAM
Pancasila dan Implementasinya
Materi III IMAN Oleh: Ahmad Arif Rifan, SHI., MSI.
Belajar dari Bung Hatta, Sang Proklamator RI yg bersahaja
ADAB KEPADA IBU BAPA Pengertian. Dalil.
Ya Allah, kepunyaan Allahlah segala yang ada di langit dan di bumi.
Pancasila dan Implementasinya
PENTINGNYA AGAMA DAN USAHA AGAMA
Ps. Danny Hanafi.
Suatu ketika seorang bayi siap untuk dilahirkan ke  dunia.
Pancasila dan Implementasinya
Kesekretarisan tamu By: Tiara Putri Tasya
Soal Ulangan Formatif Kesatu Mata Pelajaran PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Kelas VI ( Enam ) Koleksi Mr. BAMBOS.
MEMELIHARA JEMAAT AGAR SETIA
Kamar No. 5, Paviliun Cendrawasih
Prolog Sang Sekretaris
Mengubah Cacian Jadi Kekaguman
RESEPSIONIS PERUSAHAAN
Bertelepon.
Kepedulian Umat Islam terhadap Jenazah
Pancasila dan Implementasinya
ASAL MULA PEMBENTUKAN NKRI.
Kisah Teladan Nabi Ulul Azmi
KELOMPOK 10 M. Yusuf Fahmi S NPM Desi Rahmawatie NPM Dian Viona NPM Annisa Febrianti NPM Fauziah Nurul Laksmi NPM.
Islam Juga untuk Anak-anak
PELAYANAN PETRUS Lesson 6 for August 11, 2018.
Materi III IMAN Oleh: Ahmad Arif Rifan, SHI., MSI.
Materi III IMAN Oleh: Ahmad Arif Rifan, SHI., MSI.
Suatu ketika seorang bayi siap untuk dilahirkan ke  dunia.
Suatu ketika seorang bayi siap untuk dilahirkan ke  dunia.
Agama Bahá’i.
Surat Balasan Suatu kunjungan ke rumah Bung Hatta yang amat mengesankan ialah waktu saya datang untuk mengambil copy riwayat hidup Sjahrir yang saya minta.
Mengenal Bung Hatta “Bapak Koperasi Indonesia”
PERKEMBANGAN DAKWAH NABI MUHAMMAD SAW PERIODE MEKKAH.
MENGHIDUPKAN PENGHARAPAN ADVENT
Transcript presentasi:

Mengenang Pribadi Besar, Sederhana, dan Jujur BUNG HATTA  Putra Utama Bangsa Indonesia Di dalam Al-Qur’an Surah Ar-Rahman ayat 27 dan 28, Allah swt. berfirman: “Segala sesuatu di atas bumi akan binasa. Dan yang akan tetap tinggal untuk selama-lamanya hanya Wujud Tuhan engkau,  Yang Mempunyai Kebesaran dan Kemuliaan”. Sesuai dengan firman Allah di atas, seorang hamba Allah, Dr. Mohammad Hatta, telah berpulang ke Rahmatullah dengan tenang pada tanggal 14 Maret 1980. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Berita kemangkatannya bagaikan petir di siang hari bolong.  Itulah suratan takdir, bahwa setiap orang yang dilahirkan pasti akan mengalami saat ketika ia harus minum piala maut. Dengan perasaan haru dan sedih, saya segera mengirimkan telegram menyatakan rasa dukacita dan belasungkawa kepada Ibu Rahmi Hatta atas musibah yang menimpa keluarganya. Saya mengenal almarhum secara pribadi sejak permulaan tahun 1947, ketika untuk pertama kalinya saya menghadap beliau di kediaman beliau yang terletak di samping Gedung Kepresidenan di Jogjakarta. Waktu itu saya menghadiahkan sebuah kitab berjudul Ahmadiyyat or True Islam, karya Hadhrat Basyiruddin Mahmud Ahmad, Khalifatul Masih II. Dalam perjumpaan untuk pertama kali itu saya mendapat kesan, bahwa kepribadian yang beliau miliki amat menarik: ramah, jujur dalam ucapan dan tindakan, dan sederhana. Perkenalan dengan beliau lebih diakrabkan setelah saya pindah dari Kebumen ke Jogjakarta atas ajakan almarhum Bung Karno, untuk turut aktif dalam perjoangan kemerdekaan tanah air Indonesia, selama masa perjoangan di Jogjakarta dengan restu Hadhrat Khalifatul Masih II r.a. dengan karunia Allah. Selama kurang lebih tiga tahun saya mendapat kesempatan