Persepsi Interpersonal dan Atribusi
PENGERTIAN ATRIBUSI Atribusi adalah proses menyimpulkan motif, maksud, dan karakteristik orang lain dengan melihat pada perilakunya yang tampak (Baron dan Byrne, 1979). Mengapa manusia melakukan atribusi? Menurut Myers (1996), kecenderungan memberikan atribusi disebabkan oleh kecenderungan manusia untuk menjelaskan segala sesuatu (ada sifat ilmuwan pada manusia), termasuk apa yang ada di balik perilaku orang lain.
NAÏVE PSYCHOLOGY Menurut Fritz Heider yang terkenal sebagai tokoh psikologi atribusi, dasar untuk mencari penjelasan mengenai perilaku orang adalah akal sehat (commonsense). Orang tidaklah memerlukan suatu analisis psikologi yang mendalam tentang motivasi seseorang melakukan suatu hal. Heider pun menyebutnya Naïve Psychology. Secara akal sehat, ada dua golongan yang menjelaskan suatu perilaku. Pertama, yang berasal dari orang yang bersangkutan (atribusi internal), seperti suasan hati, kepribadian, kemampuan, kondisi kesehatan atau keinginan. Kedua, yang berasal dari lingkungan atau luar diri orang yang bersangkutan (atribusi eksternal), seperti tekanan dari luar, ancaman, keadaan cuaca, kondisi perekonomian ataupun pengaruh lingkungan.
Misalnya, seseorang mahasiswa memperoleh IP jelek Misalnya, seseorang mahasiswa memperoleh IP jelek. Penyebabnya dapat saja karena mahasiswa tersebut malas, tidak pernah belajar atau bodoh (atribusi internal) mengalami kesulitan ekonomi atau cara mengajar dosen yang kurang menarik baginya (atribusi eksternal). Faktor-faktor internal atau eksternal yang menjadi penyebab perilaku orang juga dapat dilihat dari dimensi apakah factor tersebut stabil (stable, tetap) atau sebaiknya tidak stabil (unstable, tidak tetap). Misalnya, tingkat intelegensi seseorang adalah factor internal yang stabil, sementara suasana hatinya merupakan factor internal yang tidak stabil atau bisa berubah.
TEORI-TEORI ATRIBUSI Berikut akan Anda pelajari dua teori atribusi yang penting untuk Anda ketahui. Correspondent Inference Theory (Teori Penyimpulan Terkait) Teori ini berfokus pada orang yang dipersepsikan. Teori ini sendiri dikembangkan oleh Edward E. Jones dan Keith Davis (1965). Mereka mengatakan bahwa dalam menjelaskan suatu kejadian tertentu, kita akan mengacu pada tujuan atau keinginan seseorang yang sesuai dengan sikap atau perilakunya.
Causal Analysis Theory (Teori Analisis Kausal) Teori ini merupakan teori atribusi yang lebih terkenal. Dasarnya adalah tetap commonsense (akal sehat) dan berfokus pada atribusi internal dan eksternal. Teori ini dikembangkan oleh Harold H. Kelly. Menurut Kelley, para pengamat perilaku orang lain bertindak seperti ilmuwan yang naïf, mengumpulkan berbagai informasi tentang perilaku dan menganalisis polanya supaya bisa dimengerti. Dari kesimpulan yang diperoleh, pengamat menentukan atribusi apa yang harus dilakukan. Tidak seperti teori sebelumnya, dalam teori ini, suatu perilaku orang bisa menimbulkan perilaku lain sebagai sebab-akibatnya.
Menurut teori ini, ada beberapa hal yang membuat seseorang mencari penyebab terjadinya sesuatu; diantaranya: Kejadian yang tidak terduga Stimuli yang paling umum terjadi adalah kejadian-kejadian yang tidak terduga yang dialami manusia setiap hari. Misalnya, rencana liburan bersama keluarga yang sudah dipersiapkan jauh hari sebelumnya tiba-tiba harus dibatalkan karena alasan tertentu. Kejadian negative Hal ini berhubungan dengan motivasi hedonic (hedonic motives), yaitu suatu keinginan untuk menghindari persaan sakit dan menciptakan kepastian dalam diri. Kejadian ekstreem Kita akan lebih sering menanyakan “mengapa ini terjadi?” saat ada kejadian, seperti terkena bencana alam, kecelakaan, mengidap penyakit berbahaya, menjadi korban kejahatan atau mungkin mengalami perpecahan dalam keluarga. Dalam beberapa hal, proses mencari sebab itu merupakan bagian dari tahap penyembuhan dan pemulihan diri.
