Manusia dan Kehendak
Manusia tidak hanya berpikir tapi juga berkehendak Manusia tidak hanya berpikir tapi juga berkehendak. Dengan demikian antara pikiran dan kehendak adalah sesuatu yang terpisah. Sebagaimana Freud memisahkan Id dengan Ego misalnya. Tapi ada yang mengatakan bahwa kehendak sesungguhnya di dalamnya telah melibatkan aktivitas berpikir. Dari situ, manakah satu di antara di antara dua aspek tadi yang menjadi penopang Ada manusia, berpikir ataukah berkehendak? Atau, keduanya? Adakah aspek kesadaran [baca: berpikir] mensubordinasi aspek ketaksadaran [baca: berkehendak], atau sebaliknya?
Kehendak Menurut Schopenhauer Arthur Schopenhaeur adalah filsuf yang terkenal dengan pesimismenya. Ia lahir di Danzig, Jerman, dibesarkan sebagai anak saudagar kaya. Perkenalannya dengan karya Plato dan Kant membawa dirinya akrab dengan filsafat. Menurutnya, kita harus hidup dahulu baru kemudian berfilsafat. Yang cukup mendasar dari pemikiran Schopenhauer adalah bahwa dasar untuk Ada adalah tidak lagi rasional, melainkan irasional, tidak berbentuk kesadaran, melainkan ketidaksadaran. Pemikirannya ini menyanggah Hegel dengan rasionalitasnya yang memandang segala Ada sebagai yang rasional, bermakna dan dapat dimengerti. Oleh karena itu, bagi Hegel, dunia yang ada merupakan penyelenggaraan yang rasional, bernilai dan sebagai sesuatu yang baik. Dengan demikian, Hegel memang dunia secara optimistic.
Akan tetapi, oleh Schopenhauer, pandangan Hegel yang demikian optimistic dianggap “over dosis” sehingga ia dianggap menutup-nutupi atau tidak mau menguak sisi gelap dari kehidupan manusia. Apa yang dimaksud dengan sisi gelap manusia ini? Tak lain adalah irasionalitas manusia sebagai usaha yang buta, yang selanjutnya disebut sebagai Kehendak. Schopenhauer dalam meneropong bahwa dunia manusia adalah kelam adanya bukanlah tanpa dasar. Sebab, sebagaimana filsuf lainnya, ia memandang semua itu dari gejala atau fenomen-fenomen ketidakberesan, kesengsaraan dan penderitaan yang terjadi di dunia. Ketidakberesan itu misalnya menyebarnya wabah, bencana, peperangan dan kemiskinan. Sehingga, bila seseorang merasa telah hidup bahagia, itu tak lebih dari tiadanya penderitaan untuk sementara.
Dunia begitu kejam dan jahat Dunia begitu kejam dan jahat. Karena, yang dirasakan setiap manusia sejatinya adalah melulu penderitaan. Sekarang, jika yang menggejala di dunia adalah ketidakberesan dan pertikaian, maka dasar dari adanya manusia dan dunia sejatinya adalah ketidakarifan, irasionalitas, atau ketakmengertian. Implikasi dari pandangan seperti itu adalah bahwa dasar adanya dunia atau manusia tidak dapat dipahami sebagai roh, ide atau rasio, melainkan gairah, naluri yang buta dan irasional sebagai penggerak atau energi dari Ada. Gairah dan naluri buta ini oleh Schopenhauer disebut sebagai Wille (Kehendak).
Bayang-bayang Kehendak Di dalam serta melalui materi, Wille atau Kehendak mewahyukan diri dan bermukim, yakni dalam dunia dan manusia.Dalam manusia, Kehendak menggerakkan kehidupannya. Soalnya, adalah bagaimana dengan keberadaan rasio, pikiran atau kesadaran? Apakah kita abaikan begitu saja, sebagaimana Hegel mengabaikan irasionalitas untuk menegaskan rasionalitas? Bukankah sebelumnya Descartes – dengan cogito ergo sum – menyatakan bahwa kesadaran merupakan hakikat Ada? Sekali lagi, Schopenhauer menolak pandangan demikian. Baginya Kehendak adalah struturk gerak sebagai hakikat jiwa. Bukanlah kesadaran. Kalaupun ada kesadaran, kesadaran adalah bayang-bayang dari Kehendak. Kasadaran adalah aksesori perwajahan dari Kehendak. Dengan demikian, kesadaran sifatnya artifisal atau permukaan bagi Ada manusia.