yang berbahagia berjumpa dan berkomunikasi lewat percakapan yang intim dengan beliau, kalau tidak ratusan mungkin puluhan kali. Saya sangat terkesan bukan saja oleh keterpelajarannya, tetapi juga disiplin pribadi beliau menjaga waktu, menepati janji, mentaati peraturan Allah, dan menjunjung tinggi etika pergaulan. Saya dapat mengenangkan kembali peristiwa, tatkala pihak Belanda melancarkan agresinya yang ke-2 dan menduduki ibukota sementara RI, Jogjakarta, Dwi Tunggal - Bung Karno dan Bung Hatta - beserta beberapa pimpinan lainnya ditawan dan diasingkan ke pulau Bangka oleh pihak Belanda. Saat itu sungguh merupakan saat yang pahit bagi perjoangan bangsa Indonesia. Mengetahui bahwa Bung Hatta gemar membaca buku-buku agama, saya mengirimkan kepada beliau di tempat pengasingan itu beberapa buah kitab agama terbitan Jemaat Ahmadiyah melalui Palang Merah Internasional. Pada tahun 1949 tiba saatnya Dwi Tunggal, Bung Karno dan Bung Hatta, beserta pemimpin-pemimpin lainnya - di antaranya, almarhum Haji Agus Salim, Mr. A.G.Pringgodigdo, Laksamana Udara Suryadarma, dan Mr. Ali Sastroamijoyo - kembali di tengah-tengah masyarakat Jogjakarta dengan mendapat sambutan yang menggelora.  saya sendiri, sebagai anggauta Panitia Pemulihan Pemerintahan RI Pusat ( yang diketuai oleh Ki Hajar Dewantoro) mendapat kehormatan menjemput pemimpin-pemimpin bangsa itu di lapangan terbang Maguwo. Saya tidak lupa akan saat ketika saya menjabat tangan Bung Hatta; beliau sempat mengucapkan terima kasih atas bingkisan buku-buku yang pernah saya kirimkan kepada beliau tempo hari itu. Seorang Pencinta Al-Qur’an Setelah penyerahan kedaulatan dari pihak Belanda ke tangan RI, pusat pemerintahan RI pindah dari Jogjakarta ke Jakarta. Sekitar tahun 1950 saya berkesempatan menghadiahkan kepada almarhum kitab The Holy Quran with English Translation and Commentary, Jilid I.  Saya persembahkan kitab itu atas nama Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Kitab itu merupakan kitab tafsir Al-Qur’an dalam bahasa Inggris,

terdiri dari 10 juz pertama, disusun oleh beberapa sarjana dan ulama Jemaat Ahmadiyah dibawah asuhan Hadhrat Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad, Khalifatul Masih II r.a. Dua tahun kemudian, yakni tahun 1952, saya sempat menghadiahkan lagi jilid keduanya, yang terdiri dari 5 juz berikutnya. Sekitar tahun 1959 beliau jatuh sakit dan terpaksa dirawat di RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo, menempati bagian pavilium Cendrawasih. Sekali perisitwa saya bersama istri saya memerlukan melayat beliau. Ketika kami sampai di paviliun Cendrawasih, kami dapati seorang jururawat wanita duduk di depan kamar beliau. Ketika kami nyatakan maksud kami, ia menunjuk kepada sebuah tulisan pada sebuah papan yang tergantung di pintu kamar, berbunyi: Dr. Mohammad Hatta, tidak diperkenankan menerima tamu selain keluarganya. Prof. Dr. Aulia. Dengan perasaan sedikit kecewa kami terpaksa harus kembali. Tetapi, sebelum meninggalkan tempat itu kami minta kepada perawat itu sehelai kertas dan saya menuliskan nama saya pada kertas itu dengan berpesan kepada perawat itu agar secarik kertas itu disampaikan kepada Bung Hatta dan menitipkan salam dari kami berdua. Kami melangkah ke luar dari paviliun itu. Baru saja kami melangkah sejauh 100 meter, terdengar langkah-langkah orang setengah