Kalla Jadi Penengah di Poso Saya sering mendapat pertanyaan dari pelbagai orang dari pelbagai latar yang berbeda-beda: mengapa Jusuf Kalla tiba-tiba jadi penengah konflik Poso dan Ambon? Apakah ini tidak out of proportion, mengingat, urusan Poso dan Ambon adalah urusan keamanan, sementara ia, saat itu, adalah Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat. Di mana korelasi keterlibatan JK di Poso dan Ambon? Pertanyaan serupa saya tanyakan langsung pada JK. Jawaban yang ia berikan selalu sama: urusan mendamaikan orang adalah urusan kemanusiaan. Tidak boleh ada sekat-sekat latar belakang pekerjaan dan apa pun yang lain. Yang penting, mendamaikan orang adalah kewajiban bagi setiap orang. Mencegah kematian orang lain adalah amal ibadah. Begitu JK selalu memberi jawaban atas rentetan pertanyaan saya, dari dulu sampai sekarang. Belakangan saya tahu latar belakang keterlibatannya di Poso, setelah saya membaca catatan pribadi JK. Dalam perspektif ini, JK terlibat, selain karena alasan moral, seperti yang dikatakan tadi, juga karena alasan portofolio sebagai Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat. Catatan JK tersebut berjudul: Konflik Poso. Di situ JK menulis, konflik Poso yang mulai tahun 1998, sudah tiga tahun berlangsung serta menelan ratusan korban jiwa meninggal dan ribuan rumah yang musnah serta ratusan masjid dan gereja dibakar. Menyebabkan pula munculnya pengungsi yang banyaknya kurang lebih 90.000 orang atau hampir 30% penduduk Kabupaten Poso. Karena itu, ekonomi rakyat pasti sulit dan bisa menyebabkan kemiskinan baru di tengah kebun cengkeh dan cokelat. Kerugian materi bisa mencapai triliunan rupiah. Suatu musibah kemanusiaan yang besar sekali. Semoga Tuhan mengampuni. Selanjutnya, catatan JK tersebut menuturkan, dari masalah sosial politik lokal dan konflik anak muda berubah menjadi konflik agama yang sangat melebar. Hampir semua penduduk terlibat karena kalau masalah agama tidak ada yang bisa netral. Semua pihak, baik Islam maupun Kristen merasa ditindas, yang artinya mereka merasa kalah. Siap yang menindas? Dan siapa yang menang? Nafsu amarah masing-masing pihak! Karena itu, dalam perilaku konflik, semuanya sudah di luar batas-batas ajaran agama. Semua pihak merasa mereka hanya mempertahankan diri dari serangan. Karena itu, masing-masing pihak meminta bantuan, baik dari dalam maupun luar negeri. Polri dan TNI sudah berusaha keras menghentikan, tetapi karena konflik ini terjadi antara gerilyawan melawan gerilyawan di daerah yang sangat luas, maka sulit menghentikannya. Telah berulang kali rekonsiliasi diadakan, tetapi selalu gagal. Akibat konflik baru pada awal November, pemerintah menambah kekuatan Polri dan TNI untuk menjaga keamanan dan menghentikan konflik. Akibatnya, masyarakat Poso hanya mempunyai tiga pilihan: 1. Konflik berlangsung terus dalam bentuk perang gerilya dan pembakaran dengan korban dan penderitaan di masing-masing pihak bertambah. 2. Polri dan TNI bertindak keras. 3. Penyelesaian damai dengan masing-masing pihak adalah dengan duduk berunding dan kemudian mematuhi semua hasil perundingan. Pengungsi pulang dan pemerintah akan membantu rehabilitasi sarana serta rumah-rumah ibadah. Pilihan tersebut tergantung pada pilihan masing-masing pimpinan yang bertikai, karena rakyat sendiri sebagian besar sudah capek akibat penderitaan dan ketakutan. Apabila pilihan ketiga yang dipilih, maka pemerintah akan memfasilitasi dan melaksanakannya. Konsep dan catatan pribadi JK ini, saya kira adalah ekspresi dari autentisitas keinginannya untuk menyelesaikan