Tak dimungkiri, kadang kesadaran mampu mengendalikan Kehendak Tak dimungkiri, kadang kesadaran mampu mengendalikan Kehendak. Namun, lagi-lagi hal demikian sangat permukaan sifatnya. Ambillah permisalan, hubungan seorang bintang atau artis dengan manajernya. Seorang manajer bisa saja mengendalikan waktu dan jenis pertunjukan sang bintang. Akan tetapi, kendali dan kontrol manajer tersebut tak berarti menguburnya, melainkna untuk melambungkan sang bintang sebagai sang tuan. Pendek kata, kesadaran adalah alat keinginan, ”pelayan” bagi “sang majikan”. Kehendak terus menerus menguasai hidup menusia. Sehingga sebagian besar eksistensi adalah Kehendak. Kehendak adalah gejolak diri yang buta dan tuli, sementara kesadaran adalah bayang-bayang atau tongkat yang selalu mengiringi untuk mencapai suatu pengetahuan.
Tujuan dari Kehendak Jika bayang-bayang atau tongkat kesadaran bekerja dengan tujuan untuk mencapai pengetahuan, namun ujung-ujungnya untuk melayani Kehendak. Maka kemudian, apa sejatinya tujuan dari Kehendak itu sendiri? Tujuan kehendak adalah hidup itu sendiri. Hakikat Ada manusia sebagai Kehendak adalah tetap hidup dan memaksimalkan kehidupan. Karena, tujuan kehendak adalah hidup, maka yang dibenci dan dihindari oleh Kehendak adalah kematian. Nah, untuk menghindari kematian itu, maka kehendak selalu bereproduksi. Kita bisa bandingkan pula dengan konsep “Kehendak” ini dengan “élan vita” dari Henri Bergson, yang dimaknai sebagai energi hidup atau daya pendorong hidup, lihat K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer; Prancis, Gamedia, Jakarta, 2001, hal. 18-19.
Meski kematian dibenci dan musuh kehendak, kehendak tidak pernah meresahkan kematian. Karena dia sendiri adalah keresahan dan penderitaan. Kesadaranlah yang merasakan keresahan dan penderitaan itu. Sehingga, mereka yang berkesadaran [baca: berpengetahuan] sesunguhnya yang selalu resah. Makin meningkat kesadaran atau pengetahuan seseorang, maka makin meningkat pula penderitaan dan keresahannya. Munculnya keresahan yang dialami kesadaran pada manusia, tak lain karena manusia [dipaksa] memikirkan tentang kematian. Kita merasakan kebosanan hidup, penderitaan dan sakit yang tak berujung, terjasdi karena manusia berkesadaran.
Kehendak Di mata Nietzsche Sama dengan Schopenhauer, Friedrich Nietzsche adalah seorang filsuf Jerman. Ia dilahirkan di Rocken tahun 1844. Ia dibesarkan di tengah keluarga yang dikenal agamis dan saleh. Ayahnya, Karl Ludwig Nietzsche adalah seorang pendeta. Selama hidupnya, Nietzsche pernah menjalani dinas militer. Gagasan yang memukau manusia dan hidup dunia dari Nietzsche adalah pemikiran tentang “will to power” atau ‘kehendak untuk berkuasa”. Pemikirannya ini sesungguhnya merupakan cermin adanya pengaruh kuat dari filsuf yang memang dikaguminya, yang tak lain adalah Schopenhauer, yakni melihat kehendak sebagai prinsip dari kehidupan manusia. Kehendak yang dimaksudkan Nietzsche di sini adalah “kehendak untuk berkuasa”. Mengenai hal itu, Nietzsche telah menjelaskannya di beberapa karyanya, seperti The Birth of Tragedy (1872), Beyond Good and Evil (1886) hingga Ecce Homo (1908).
