Bilingualisme dan Diglosia
Bilingualisme Menurut Mackey (1962) dan Fishman (1975), bilingualisme (bilingualism) adalah pemakaian dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian. Adapun orang yang menggunakan dua bahasa tersebut disebut dengan bilingual (dwibahasawan), sedangkan kemampuan untuk menggunakan kedua bahasa disebut dengan bilingualitas.
Menurut Dittmar (1976), pengertian bilingualisme di atas menimbulkan beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan: a. sejauhmana tingkat kemampuan bahasa kedua seseorang sehingga dia bisa disebut bilingual? Seorang bilingual yang mampu menggunakan bahasa ibu dan bahasa keduanya dengan baik disebut dengan ambilingual (Halliday dalam Fishman 1968), ekuilingual (Oksaar dalam Sebeok 1972), koordinat bilingual (Diebold dalam Hymes 1964).
b. Apakah yang dimaksud bahasa dalam bilingual (langue, kode, dialek, sosiolek)? Bloomfield (1933) menyatakan bahwa bilingualisme adalah kemampua seorang penutur untuk menggunakan dua bahasa secara sama baiknya. Menguasai dua bahasa berarti menguasai dua sistem kode. Dengan demikian, bahasa dalam hal ini bukan langue, tetapi parole yang berupa berbagai macam dialek dan ragam.
catatan Kode adalah (1) bahasa manusia, (2) sistem bahasa dalam suatu masyarakat, (3) variasi tertentu dalam suatu bahasa. Dialek adalah variasi bahasa yang dipakai oleh kelompok masyarakat dalam wilayah tertentu (regional), atau golongan masyarakat tertentu (sosial), atau kelompok masyarakat dalam waktu tertentu (temporal)
Mackey (1962) mengatakan bahwa bilingualisme adalah praktik penggunaan dua bahasa secara bergantian. Dalam hal ini yang dimaksud bahasa oleh Mackey adalah sama dengan langue. Menurut Weinrich (1968), menguasai dua bahasa berarti menguasai dua sistem kode, dua dialek atau ragam dari bahasa yang sama.
Catatan: Ragam (bahasa) (register, manner of discourse) adalah variasi bahasa menurut pemakaian yang berbeda-beda menurut topik yang dibicarakan, hubungan pembicara, mitra tutur, dan orang yang dibicarakan menurut, dan menurut media pembicaraan. Ragam: kesusastraan, lisan, tulis, resmi, santai, pidato, puitis, standar
Haugen (1968) mengemukakan bahwa penguasaan dua dialek dari bahasa yang sama dimasukkan ke dalam bilingualisme.
c. Kapan penggunaan kedua bahasa itu secara bergantian? Penutur bilingual menggunakan bahasa ibu atau bahasa kedua sesuai dengan konteks situasi dan kebutuhannya. Hal ini sesuai dengan konsep sosiolinguistik siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, dan dengan tujuan apa.
d. Sejauhmana bahasa ibu dapat mempengaruhi bahasa kedua atau sebaliknya? Hal tersebut berkaitan dengan kefasihan penutur bilingual dalam menggunakan dua bahasa. Biasanya penguasaan bahasa ibu lebih baik karena dipelajari sejak kecil dalam keluarga, baru kemudian mempelajari bahasa kedua. Penguasaan bahasa ibu yang lebih baik dan sering digunakan ini sangat memungkinkan penggunaan bahasa ibu penutur bilingual akan mempengaruhi bahasa keduanya.
Akan tetapi, jika bahasa ibu jarang digunakan dan terus menerus bahasa kedua yang digunakan maka kemungkinan besar bahasa kedua akan mempengaruhi bahasa ibu.
e. Apakah bilingualisme berlaku untuk perseorangan atau sekelompok masyarakat tutur? Menurut Mackey (1968), bilingualisme bukan merupakan gejala bahasa, melainkan sifat penggunaan bahasa yang dilakukan penutur bilingual secara bergantian. Oleh karenanya bilingualisme itu milik individu-individu para penutur karena penggunaan bahasa secara bergantian oleh penutur bilingual mengharuskan adanya dua masyarakat tutur. Mackey menambahkan bahwa bilingualisme bukan bagian dari langue, tetapi bagian dari parole.
Berbeda dengan Mackey, Oksaar (1972) berpendapat bahwa bilingualisme bukan hanya milik individu, tetapi juga milik kelompok. Karena bahasa itu penggunaannya tidak terbatas pada antara individu dan individu saja, tetapi bahasa juga digunakan untuk berkomunikasi antarkelompok.
Oleh karena itu, bahasa juga dapat digunakan untuk menunjukkan identitas kelompok. Misalnya: di Belgia digunakan dua bahasa, Belanda dan Perancis sebagai bahasa resmi negara. Di Tunis digunakan dua bahasa, Arab dan Perancis. Oleh karena itu, negara Belgia dan Tunis adalah negara yang bilingual.
Wolf (1974) mengatakan bahwa salah satu ciri bilingualisme adalah digunakannya dua bahasa atau lebih oleh seorang atau kelompok orang dengan tidak ada peranan tetentu dari kedua bahasa itu. Ini berarti bahwa kedua bahasa tersebut dapat digunakan kepada siapa saja, kapan saja, di mana saja, dan dalam situasi bagaimana saja. Pemilihan bahasa mana yang harus digunakan tergantung pada kemampuan penutur dan mitra tuturnya.
