Perihal Menjalankan Putusan Hakim (Eksekusi)
Pelaksanaan putusan dan cara pelaksanaannya Cara melaksanakan putusan hakim diatur dalam pasal 195 sampai dengan pasal 208 H.I.R sehubungan dengan hal ini dikemukakan, bahwa pasal 209 sampai dengan pasal 222 H.I.R sesungguhnya juga mengatur perihal cara pelaksanaan putusan, khususnya perihal sandra akan tetapi pasal-pasal tersebut berdasarkan surat edaran Mahkamah Agung No. 04/1975 tertanggal Desember 1975 dibekukan, artinya tidak dilakukan dalam praktek, makahkamah agung berpendapat, bahwa bertentangan dengan salah satu sila dari dasar falsafah Negara Indonesia, ialah dengan sila perikemanusiaan, salah satu Sila dari Pancasila.
Ada 3 macam eksekusi yang dikenal oleh hukum Acara Perdata: Eksekusi sebagaimana yang diatur dalam pasal 196 H.I.R dan seterusnya, di mana seseorang dihukum untuk membayar sejumlah uang. Eksekusi sebagaimana diatur dalam pasal 225 H.I.R di mana seseorang dihukum untuk melaksanakan suatu perbuatan. Eksekusi riil, yang dalam praktek banyak dilakukan akan tetapi tidak diatur dalam H.I.R
ad (a): Eksekusi yang diatur dalam pasal 196 H.I.R dan seterusnya. Apabila seorang enggan untuk dengan sukarela memenuhi isi putusan di mana ia dihukum untuk membayar sejumlah uang, maka jika sebelum putusan dijatuhkan telah dilakukan sita jaminan, maka sita jaminan itu dinyatakan sah dan berharga, secara otomatis menjadi sita eksekutorial. Jika sebelumnya belum pernah dilakukan sita jaminan, maka eksekusi dimulai dengan mensita sekian banyak barang-barang bergerak, dan apabila diperkirakan masih tidak cukup, juga dilakukan terhadap barang tidak bergerak milik pihak yang dikalahkan sehingga cukup untuk memenuhi pembayaran sejumlah uang yang harus dibayar menurut putusan beserta biaya- biaya yang timbul sehubungan dengan pelaksanaan putusan tersebut.
Dalam Hukum Acara Perdata ada 2 macam sita eksekutorial, yaitu: Sita Eksekutorial sebagai kelanjutan dari sita jaminan; Sita Eksekutorial yang dilakukan sehubungan dengan eksekusi karena sebelumnya tidak ada sita jaminan. Mengenai cara melakukan penjualan barang- barang yang disita diatur dalam Pasal 200 H.I.R., yang pada pokoknya berisi yaitu diantaranya: Penjualan dilakukan dengan pertolongan Kantor Lelang; Penyimpangan terhadap azas tersebut jika pelelangan dilakukan untuk membayar sejumlah uang yang kurang dari Rp. 300,- boleh oleh juru sita saja;
Urut-urutan barang yang akan dilelang ditunjuk oleh yang terkena lelang jika ia mau; Jika jumlah yang harus dibayar menurut putusan dan biaya pelaksanaan putusan telah tercapai, maka pelalangan segera dihentikan. Barang-barang selebihnya segera dikembalikan kepada yang terkena lelang; Sebelum pelalangan, terlebih dahulu harus diumumkan menurut kebiasaan stempat dan baru dapat dilakukan 8 hari setelah pensitaan;
Ketentuan Pasal 201 sampai dengan pasal 205 H. I Ketentuan Pasal 201 sampai dengan pasal 205 H.I.R mengatur tentang cara bagaimana pelaksanaan harus dilakukan apabila dalam waktu yang bersamaan diajukan untuk melaksanakan dua putusan atau lebih terhadap orang yang sama. Sehubungan dengan hal itu diperhatikan ketentuan pasal 224 H.I.R yang berbunyi sebagai berikut: - Surat grosse daripada akta hipotik dan surat utang yang, dibuat di hadapan Notaris Indonesia dan yang kepalanya memakai “Atas Nama Keadilan” berkekuatan sama dengan Putusan Hakim. Jika surat yang demikian itu tidak ditepati dengan jalan damai, maka perihal menjalankannya dilakukan dengan perintah dari Pimpinan Ketua Pengadilan Negeri, yang dalam pegangannya orang yang berhutang itu diam atau tinggal atau memilih kedudukannya, yaitu secara dinyatakan pada pasal di atas ini dalam bagian ini,
Akan tetapi dengan pengertian, bahwa paksa badan itu hanya boleh dilakukan, jika sudah diizinkan dengan putusan hakim. Jika hal melakukan putusan hakim itu harus dijalankan sama sekali atau sebagiannya diluar daerah hukum Pengadilan Negeri, yang ketuanya menyuruh melakukan itu, maka diturutlah peraturan pada pasal 195 ayat kedua dan yang berikutnya. ad (b): Eksekusi yang diatur dalam Pasal 225 H.I.R - Pasal 225 H.I.R tersebut diatas terletak di bagian keenam dari H.I.R., yang mengatur tentang “Beberapa hal menjadi perkara yang Istimewa”.