Sikap ketergantungan Anak-anak akan memberikan perhatian dan lebih memikirkan mengapa orang tua mereka melakukan perilaku tertentu. Hal ini tentu karena orang tua memiliki pengaruh besar dalam kehidupan seorang anak dan anak itu amat tergantung padanya. Sama seperti seorang pelajar yang berusaha mencari tahu apa yang diprioritaskan gurunya. Mempertahankan schemata Skemata merupakan serangkaian ide tentang pengalaman dan kejadian-kejadian. Saat kita menemukan suatu informasi baru yang mengganggu schemata kita, kita akan berusaha keras untuk menganalisis dan memahaminya. Kita biasanya akan berusaha untuk menyelesaikan informasi baru itu dengan schemata sebelumnya yang sudah ada dan cenderung untuk tidak mengubah skema itu.
Teori Analisi Kausal menyebutkan ada tiga hal yang perlu diperhatikan untuk menetapkan apakah suatu perilaku beratribusi internal atau eksternal. • Konsensus • Konsistensi • Distingsi atau kekhasan
BIAS-BIAS DALAM ATRIBUSI (ATTRIBUTIONAL BIASES) Dalam menganalisis suatu perilaku tertentu, kita tentunya menemukan beberapa bias atau kesalahan sebagai bentuk lain dari kognisi social. Ada dua jenis bias dalam atribusi: Bias Kognitif (Cognitif Biases) Disini disebutkan bahwa atribusi merupakan suatu proses yang rasional dan logis. Teori atribusi mengatakan bahwa manusia mengolah informasi dengan cara yang rasional sehingga bisa memperoleh informasi yang benar-benar objektif dan kesimpulan yang diambil juga sifatnya objektif. Meskipun begitu, para peneliti mengungkapkan bahwa pada dasarnya manusia adalah makhluk yang jarang menggunakan logikanya.
2. Bias Motivasi (Motivational Biases) Bias motivasi yang sering muncul adalah apa yang disebut pengutamaan diri sendiri (self-serving bias). Isitah ini sendiri menjelaskan atribusi yang menekannkan pada ego atau mempertahankan kepercayaan diri sendiri. Setiap orang cenderung membenarkan diri dan menyalahkan orang lain. Misalnya, saat memperoleh nilai A dan B pada 4 mata kuliah di semester lalu, kita akan beranggapan bahwa hal itu memang disebabkan karena kita mampu dan berusaha keras memperolehnya. Sementara saat ada nilai C, D atau bahkan E untuk mata kuliah yang lain, kita lalu akan menyebut faktor eksternal seperti soal ujian yang susah, sedang tidak beruntung atau tugas yang terlalu sulit untuk dikerjakan. Jadi, memang kesuksesan dalam diri akan merunjuk pada faktor internal kita, sementara kegagalan akan disebabkan pada faktor eksternal.
ATRIBUSI TENTANG DIRI (SELF) Hal ini tentunya juga berhubungan dengan atribusi disposisi dan situasional yang ada. Saat kita bisa mengenal dan memahami dengan baik faktor-faktor eksternal yang mendorong kita melakukan suatu hal,kita bisa dengan mudah menyebutnya sebagai tindakan yang didasarkan pada atribusi eksternal dan situasional. Sebaliknya, saat faktor eksternal itu tidak ada, berarti atribusi disposisi (internal) bisa lebih menjelaskan perilaku kita. Pendekatan ini memberikan pemahaman tentang persepsi diri mengenai sikap, motivasi, dan emosi.
Sikap Telah banyak penelitian yang menunjukan bahwa seseorang memikirkan sikap mereka sendiri melalui intropeksi, dengan melihat kembali berbagai pemikiran dan perasaannya secara sadar. Padahal, manusia memperoleh informasi yang amat minim dan ambigu tentang kondisi internalnya (dalam diri). Oleh karenanya, yang dilakukan manusia adalah mencoba menilai sikap kita sendiri dengan mengamati perilaku yang kita tampilkan.
Motivasi Dalam elemen ini, manusia cenderung mau melakukan sesuatu dengan ganjaran atau imbalan tinggi. Ini berarti, manusia memiliki atribusi eksternal dalam melakukan suatu hal. “Saya mau melakukannya karena saya dibayar tinggi untuk itu”. Sementara melakukan hal yang sama dengan ganjaran atau imbalan yang sedikit atau lebih rendah akan membuat manusia memiliki atirbusi internal. “Saya tidak akan mau melakukannya karena saya memang menyukai atau menikmatinya.”
Emosi Para peneliti mengatakan bahwa pada dasarnya manusia mengenal apa yang dirasakan dengan cara mempertimbangkan atau memahami keadaan psikologi, mental, dan berbagai dorongan eksternal yang menyebabkan hal itu terjadi. Stanley Schachter (1962) pernah melakukan penelitian tentang persepsi diri dengan pendekatan emosional. Ia mengatakan bahwa persepsi dari emosi kta tergantung dari (1) derajat rangsangan psikologi yang kita alami, dan (2) label kognitif yang kita gunakan, seperti “marah” atau “senang”.
TERIMA KASIH