Masukan dari sisi hukum guna optimalisasi fungsi & peran PPID di kota Semarang Richo Andi Wibowo
Maksud dan tujuan Memberikan masukan mengenai draft standar layanan informasi publik (dalam hal ini adalah draft Raperwal Semarang tentang Pedoman Pengelolaan Informasi dan Dokumentasi). Hal diatas dimaksudkan untuk: terciptanya sinergi diantara stakeholder; terjadinya peningkatan dan optimalisasi fungsi dan peran PPID kota Semarang
Pengantar Pertama, perlu kiranya diberikan apresiasi -kepada seluruh pihak yang berpartisipasi- dalam upaya perwujudan right to information di Kota Semarang sehingga telah terwujud Raperwal yg mengatur hal ini; Guna memastikan agar aturan diatas kelak dapat dijalankan dengan optimal, maka perlu dihindari terjadinya “lacunae legis”
Lacunae legis adalah ‘lubang hukum’. Adanya lacunae sesugguhnya wajar. Hal ini mengingat suatu aturan memang tidak akan pernah bisa sempurna. Bahkan, celah hukum tersebut memang akan menjadi potensi untuk perkembangan hukum (lex semper reformanda). Sekalipun demikian, semakin banyak/besar lacunae yang ada, maka akan semakin kecil harapan suatu peraturan untuk mencapai/mewujudkan perjuangannya.
Beberapa masukan Apabila Andang L. Binawan (2011) menyatakan bahwa terdapat enam lacunae yang perlu diwaspadai, maka guna memeriksa Perwal ini, dapat dikhususkan menjadi tiga lacunae saja sbb: Memastikan agar Perwal ini implementatif untuk dapat ‘hidup’ dalam waktu yang relatif lama; Meminimalisir terjadinya misinterpretasi dari pembaca; Memastikan agar konsep yang ada dapat diterapkan secara implementatif.
Ad. 1. ‘Memperlama’ durasi hidup Perwal Mengingat trend kedepan adalah semakin tajamnya peran IT dalam kehidupan, maka perwal ini perlu menegaskan bahwa mekanisme penyampaian dan/atau pemberian berbasis permohonan atas suatu informasi publik dapat berbasis elektronik. Hal ini -misalnya- dengan mengatur dan menyatakan dalam Raperwal tersebut mengenai mekanisme pemberian informasi dapat (bahkan didorong untuk) berbasis website; pengiriman informasi dapat berbasis email selain cara konvensional seperti memberikan salinan atau mengirimkan CD; atau mekanisme pembayaran biaya penyalinan/pengiriman informasi yang berbasis transfer, e-banking.
Aturan yang dimaksud adalah -namun tidak terbatas pada- : Urgensi penerapan hal diatas adalah logis, tidak hanya ditinjau dari sisi sosiologis sebagaimana diatas; namun juga ditinjau dari kepatuhan terhadap peraturan perundang- undangan. Aturan yang dimaksud adalah -namun tidak terbatas pada- : Pasal 7 ay (6) UU KIP (obligation to inform dapat dilakukan dengan memanfaatkan sarana elektronik); Inpres No 3 tahun 2003 tentang kebijakan dan strategi nasional e-government
Ad. 2. Meminimalisir misinterpretasi Dalam bab III lampiran Raperwal, terdapat informasi mengenai mekanisme mengenai pengumpulan, pengklasifikasian, pendokumentasian dan pelayanan informasi. Terlihat bahwa terjadi reduksi dari apa yang dinyatakan di bab tersebut dengan Pasal 13 Peraturan Komisi Informasi (Per KI) No 1/2010. Misalnya dalam Per KI terlihat bahwa ada 17 poin yang menjadi info publik yang wajib tersedia setiap saat. Namun dalam Raperwal hanya dinyatakan 8 saja.