berlari dari belakang dan memanggil-manggil nama saya, “Bapak Sayyid …. Bapak Sayyid!” Ketika saya menoleh kebelakang, barulah saya mengetahui yang memanggil-manggil itu kiranya jururawat Bung Hatta. Ia menyilahkan kami kembali, karena Bung Hatta menghendaki sendiri berjumpa. Maka masuklah kami ke kamar tempat beliau berbaring. Kami diterima beliau dengan wajah berseri-seri dan keramahan yang khas beliau. Di tengah percakapan beliau berucap, “Tafsir Al-Qur’an dua buah yang telah Pak Sayyid berikan kepada saya itu saya bawa di sini. Dan saya suka membacanya di sini,” seraya jari beliau menunjuk ke sebuah pojok kamar, tempat sebuah meja kecil terletak, yang di atasnya terdapat kedua kitab Tafsir yang beliau maksudkan. Hal itu cukup memberikan citra betapa beliau cinta kepada Kalam Allah. Tak ada hiburan yang beliau anggap lebih mengasyikkan dalam keadaan beliau sakit selain menelaah firman Allah. Yang beliau pilih justru tak lain ialah Kitab Tafsir dari Jemaat Ahmadiyah. Suatu peristiwa yang sungguh melegakan hati saya. Ketika kami hendak minta diri akan pulang, beliau mengatakan supaya kami jangan pulang dahulu dan menunggu sampai tibanya istri beliau (Ibu rahmi Hatta) yang baru saja pulang ke rumahnya dan sebentar akan datang, dan beliau juga memang tidur di Cendrawasih. Karena sudah lebih setengah jam kami sudah berada di situ, maka kami mohon diri dan sebelum meninggalkan kamar beliau saya berjanji akan mengirimkan beberapa buah kitab karya Jemaat sebagai bahan bacaan bagi beliau. Sesuai dengan janji itu, esok harinya saya kirim satu bingkisan berisi buku-buku karya Hadhrat Khalifatul Masih II dan para alim ulama Jemaat. Bingkisan tersebut diantarkan oleh Sdr. Hamid Ahmad Sukarjo. Ketika Sdr. Sukarjo sampai di paviliun Cendrawasih di rumah sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, kebetulan Bapak I. Wangsa Widjaja, Sekretaris pribadi Bung Hatta, ada di sana. Beliau menanyakan kepada Sdr. Sukarjo mengenai isi bingkisan itu, dan beliau agak keberatan untuk menyampaikannya kepada Bung Hatta, khawatir bisa menganggu ketenangan beliau, sebab beliau, menurut dokternya, diharuskan beristirahat betul-betul. Tiba-tiba Prof. Dr. Aulia muncul dan langsung menanyakan kepada Pak Wangsa, “Ada apa itu?”  Pak Wangsa menjawab bahwa ada yang mengirimkan setumpukan buku-buku. Prof. Aulia melihat sepintas lalu bingkisan tersebut dan mengatakan kepada pak Wangsa “Berikanlah saja ini kepada Bung Hatta, ini merupakan makanan baginya.” Maka bingkisan tersebut akhirnya disampaikan kepada Bung Hatta. Esoknya Pak Wangsa Widjaja menyampaikan kepada saya salam dan rasa terima kasih dari Bung Hatta atas kiriman bingkisan “makanan” tersebut itu. Bingkisan yang dikirimkan itu berisi lebih dari dua puluh kitab, di antaranya: Introduction to the Study of the Holy Quran, Life of the Holy

Prophet Muhammad, The Economic Structure of Islamic Society, New World Order, Where Did Jesus Die?, Message of Ahmadiyah, Islam and Communism, Forty Gems, The Hadits, Meaning of Khataman Nabiyyin, Our Teaching, Tafsir Surah Al-Fatihah, Mi’raj dan Isra Nabi saw., Menyingkap keraguan dan Fatwa Allama Mahmud Syaltut, Apakah Ahmadiyah itu, dan lain-lain. “Sudah saya baca” Sekitar tahun 1962 saya mendapat karunia Tuhan untuk sekali lagi mempersembahkan Tafsir Al-Qur’an jilid ketiga, terdiri dari 10 juz lanjutan. Beliau