konflik Poso yang kemudian mengilhaminya untuk juga menyelesaikan konflik Ambon. Dari catatan dan konsep pribadi ini, jelas ada benang merah keterlibatan JK di Poso dan Ambon dengan jabatannya sebagai Menko Kesra, yakni akibat konflik ini, maka angka pengungsian pun kian membengkak. Soal pengungsi ini, adalah portofolio JK sebagai Menko Kesra. Merasa yakin dengan jalan pikiran dan konsep tersebut, JK lalu mengirim surat kepada Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah pada tanggal 10 Desember 2001 dengan nomor surat B-111/Menko/Kesra/XII/2001. Dalam suratnya itu, JK sudah mengajukan konsep rinci dan jadwal perundingan antara pihak-pihak yang bertikai di Poso. JK malah meminta kepada kedua gubernur tersebut untuk merevisi atau memberi saran balik atas konsep dan jadwal yang ditentukan itu. Konsep dan jadwal tersebut juga dibuat JK pada tanggal 10 Desember 2001. Tiga hari kemudian, tanggal 13 Desember 2001, JK mengirim surat kepada Menko Polkam (Nomor B-116/Menko/Kesra/XII/2001) yang meminta Menko Polkam untuk mengirim salah seorang eselon I untuk hadir dalam perundingan damai Malino sebagai peninjau. Di hari yang sama, JK juga mengirim surat kepada Kapolri (Nomor B-118/Menko/Kesra/XII/2001) yang menyampaikan bahwa pada tanggal 18 hingga 21 Desember 2001, akan diadakan perundingan damai di Malino. Karena itu, JK meminta Kapolri membuat laporan tentang keadaan dan langkah-langkah penanganan konflik Poso oleh aparat kepolisian. Dengan korespondensi tersebut -dalam menyelesaikan konflik Poso, selanjutnya konflik Ambon- JK tidaklah bersolo karier. Ia melibatkan berbagai instansi pemerintah yang berkaitan dengan ikhtiar penyelesaian konflik tersebut. Ia sadar sepenuhnya bahwa bersinergi dalam menyelesaikan sebuah persoalan besar, menjadi suatu keniscayaan. Sejatinya, pengetahuan JK tentang konflik Poso dan konflik Ambon sebenarnya sudah terkumpul rapi sebelum ia menjadi Menko Kesra. Saat itu, ia baru saja diberhentikan oleh Gus Dur sebagai Menteri Perdagangan. Di kantornya di Makassar, ia selalu mengikuti perkembangan yang terjadi di wilayah timur Indonesia itu. Tiap soal disidiknya. Tiap ihwal ditelusurinya. Rasa ingin tahu JK tentang apa sesungguhnya yang terjadi di Poso dan Ambon itu banyak dijawab oleh Husein Abdullah, seorang reporter lapangan (RCTI) yang memang senang bertualang ke sana ke mari di kedua kawasan konflik tersebut, JK selalu menghubungi Husein Abdullah yang berada di palangan konflik. Setiap kali Husein Abdullah datang ke Makassar, menjadi kewajiban baginya datang ke kantor JK, merinci, dan memetakan segala kejadian, termasuk siapa-siapa yang terlibat dalam kedua konflik tersebut. Dengan cara ini, pengetahuan JK tentang anatomi konflik Poso dan konflik Ambon memang sudah sangat komprehensif, jauh sebelum ia kembali diangkat menjadi menteri. Maka tak heran memang, tatkala kewenangan formal berada di tangannya, ia dengan mudah, lincah, dan leluasa bergerak. Tak sulit bagi JK, dalam waktu yang amat singkat, bisa menemukan terapi dan solusi konflik Poso dan konflik Ambon tersebut. Dengan itu semua, sebenarnya korespondensi JK bersama berbagai instansi tersebut hanyalah akumulasi dari ikhtiarnya yang panjang ke belakang. Malahan sebenarnya, sebelum korespondensi tersebut berlangsung, JK sudah bekerja di level bawah, mengumpulkan informasi dari Poso, Morowali, dan Tentena, tentang apa yang sesungguhnya terjadi selama tiga tahun terakhir. Farid Husein, operator lapangan ulung yang jadi andalan JK, sudah berkelana ke mana-mana mengumpulkan semua informasi