Menurut Nietzsche, hakekat dari dunia, hidup dan Ada adalah “kehendak untuk berkuasa”. Sebagai hakekat hidup dan Ada, “kehendak untuk berkuasa” bukanlah sebagai substratum yang mendasari segalanya, melainkan chaos yang tidak mempunyai landasan apapun. Jadi, di sini Nietzsche melihat kehendak sebagai gejala yang sifatnya plural, yang muncul karena terjadi perbedaan kekuatan (power). Kekuatan atau power adalah gejala yang sifatnya mengatasi diri sendiri. Sehingga, “kehendak untuk berkuasa” adalah sebuah dinamisme pengatasan diri sendiri. Pengatasan diri sendiri terhadap apa? Terhadap dinamisme yang masih berada dalam status chaos. Untuk mambantu pemahaman mengenai kehendak berikut kita cermati pemikiran Nietzsche [Beyond Good and Evil, trans., 1973] tentang kehendak atau will; “willing involve thinking; in every act of will there is a commanding thought. Willing is always willing “x” where “x” is determined by the commanding thought. What is called “free of will” is essentially the emostion of superiority over him who must obey”, lihat David Owen, Maturity and Modernity, Nietzsche, Weber, Foucault and The Ambivalence of Reason, Routledge, London and New York, 1994, hal.26
Gagasan “kehendak untuk berkuasa” bagi Nietzsche tidak ditujukan untuk melakukan observasi metafisik tentang dunai, melainkan bermaksud untuk mencari metode logis guna menyelidiki satu prinisp penjelasan, satu bgentuk kegiatan kausal yang dapat menyatukan semua gejala kehidupan. Di sini kemudian, “kehendak untuk berkuasa” menjadi prinsip penjelasan, cara melihat atau memandang dunia. Bukan sebagai ajaran metafisik tentang dunia. Karena Nietzsche menolak fenomena sebagai sesuatu yang metafisik Sehingga fenomena adalah fenomena yang tidak menyembunyikan sesuatu apapun, artinya, tidak ada realitas di belakang fenomena ini.
Dunia yang “menyebalkan” Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa – di mata Nietzsche – dunia ini adalah chaos (ketakteraturan) bukan suatu cosmos sebagai bentuk “pemaksaan” para fisikawan terhadap dunia. Dengan kondisi ketidakteraturan itu, maka Nietzsche pun menyadari bila dunia yang demikian itu, membuat orang frustasi dan terasa menjengkelkan. Akan tetapi, dunia yang menjengkelkan ini dan membuat manusia frustasi, tidak kemudian dimusuhi sebagaimana Schopenhauer memusuhi dunia sebagai yang kejam dan jahat, melainkan Nietzsche dengan prinsisp “kehendak untuk kuasanya” ini justru mengajak manusia untuk mengarungi dunia yang chaos, tak menentu dan menjengkelkan itu. Mengapa demikian? Ingat, ciri hidup dengan prinsip ‘kehendak untuk berkuasa” adalah mengatasi diri sendiri, yang berarti pula bahwa ciri hidup adalah kecenderungan mencari hambatan untuk diatasi. Sebab, “kehendak untuk berkuasa” adalah hidup itu sendiri, dan bukan merupakan sesuatu yang dimiliki.
Bagi Nietzche, hidup adalah menantang bahaya dan semua pergolakan, sebagaimana dipaparkan dalam petikan tulisannya; “Percaya padaku: rahasia untuk memtik buah paling besar dan kenikmatan tertinggi dari manusia dalah hidup dengan bahaya. Dirikanlah kota-kotamu di lereng gunung Vesuvius. Kirimkanlah kapal-kapalmu ke samudera yang belum dipetakan!” Apa yang ingin dikabarkan Nietzsche dengan hidup sebagai “kehendak untuk berkuasa adalah menjalani hidup selalu optimis dan seriang mungkin, yang dalam bahasa [gaul] keseharian dapat dirumuskan demikian; “Kawan, hidup ini memang menyebalkan dan menyakitkan, tapi mari kita rayakan!”.
Ubermensch Sebagaimana diwartakan Nietzsche mengenai ajakan untuk berlayar ke samudera hidup yang belum terpetakan. Ajakan ini sesungguhnya ditujukan kepada manusia sebagai entitas yang terus menerus hendak mengaktualisasikan diri lewat ketakmenentuan, konflik, hambatan-hambatan dan sebagainya. Dalam suasana semacam itulah sejatinya kehendak merentangkan diri untuk menguasai dan mengatasi. Ketakmenentuan adalah ruang yang tepat bagi manusia bereksistensi. Semangat dengan prinsip hidup “kehendak untuk berkuasa” dengan memenuhi ajakan merayakan ketakmenentuan, selalu bergelut dengan bahaya dan konflik, mengarungi samudera hidup yang belum terpetakan inilah yang disebut dengan Ubermensch. Dalam bahasa kita, banyak pemaknaan terhadap Ubermensch ini. Beberapa penafsir Nietzsche membahasakan Ubermensch sebagai “Manusia Unggul”, “Superman”, “Manusia Atas”. Namun ada juga yang tidak mengidentikkan Ubermensch dengan manusia, melainkan pada satu bentuk semangat atau moralitas, yakni semangat atau moralitas “kehendak untuk berkuasa”.