Terhadap reduksi yang terjadi tersebut, setidaknya, dapat menimbulkan tiga kebingungan bagi pembaca Raperwal, yi: kebijakan manakah yang akan diikuti oleh PPID di kota Smg, Perwal atau Per KI?; Argumentasi apakah yang akan digunakan oleh pemohon informasi, Perwal atau per KI?; Dalam kapasitas apakah sehingga Perwal dapat mengeliminir ketentuan Per KI? Maka, baik kiranya jika (Ra)Perwal koheren dengan Per KI. Lebih dari itu, hal-hal yg telah diatur, tidak perlu direpetisi dalam Perwal. Perwal perlu fokus pada hal teknis untuk diaplikasikan di Pemkot Smg
Ad.3. memastikan agar aturan dapat implementatif Melihat banyaknya hal yang harus dilakukan, -mulai dari pengumpulan, pengklasifikasian, pendokumentasian, pelayanan, hingga penyelesaian sengketa; maka, dapat dipahami besarnya hal yang perlu dilakukan oleh PPID Maka dari itu, mungkin perlu kiranya implementasi ini dapat dilakukan penargetan secara terukur dan bertahap (dengan internalisasi dan sinkronisasi melalui RPJMD misalnya). Sehingga hal ini akan memperjelas target dan capaian dari tahun x, x+1, x+2, dst.
Mengingat first impressions adalah hal yang penting, maka PPID ditahap awal akan perlu bekerja ‘multi tasking’ dengan keras: baik untuk konsolidasi internal, maupun untuk memberikan pelayanan informasi. Maka, selain diperlukan SDM yang secara kualitas dan kuantitas memadai, diperlukan pula strategi dalam memberikan pelayanan informasi. Info-info yang kerap diminta oleh masyarakat, perlu untuk diprioritaskan agar dapat ‘tampil’ terlebih dahulu. Penentuan atas hal ini dapat didasarkan dari pengalaman yang dimiliki aparatur pemerintah selama ini.
Ad 4. Masukan lainnya yang tidak terkait dengan lacunae legis Aspek teknis: hal-hal yang diatur dalam lampiran, tampaknya banyak yang dapat dialihkan ke dalam batang tubuh. Hal ini perlu dilakukan agar koheren dengan Lampiran II huruf F No 192 UU 12/2011 ttg P3 bahwa lampiran dapat memuat uraian, daftar, tabel, gambar, peta, dan sketsa. Sehingga penjelasan mengenai siapa yang menjadi atasan PPID, PPID, mekanisme permohonan informasi, dapat disampaikan di batang tubuh. Sedangkan diagram/bagan dapat tetap dipertahankan dalam lampiran.
Lebih dari itu, guna kepentingan kejelasan pembaca Perwal kelak, maka perlu ditegaskan siapa yang sesungguhnya dimaksud oleh Raperwal sebagai PPID. Atau dengan kata lain, instansi mana yang memang (jadi) ditetapkan sebagai ‘tempat bernaung’ PPID. Perlu ditegaskan pula disana, siapa yang dimaksud oleh Raperwal sebagai atasan PPID. Terhadap hal ini baik kiranya jika yang digolongkan sebagai atasan PPID tidak dibatasi pada Sekda saja, namun juga Walikota dan Wakil walikota. Hal ini mengingat ketentuan dalam Pasal 1 ay (5) Per KI No 1/2010 Urgensi kejelasan atas dua posisi diatas juga menandakan perlunya Raperwal yang ada untuk menjelaskan posisi posisi yang lain.
Apabila ini adalah bagan organisasi PPID
Sedangkan berikut adalah bagan PPID Pembantu (SKPD)
Kemudian dinyatakan bahwa
Terhadap hal tersebut; maka, perlu kiranya dipertimbangkan apakah struktur PPID pembantu perlu sebesar bagan 2 diatas?; Jika PPID pembantu tidak mengurusi langsung pelayanan dan sengketa; maka, apakah masih relevan terdapat posisi2 untuk hal tersebut. NB: pernyataan diatas tidak berarti membatasi bahwa yang perlu dievaluasi hanyalah dua divisi tersebut semata; tidak menutup kemungkinan posisi yang lain untuk di re-check kembali.
Demikian yang dapat saya sampaikan, atas perhatian bapak/ibu, disampaikan Terimakasih Richo Andi Wibowo Dosen pada bagian Hukum Administrasi Negara FH UGM 081227581020 (hp); richo.wibowo@ugm.ac.id (email)