Sri Juwita Hanum Cukup lama kami menikah, namun belum dikaruniai anak. Dalam soal anak, orang Minangkabau tidak kalah usil mulut seperti orang Jawa. Mereka membuat merah muka saya, bising pula telinga saya. Tiap kali bertemu selalu ditanyakan kepada saya, “Kapan si kecil tiba.” Kadang-kadang dengan nada menuntut. Terasa sial benar jadinya. Tuhan memberi karunia, tibalah saatnya istri saya hamil. Ketika kami sampaikan kepada Bung Hatta kabar itu, senyum kecil beliau mencerminkan kebahagiaannya yang tak terkirakan. Dielusnya kepada Meutia. Sedangkan untuk saya, kebiasaan beliau formal itulah yang nampak, saya hanya mendapat uluran tangan ucapan selamat. Hanum dilahirkan ketika saya sedang bertugas di luar negeri. Perkiraan kelahiran Hanum meleset sedikit. Saya sedang berada di Bucharest, tinggal pada Dubes Soekahar. Kelahiran anak saya telah menyentakkan saya dari tidur, saya memperoleh firasat. Ketika saya ceritakan firasat itu kepada ibu Soekahar, beliau dapat membenarkan bahwa saya harus secepatnya pulang ke Tanah Air. Benarlah, ketika saya mendarat di Halim, Mas Agung yang kebetulan berada di situ, menyalami saya dan merupakan orang pertama yang mengucapkan selamat atas kelahiran anak pertama saya. Saya langsung menuju rumah sakit, saya temui istri saya yang sedang kelihatan menderita sakit atas operasi cesarnya. Keluarga semua di situ. Seperti biasa Bung Hatta menyalami saya dengan gaya formal. “Selamat Edi, atas kelahiran si kecil.” Namun kemudian kelihatan pada muka Bung Hatta apa yang tersembunyi di balik hati kecil beliau, emosi kebahagiaannya, bahkan mungkin kebanggaannya sebagai kakek baru pada usia 73 tahun, ” Ayah sudah bisikkan Allahu Akbar di telinganya, tiga kali, seperti Edi pesankan kepada Ayah.” Sebelum saya tiba, ketika itu Bung Hatta telah membicarakan nama untuk si cucu ini. “Sri Duwit bukan nama yang baik,” kata beliau. Beliau khawatir, benar-benar saya memberi nama atau panggilan Sri Tuit untuk anak saya, sebagaimana sering saya kelakarkan. Nama ini kedengarannya bagi Bung Hatta sebagai Sri Duwit. “Ratna Juwita adalah nama indah untuk seorang anak perempuan,” kata beliau kepada Meutia. Akhirnya jadilah namanya Sri Juwita Hanum. Sri dari ibu saya, Juwita dari Bung Hatta dan Hanum dari istri saya yang kagum akan tokoh Islam Halidedib Hanoum. Nama Halide telah diambil oleh Bung Hatta untuk adik Meutia, sekarang Hanoumnya diambil Meutia untuk anaknya. Kami tahu betapa cucu ini berarti sekali untuk Bung Hatta, kami menghibur beliau dengan membawa Hanum datang ke Jalan Diponegoro. Boleh dikatakan hampir tiap hari, sejak Hanum belum dapat tengkurap sendiri sampai pada saat-saat terakhir Bung Hatta. Jika ia datang kepada kakeknya (yang dipanggilnya Datuk), selalu disambut oleh sang Datuk dengan kata-kata, “Uik, Hanum manis.” Lalu diciumnya anakku itu. Mengenai hal cucu, saya kira Bung Hatta tidak banyak berbeda dengan orang lain. Belum pernah saya melihat Bung Hatta marah sampai membentak, kecuali sekali itu kepada saya, yaitu ketika saya sedang memarahi Hanum yang nakal, sampai anak ini menangis. Ibu Rahmi pun tidak akan bisa lupa akan kemarahan Bung Hatta itu. Saya masih ingat, betapa sang Datuk dekat kepada cucu pertama ini. Ketika Bung Hatta sakit keras pada tahun1976, beliau mengigau, “Ayah dan Juwita mau ke Jeddah, Ayah akan bawa dia ke Jeddah.” Itulah sebabnya saya bawa Hanum ikut Umrah baru-baru ini selepas 40 hari wafatnya Bung Hatta. Saya bawa pesan beliau empat tahun yang silam, siapa tahu igauan beliau itu keluar dari bawah sadar beliau, ungkapan kasih sayang beliau kepada turunannya, saya akan bermakna bagi dunia akhiratnya. Saya umrahkan anakku ini, kutuntun, terkadang kupanggul sewaktu thawaf. Saya amati betul apakah pada setiap putaran ia sempurna membaca Robbanaa aatinaafiddun-ya hasanatan wafil-aakhirati hasanatan waqinaa ‘azaabannaar. Ia pun kami ajari duduk bersimpuh di depan makam Ibrahim a.s. membaca Al Fatihah yang telah ia hafal luar kepala sejak ia berumur dua tahun, untuk arwah datuknya. Kuciumi anakku di situ di depan Ka’abah, keluar dari mulutku, “Ya Allah, jadikan anakku manusia yang soleh, manusia yang berguna untuk agama, negara, dan bangsanya.” Semenjak Hanum belum lahir pun, telah disiapkan oleh datuknya setumpuk buku bacaan, tiga kotak besar, lebih dari 200 buku. Banyak di antaranya terbitan almarhum Pak Oejeng. Tidak ketinggalan sebuah kamus bahasa Indonesia karangan Poerwodarminto ditulis dan ditandatangani beliau “untuk cucunda Hanum”. Itu semua sebenarnya adalah kebahagiaan saya, bahwa saya telah membahagiakan mertua saya yang sangat saya sayangi dan hormati. Sri- Edi Swasono, Pribadi Manusia Hatta, Seri 3, Yayasan Hatta, Juli 2002