Ketentuan Pasal 225 H.I.R berbunyi sebagai berikut: jika seorang yang dihukum akan melaksanakan suatu perbuatan, tidak melakukan perbuatan itu dalam waktu yang ditentukan oleh hakim, maka bolehlah pihak yang dimenangkan dalam putusan hakim itu, meminta kepada pengadilan negeri, dengan pertolongan ketuanya, baik dengan surat, baik dengan lisan supaya kepnetingan yang akan didapatnya, jika keputusan itu diturut, dinilai dengan uang yang banyaknya harus diberitahukannya dengan tentu, jika permintaaan itu dilakukan dengan lisan, maka hal itu harus dicatat.
Pengadilan Negeri, sesudah diperiksa atau dipanggil orang yang itu dengan patut, maka sebagaimana menurut pendapat Pengadilan Negeri, permintaan itu ditolak atau dinilai harga perbuatan yang diperintahkan, tetapi yang tiada dilakukan itu sebesar jumlah yang kurang daripada itu, dalam hal jumlah itu ditetapkan, maka orang yang berutang itu dihukum akan membayar jumlah itu. - Pasal tersebut di atas mengatur pelaksanaan putusan Hakim di mana seorang dihukum untuk melakukan sesuatu perbuatan, misalnya memperbaiki pagar, saluran air, yang dirusak olehnya, memasang kembali pipa gas yang karena salahnya telah diangkat dan sebagainya.
- Menurut pasal 225 H.I.R yang dapat dilakukan adalah menilai perbuatan yang haus dilakukan oleh tergugat dalam jumlah uang. Tergugat lalu dihukum untuk membayar sejumlah uang sebagai pengganti daripada pekerjaan yang ia harus lakukan berdasarkan putusan hakim. Yang menilai besarnya penggantian ini adalah Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
ad(c). Eksekusi Riil Perihal eksekusi riil ini tidak diatur dalam H.I.R. Ketentuan Pasal 200 (1) H.I.R., yang mengatur tentang lelang menyebutkan eksekusi riil. Meskipun eksekusi riil ini tidak diatur secara seksama dalam H.I.R., namun eksekusi riil ini sudah lazim dilakukan, karena dalam praktek sangat diperlukan. Ketentuan pasal 1033 R.V yang mengatur perihal eksekusi riil berbunyi sebagai berikut: “ jika putusan hakim yang memerintahkan pengosongan sautu barang yang tidak bergerak, tidak dipenuhi oleh orang yang dihukum, maka ketua akan memerintahkan dengan surat kepada seorang jurista supaya dengan bantuannya alat kekuasaan Negara, barang itu dikosongkan oleh orang yang dihukum serta keluarganya dan segala barang kepunyaannya”.
Masalah putusan yang dapat dilaksanakan terlebih dahulu Masalah putusan yang dapat dilaksanakan terlebih dahulu. Peraturannya terdapat dalam pasal 180 H.I.R yang berbunyi sebagai berikut: Biarpun orang membantah putusan Hakim Pengadilan Negeri atau meminta apel, maka Pengadilan Negeri itu boleh memerintahkan supaya putusan hakim itu dijalankan dahulu, jika ada surat yang sah suatu surat tulisan yang menurut peraturan tentang hal itu boleh diterima sebagai bukti, atau jika ada putusan hukuman lebih dahulu dengan putusan hakim yang sudah menjadi tetap, demikian pula jika dikabulkan tuntutan dahulu, lagi pula tentang perselisihan tentang hak milik. Akan tetapi hal menjalankan dahulu putusan hakim itu sekali-kali tidak boleh diluaskan kepada penyanderaan.
Sehubungan dengan masalah ini pernah dikeluarkan 3 surat edaran Mahkamah Agung S.E.M.A. No. 13/1964, tetanggal 10 Juli 1964 dan S.E.M.A No. 5/1969 tertanggal 2 Juni 1969, menginstruksikan agar sedapat-dapatnya putusan dengan ketentuan dapat dilaksanakan terlebih dahulu jangan dijatuhkan, apabila terlanjur telah dijatuhkan, agar sedapat- dapatnya jangan dilaksanakan, sebelum putusan tersebut memperoleh kekuatan yang tetap,. Dalam hal perlawanan pihak ketiga adalah merupakan wewenang Ketua Pengadilan Negeri untuk menagguhkan pelaksanaan atau tidak juga dalam hal ada bantahan dari orang yang kena eksekusi (lihat pasal 129 ayat 4 jo. Pasal 207 ayat 3 jo. Pasal 208 ayat 1 H.I.R).
Pengadilan tinggi dapat memberikan putusan dengan ketentuan dapat dilaksanakan terlebih dahulu, meskipun terhadapnya diajukan kasasi. Kasasi adalah upaya hukum yang biasa, sehingga pada umumnya menangguhkan eksekusi. Bagaimana apabila putusan yang telah dijatuhkan dengan ketentuan dapat dilaksanakan, kemudian ternyata dalam taraf banding atau kasasi dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung, maka segala sesuatu harus dikembalikan kepada keadaan semula, artinya sebelum dilaksanakan. Apabila telah terlanjur barang-barang pihak tergugat telah dilelang akan sukar juga untuk “mengembalikan kepada keadaan semula” Pada dewasa ini, oleh karena sandera masih tetap dilarang untuk diberlakukan, maka ayat 2 dari pasal 180 H.I.R tidak berarti lagi.
Thank’s