DIGLOSIA
Pengertian Diglosia Menurut Ferguson (1959), diglosia adalah suatu situasi kebahasaan yang relatif stabil dimana terdapat sejumlah dialek-dialek utama dari satu bahasa, terdapat juga ragam yang lain.
dialek-dialek utama itu bisa berupa sebuah dialek standar atau sebuah dialek regional. Ragam lain itu memiliki ciri: (a) sudah terkodifikasi, (b) gramatikalnya sudah kompleks, (c) merupakan wahana kesusastraan tertulis, (d) dipelajari melalui pendidikan formal, (e) tidak digunakan untuk percakapan sehari-hari.
Kriteria Diglosia a. Fungsi Menurut Ferguson (1959), dalam masyarakat diglosis terdapat dua variasi dari satu bahasa. Variasi pertama disebut dengan dialek T dan yang kedua disebut dialek R. Dalam bahasa Arab, bahasa al-qur’an (bahasa Arab Fusha) merupakan dialek T, sedangkan dialek R –nya adalah berbagai macam dialek yang dipakai oleh bangsa Arab yang disebut bahasa Arab ‘amiyyah atau ad-darijah.
Distribusi fungsional dialek T dan dialek R berarti bahwa ada situasi di mana hanya dialek T atau R itu digunakan. Fungsi T untuk situasi resmi dan formal sedangkan R pada situasi informal dan santai. Penggunaan T dan R yang tidak sesuai dengan situasi akan menyebabkan penuturnya mendapat cemoohan, ejekan, atau tertawaan orang lain.
b. Prsetise Dalam masyarakat diglosis, para penutur biasanya menggunakan dialek T yang dianggap lebih bergengsi, lebih superior, lebih terpandang, dan merupakan bahasa yang logis; dan dialek R dianggap sebaliknya bahkan ada yang menolak eksistensinya. Banyak pakar bahasa Arab yang menyarankan agar bahasa Arab ‘amiyyah tidak perlu digunakan. Anjuran ini sebetulnya kurang tepat karena T dan R mempunyai fungsi sendiri-sendiri.
c. Warisan sastra Ragam T merupakan ragam yang digunakan dan dihormati oleh masyarakat penuturnya. Oleh karena itu, karya sastra Arab kontemporer maupun klasik ditulis dengan T walaupun dalam perkembangannya dewasa ini terdapat karya sastra Arab kontemporer yang di dalamnya terdapat beberapa istilah dengan menggunakan dialek R. Tradisi kesusastraan yang selalu ditulis dengan ragam T menyebabkan kesusatraan itu menjadi asing dari masyarakat penuturnya.
d. Pemerolehan Ragam T diperoleh dari pendidikan formal, sedangkan R diperoleh dari pergaulan dengan keluarga dan teman sepergaulan. Dalam masyarakat diglosis banyak orang terpelajar yang menguasai dengan baik kaidah-kaidah T, tetapi mereka tidak lancar menggunakan ragam tersebut. Ada sementara pendapat yang mengatakan bahwa bahasa Arab ad-darijah tidak mempunyai tatabahasa.
e. Standardisasi Karena ragam T dianggap sebagai ragam yang bergengsi, maka standardisasi perlu dilakukan terhadap ragam T melalui kodifikasi formal. Kamus, tatabahasa, petunjuk pelafalan, dan buku-buku kaidah untuk penggunaan yang benar ditulis untuk ragam T. Sebaliknya, ragam R kadang tidak pernah diurus dan diperhatikan.
f. Stabilitas Kestabilan dalam masyarakat diglosis biasanya telah berlangsung lama di mana ada sebuah variasi bahasa yang diperhatikan eksistensinya dalam masyarakat itu. Perbedaan penggunaan ragam T dan R dalam masyarakat diglosis kadang sering ditonjolkan karena adanya perkembangan bentuk-bentuk campuran yang memiliki ciri-ciri ragam T atau R. Borrowing unsur leksikal unsur T dalam R sudah biasa, tetapi penggunaan unsur leksikal R ke T jarang sifatnya.
g. Gramatika Ragam T dan R dalam masyarakat diglosis merupakan variasi dari bahasa yang sama, tetapi dalam gramatika ternyata terdapat perbedaan. Dalam bahasa Arab Fusha ada tiga penanda kasus untuk nomina dan empat penanda kasus untuk verba. Akan tetapi, dalam bahasa Arab ‘amiyah tidak demikian dan sering terjadi perbedaan serta perubahan.
h. Leksikon Sebagaian besar leksikon T dan R adalah sama, tetapi ada kosa kata T yang tidak ada pasangannya pada R, atau sebaliknya. Ciri yang menonjol pada diglosia adalah adanya kosa kata yang berpasangan. Misalnya: ‘Apakah’ ما ma (AF) إيهih (AA) ‘hidung’ أنفanfun (AF) منخر manakhir (AA) ‘sekarang’ الآنal-an (AF) دالوقت dilwa’t (AA) Dll.
i. Fonologi Sistem bunyi ragam T dan R pada dasarnya merupakan sistem tunggal. Sistem fonologi T merupakan sistem dasar, sedangkan fonologi R yang beragam merupakan subsistem dari sistem T.
شكرا علي اهتمامكم