pun menerimanya dengan suka cita dan tak lupa beliau mengucapkan terima kasih. Sekitar tahun 1968 Bapak Sahibzada Mirza Mubarak Ahmad, kepala departemen dakwah Islam dari Jemaat Ahmadiyah Pusat, berkunjung ke Indonesia dari Rabwah, Pakistan. Dalam kunjungan itu beliau memerlukan berkunjung kepada almarhum Bapak Dr. Mohammad Hatta di kediaman beliau, Jl. Diponegoro 57, Jakarta. Delegasi terdiri dari Sahibzada Mirza Mubarak Ahmad, sekretaris pribadi beliau M. Basyarat Ahmad, Ketua PB Jemaat Ahmadiyah Moertolo SH, Sdr. H.S. Yahya Pontoh, Sdr. R. Haji Hadi Iman Sudita SH, dan saya sendiri. Delegasi diterima beliau dengan segala senang hati, meski pun beliau baru bangun dari sakit beberapa minggu sebelumnya. Di tengah percakapan mengenai kegiatan dakwah Ahmadiyah di Eropa dan lain-lain negeri, almarhum langsung berkata kepada saya, “Pak Sayyid, Tafsir dua puluh lima juz dulu sudah saya baca.  Saya menunggu-nunggu yang lima juz terakhir. Sampai kini belum saya terima.” Bapak Mirza Mubarak Ahmad Sahib, setelah saya berikan penjelasan apa yang diucapkan Bapak Hatta, berkata dalam bahasa Inggeris, “It is now waiting for you” (Kitab itu sekarang menantikan Anda). Karena itu saya mengeluarkan dari tas saya Kitab Tafsir yang beliau maksudkan, yaitu terdiri dari 5 juz terakhir, lalu saya menyerahkannya kepada Sahibzada Sahid untuk beliau serahkan kepada Bung Hatta. Bung Hatta bangkit dan berjalan menuju ruang tengah dan kembali membawa ketiga jilid Tafsir yang sudah lebih dahulu beliau terima. Beliau menerima jilid yang terakhir dengan senang hati dan langsung membuka dan melihat-lihatnya dengan penuh minat (seperti nampak pada foto). Nyata benar betapa jiwa beliau merindukan sekali bacaan yang berkenan dengan keagamaan dan betapa cinta beliau kepada Kitab Allah. Orang Besar dengan Jiwa Besar Saya mempunyai pengalaman pribadi yang mencerminkan watak beliau. Beliau dengan saya adalah seibarat gunung dengan sebuah batu kerikil. Namun, alangkah besar perhatian beliau terhadap seorang kenalan yang tidak berarti sebagaimana halnya saya. Sekitar tahun 1976 saya jatuh sakit, kena serangan jantung. Oleh dokter yang biasa merawat saya, malam hari itu juga saya disuruh masuk ke ruang ICCU, tempat penderita penyakit jantung gawat, di RSUP Dr. Cipto Mangunkusuma. Secara kebetulan sekretaris pribadi Bapak Hatta, Bapak I. Wangsa WIjaya memergoki saya di eawat di sana. Rupa-rupanya beliau menceriterakan hal itu kepada Bung Hatta, ternyata dari kedatangan Bung Hatta  secara tak terduga bersama Ibu melayat saya.  Masih segar diingatan saya kata-kata beliau menghibur saya. Betapa besar saya merasa terharu mengingat beliau seorang besar, putra utama bangsa indonesia, ko-proklamator kemerdekaan di samping Bung Karno. Beliau siapa dan saya siapa! Tetapi budi luhur dan jiwa besar beliau menggugah hati beliau memerlukan menjenguk seorang kenalannya yang hina sedang menderita sakit. Hal itu cukup menunjukkan kerendahan hati beliau yang murni. Kemudian saya mendapat layatan lagi 2 kali dari beliau bersama-sama Pak Wangsa. Jadi selama 22 hari saya dirawat di ICCU saya mendapat kehormatan kunjungan beliau tiga kali. Akhlak beliau serupa itu sesuai dengan ajaran Nabi Besar Muhammad saw bahwa, “Jika di antaramu ada yang sakit tengoklah dia, dan jika ada yang wafat  di antaramu antarkanlah dia ke kuburan.”

