Manajemen Merek Brand Longevity F.Yayi Amanova, S.IP,M.Soc.Sc
Sebagai kelanjutan dari bahasan Ekuitas Merek pada pertemuan sebelumnya, e-learning kali ini akan membahas mengenai Kelanggengan Merek. Dengan asumsi bahwa merek yang memiliki ekuitas tinggipun tidak berarti jika merek tersebut tidak dapat bertahan / survive dalam persaingan pasar dan perkembangan masyarakat, karena sebuah bisnis bukan merupakan peluang dan target “sekali pakai”, tetapi merupakan target yang menerus.
Membangun dan membesarkan sebuah merek bukan merupakan tujuan akhir dari manajemen merek pada sebuah perusahaan. Kelanggengan sebuah merek (brand longevity) merupakan hal yang sama pentingnya dengan membesarkan merek tersebut. Salah satu ukuran kelanggengan sebuah merek adalah usia merek tersebut beredar di pasaran. Merek yang langgeng juga berperan penting untuk survival perusahaan pada masa krisis, yaitu merek (yang langgeng) masih dapat memberikan keuntungan ketika perusahaan tidak bisa lagi bertahan.
Brand Longevity / Kelanggengan Merek : “keberadaan / eksistensi sebuah merek yang berkesinambungan di pasar relevan” Long-term survival Fandy Tjiptono, 2014
Kelanggengan PERUSAHAAN dan PRODUK berpengaruh pada kelanggengan MEREK, tetapi : Kelanggengan MEREK tidak selalu berpengaruh pada kelanggengan PERUSAHAAN dan PRODUK, karena : MEREK masih dapat bertahan hidup meskipun PRODUK mengalami perubahan / meskipun PERUSAHAAN asalnya mati ataupun berpindah tangan.
Sebagai contoh: Merek AQUA tetap hidup dan menjadi top brand setelah diakuisisi DANONE GROUP, meskipun perusahaan asalnya PT AQUA GOLDEN MISSISSIPI telah mati. Merek SAMPOERNA tetap hidup dan menjadi top brand meskipun telah berpindah tangan ke PHILIP MORRIS. Merek PEPSODENT tetap menjadi top brand setelah produknya berkembang (brand extention) ke produk lain (sikat gigi, mouthwash). Merek LEVI’S tetap mendunia meskipun produknya berkembang (brand extention) ke produk lain selain jeans (T-shirt, kaca mata).
Menurut Tjiptono (2014) hingga saat ini studi tentang kelanggengan merek belum banyak ditelaah, sehingga kelanggengan merek masih belum dapat dipahami sepenuhnya dan menjadi tantangan bagi banyak perusahaan dalam mengupayakan long-term survival mereknya. Tjiptono mengelompokkan empat kategori dominan yang dapat dipelajari dalam melihat / memprediksi kelanggengan sebuah merek, yaitu:
Brand Origin and Ownership : status merek sebagai merek lokal atau merek asing Merek lokal akan lebih langgeng karena lebih dekat dengan budaya dan karakter masyarakat lokal. Dapat juga sebaliknya, yaitu merek asing menjadi aset dalam berbagai situasi : pada negara berkembang banyak terseret dampak globalisasi, masyarakat lokal cenderung lebih meyukai produk dan merek impor (asing) yang menjanjikan.
Merek asing akan mendapat lebih banyak halangan dalam pemasaran diluar negaranya, seperti kebijakan tingkat pajak, subsidi, proteksi dari negara lokal tempat merek tersebut dipasarkan. Ha ini mempengaruhi kelanggenan merek asing diluar negara asalnya. Merek asing akan menjumpai perlakuan yang tidak menguntungkan dari masyarakat lokal yang disebabkan oleh faktor etnosentrisme konsumen yang idealis terhadap produk dan merek lokalnya, atau situasi politik. (Contohnya McD, KFC yang didemo ketika masyarakat menentang tindakan politi AS, Merek Crocs yang diasosiasikan dengan Yahudi oleh masyarakat Muslim).
Brand Architecture (Arsitektur Merek): keterkaitan nama merek dengan perusahaan produsennya. 1. Corporate-Dominant Branding Strategy : semua produk yang ditawarkan menggunakan nama perusahaan sebagai nama merek. Contoh: Google, Sony, LG, Samsung, Nyonya Meneer, dll 2. Product-Dominant Branding Strategy : produk yang ditawarkan diberi nama merek sendiri-sendiri (mono brand). Contoh: Blue band, Pepsodent, Dove, dll
3. Mixed-Branding Strategy : kombinasi antara corporate-dominant dan product-dominant. Contoh : Aqua-Danone, Nestle-Milo, Ketiga strategi merek diatas mempunyai resiko kelanggengan merek yang berbeda-beda, seperti: mono brand akan lebih berpeluang lebih rentan untuk dijual, dieliminasi, dimodifikasi dibanding corporate brand, corporate brand berpeluang lebih langgeng karena asosiasi masyarakat kepada nama besar / reputasi perusahaannya, namun reputasi perusahaan juga dipertaruhkan dalam pemasaran produk berserta mereknya.
Brand Scope : merujuk kepada ruang lingkup / banyaknya kategori produk yang diusung oleh sebuah merek. Merek yang mengalami banyak pengembangan (extension) positif (sesuai dengan identitas dan asosiasi positif merek) akan bertahan lebih lama dibanding merek yang tidak berkembang. Sebuah merek yang diproduksi oleh perusahaan yang mengeluarkan terlalu banyak kategori produk dapat berpeluang menjadi “terlantar” dan akan mempengaruhi potensi kelanggengannya.
Brand Size : merujuk kepada besar-kecilnya pangsa pasar yang dimasuki sebuah merek. Contoh: pangsa pasar Big cola lebih kecil dibanding pangsa pasar Coca-cola, pangsa pasar Adidas lebih besar dibanding pangsa pasar Bata, pangsa pasar Indomi lebih besar dibanding pangsa pasar Sarimi dan Supermi, dll Merek dengan pangsa pasar besar akan lebih langgeng dalam persaingan, merek dengan pangsa pasar kecil akan lebih mudah tersingkir dalam persaingan. Namun, dalam kondisi tertentu merek dengan pangsa pasar kecil dapat lebih langgeng karena memiliki loyalitas konsumen dari pangsa pasarnya.
Secara keseluruhan, kelanggengan merek sangat bergantung pada evolusinya, baik evolusi produk maupun evolusi manajemen nya. Merek yang langgeng adalah merek yang dapat berevolusi sesuai dengan evolusi masyarakat (kebudayaan, kebutuhan, perilaku masyarakat)
“Bagaimana membuat sebuah merek menjadi langgeng?” Pertanyaannya.... “Bagaimana membuat sebuah merek menjadi langgeng?” Akan kita diskusikan bersama pada pertemuan berikutnya melalui studi kasus. Terima Kasih