yang dibutuhkan JK. Hasilnya, nama-nama tokoh dan pelaku konflik di masing-masing pihak pun sudah dikantongi JK sebelum ia bergerak lebih jauh. Selain Husein Abdullah dan Farid Husein yang membekali JK dengan informasi yang dibutuhkan, jaringan persahabatan dan bisnis JK di daerah konflik tersebut cukup menjalar. Karena itu, menggali informasi tentang substansi yang menjadi pertikaian dan siapa tokoh kunci dalam pertikaian dan pihak-pihak yang terkait tidaklah terlampau sulit bagi JK. Malahan, JK memanfaatkan Agus Dwikarna, tokoh kunci Laskar Jundullah. Aguslah yang membeberkan struktur dan sistem kegiatan serta pelaku konflik, baik dari komunitas Islam maupun komunitas Nasrani. Informasi dari Agus dicocokkan dengan informasi yang diperoleh JK dari berbagai sumber termasuk polisi dan Kodam Wirabuana. Itulah sebabnya, tatkala Agus Dwikarna ditangkap dan ditahan di Filipina beberapa tahun silam, JK langsung mengirim saya ke Manila menemui Agus, sebagai tanda balas budi JK kepada Agus Dwikarna. Serpihan-serpihan informasi yang datang dari berbagai sumber itu, dikumpulkan dan dipilah-pilah. JK sendirilah yang menentukan informasi mana yang ia pegang dan dinilai akurat. Biasanya, dalam menentukan akurasi informasi, JK menggunakan logika. Setelah JK menentukan informasi mana yang ia pegang, ia langsung menghubungi pihak-pihak yang terkait langsung dan tak terkait langsung dengan konflik. Setelah itu, JK menyusun alur argumentasi dan menetapkan strategi penyelesaian masalah. Bila tahapan ini selesai, barulah JK mengontak instansi pemerintah yang bisa ikut serta dalam penyelesaian masalah. Suatu saat saya tanya JK, bagaimana ia bisa dengan cepat memilah dan menentukan informasi mana yang dipakai dalam menyelesaikan konflik Poso dan konflik Ambon. Jawabnya singkat, “Saya sudah terbiasa menghitung cepat dan mengambil keputusan. Saya ini pengusaha, yang terikat dengan hukum waktu dan ruang yang terbatas. Untuk beruntung, saya harus cepat mengambil keputusan, barang apa dan kapan harus saya beli. Bila terlambat, harga barang tersebut bisa naik dan membuat saya kehilangan kesempatan untuk memperoleh keuntungan,” kata JK bertamsil. Terlepas dari itu semua, yang menarik untuk dicermati, bukan hanya determinasi JK dalam menyelesaikan kedua konflik tersebut, tetapi akurasi perencanaan yang dibuatnya selalu tepat. Misalnya, substansi yang bakal diangkat oleh masing-masing pihak dalam perundingan, termasuk tingkat emosi mereka. Malahan, tahapan perundingan dan waktu perundingan pun, semuanya berjalan sesuai dengan yang dicanangkan oleh JK. Tak ada yang keluar dari koridor perencanaan. Iseng, suatu saat saya bertanya, “Pak, mengapa dalam menyelesaikan konflik Poso dan Ambon tempo dulu, semua yang Bapak rencanakan dari awal, termasuk prakiraan Bapak mengenai suasana batin dan substansi, tak ada yang meleset sedikit pun? Apa Bapak memiliki ilmu gaib yang bisa melihat ke depan?” tanya saya. “Maksudmu, saya dukun peramal,” tangkis JK. “Tidak begitu, Pak. Maksud saya, bagaimana Bapak bisa merencanakan sekaligus mewujudkan sesuatu, tanpa ada yang bergeser sedikit pun,” lanjut saya. “Oh begitu. Saya pakai naluri dan logika saja. Semua itu hanya karena pengalaman keseharian. Tidak ada yang macam-macam. Dan yang penting, kita harus ikhlas, tidak punya pretensi dan keinginan pribadi secara timbal balik. Hanya itu modal saya, Hamid. Soal akurasi antara perencanaan dan kenyataan, itu karena kali-kali yang jelas. Kamu lihat kan, saya selalu bawa nota kecil dan pulpen. Semuanya saya catat dan kali-kali,” tegas JK.