Tak Setuju dengan Dwifungsi ABRI Suatu sore Jakarta yang ramah. Di rumah Bung Hatta ada acara keluarga untuk selamatan ulang tahun ke-75nya. Baru saat itulah saya benar-benar sempat berkenalan dengan Bung Hatta dan keluarga. Di situ saya melihatnya sebagai bapak dari anak-anak, kakek dari seorang cucu, dan mertua seorang lelaki muda yang ternyata adalah putra dari seorang pendekar pencak-silat yang merupakan sahabat karib saya dalam organisasi pencak-silat. Sahabat itu ialah Soerjohadikoesoemo, yang menjadi korban pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948. Dalam acara ulang tahun di lingkungan keluarga itu, saya melihat seorang Hatta yang agak lain. Ia banyak senyum, begitu renyah, dan ikut tertawa-tawa ketika saya ceritakan bagaimana saya mengundang Soerjohadikoesoemo ke rumah saya di tahun 1046 untuk bertanding silat dengan dia dalam suatu pertarungan yang dihadiri oleh Wongsonegoro, sesepuh organisasi pencak-silat. Istri saya, yang tidak begitu mengenal Bung Hatta seperti saya, berkomentar bahwa image dia tentang Bung Hatta semula adalah orang yang serius, formal. Tapi sore itu dia justru menemui Bung Hatta yang segar dan seorang bapak yang penuh perhatian serta kasih sayang pada anak-anak dan keluarganya. Sebenarnya, Bung Hatta adalah contoh sebuah kesederhanaan. Sekali pernah saya berkunjung ke tempat beliau pada tahun 1972, di siang hari sebenarnya sudah lewat waktu untuk menerima tamu, kata sekretaris beliau, Saudara Hutabarat. Tapi Bung Hatta begitu gembira dan menyambut kunjungan yang tiba-tiba itu. Bahkan di pintu muka ia memeluk saya. Saudara Hutabarat berkomentar bahwa jarang sekali ia melihat sikap Bung Hatta yang “los” seperti itu. Saya katakan bahwa itulah Bung Hatta yang sebenarnya, hanya kadang-kadang karena rasa tanggung jawabnya yang terlalu besar, maka disisihkannya soal-soal dirinya, bahkan juga emosinya, demi tugas yang diterimanya. Siang itu kami banyak mengobrol. Masalah yang sedang hangat adalah soal Dwifungsi ABRI. Ketika saya tanya pendapatnya, Bung Hatta menyatakan bahwa ia merasa tidak cocok dengan hal itu. Agak kaget juga saya mendengar ketegasan beliau. Mengingat pentingnya persoalan itu, maka saya minta izin untuk mencatatnya dan kemudian meminta beliau membubuhkan tanda tangan di bawah pernyataan itu. Bung Hatta meluluskan permintaan saya tersebut. Tetapi saya lebih kaget lagi ketika ia berkata bahwa ia tidak berkeberatan jika umum mengetahui hal itu. Sengaja saya tulis hal ini untuk menunjukkan sisi lain dari pribadi yang lembut. Jika sudah mencapai soal-soal prinsip yang dianggapnya benar, dapat menjadi sekeras baja. A.R. Baswedan, Pribadi Manusia Hatta, Seri 8, Yayasan Hatta, Juli 2002