Bung Hatta adalah milik bangsa Indonesia Bung Hatta adalah milik bangsa Indonesia. Nama yang diberikan oleh ayahnya adalah Athar, artinya wangi-wangian. Secara alamiah beliau benar-benar seorang Aththaar - pembuat, penjual, dan penyebar wangi-wangian. Beliau sudah tiada, namun beliau yang harum menyebarkan wangi semerbak ke mana-mana. Di samping beliau seorang pecinta Al-Qur’an dan agama Islam, beliau adalah penyebar dan pendekar patriotisme, penggembleng nasionalisme berdasarkan demokrasi kerakyatan. Beliau berhasil dalam cita-cita perjoangan bangsanya dan mendapat karunai dari Tuhan menjadi ko-proklamator kemerdekaan bersama rekan perjoangannya, Bung Karno. Kita, 140 juta bangsa Indonesia, sungguh berhutang budi kepada kedua-dua putera utama bangsa Indonesia, Soekarno-Hatta. Semoga Tuhan memberi kesadaran dan taufik kepada bangsa Indonesia yang telah dinaikan derajatnya oleh kedua beliau ke puncak kemuliaan, supaya dapat meneruskan dan mensukseskan cita-cita perjoangan mereka. Semoga Tuhan memberi pahala yang sebesar-besarnya atas jasa-jasa mereka kepada bangsa dan tanah air Indonesia. Satu hal yang patut kita catat ialah, pernah Rasulullah saw bersabda, “Ceriterakanlah yang baik mengenai saudaramu yang meninggal dunia,” maka sesuai dengan ajaran itu setelah Bung Karno wafat, tidak pernah keluar dari mulut Bung Hatta sepatah kata pun yang mengecilkan nama baik dan kehormatan Bung Karno. Suatu sifat yang sungguh patut ditiru oleh setiap mukmin. Pada saat-saat golongan tertentu dan orang-orang vested interest sibuk memalsukan serta menggelapkan sejarah mengenai filsafat negara RI “Pancasila”, maka Bung Hatta dengan tegas dan secara jujur membongkar usaha pemalsuan tersebut dengan menyatakan dan disertai bukti-bukti bahwa Pancasila itu adalah inspirasi pribadi Bung Karno yang dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945 di muka sidang Badan “Dokuritzu Zyunbi Tyoo Sakai” (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan) di bawah pimpinan Ketua Badan tersebut almarhum Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat, dicetuskannya sebagai Filsafat Negara Indonesia Merdeka. Almarhum Bung Hatta pada detik-detik akhir hayatnya pun tetap menunjukkan sikap juur serta korektif mengenai sejarah perjuangan Bangsa Indonesia secara murni. Beliau segera angat suara, untuk membantah hal-hal yang sekiranya sengaja atau tidak sengaja hendak memalsukan sejarah perjuangan Bangsa Indonesia. Bung Hatta tetap berada di tengah-tengah rakyat dengan wasiatnya yang terakhir minta agar beliau dimakamkan di tengah-tengah rakyat jelata. Jasadnya sudah tiada, namun namanya yang harum akan tetap hidup selama bangsa dan tanah air Indonesia ada. Hidup Indonesia! Hidup Soekarno-Hatta! oleh : Sayyid Shah Muhammad al-Jaelani - Mubaligh Ahmadiyah