KEADILAN RESTORATIF DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DI INDONESIA Oleh Nur Rochaeti
KPAI menemukan fakta bahwa anak yang menjadi pelaku kekerasan mengalami kenaikan, yaitu pada tahun 2014, tercatat 67 kasus anak yang menjadi pelaku kekerasan, sedangkan pada 2015, menjadi 79 kasus. Selain itu, anak sebagai pelaku tawuran mengalami kenaikan dari 46 kasus di tahun 2014 menjadi 103 kasus pada 2015.
Penerapan hukum belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku. Belum ada persamaan persepsi antar aparat penegak hukum mengenai penanganan ABH utnuk kepentingan terbaik anak. Terbatasnya sarana dan prasarana penanganan bagi anak yang berhadapan dengan hukum selama proses di pengadilan (pra dan pasca putusan pengadilan). Koordinasi antara aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, advokat, Bapas, Rutan, Lapas), masih tersendat karena kendala ego sektoral.
Tujuan restoratif akan dapat menyelesaikan kasus kejahatan dengan cara : Mengidentifikasi dan mengambil langkah-langkah untuk memulihkan kerugian, Melibatkan semua stakeholder dan Merubah hubungan tradisional antara masyarakat dan pemerintah mereka dalam mengatasi kejahatan.
Menurut David Fogel, Restorative Justice Model diajukan kaum Abolisionis yang menganggap bahwa sistem peradilan pidana bermasalah atau cacat struktural sehingga harus diubah dasar-dasar struktur dari sistem tersebut. Analisis paham Abolisionis menurut Brants dan Silvis lebih banyak ditujukan terhadap kegagalan sistem peradilan pidana di bandingkan terhadap keberhasilannya
Keadilan restoratif dilaksanakan agar: Anak pelaku tindak pidana didorong untuk bertanggungjawab secara aktif: Anak pelaku tindak pidana diharapkan untuk menunjukkan empati dan menolong memperbaiki kerugian dan tidak hanya difokuskan pada penghukuman; Stigma (cap jahat) pada anak dapat terhapuskan; Anak pelaku tindak pidana diharapkan untuk meminta maaf dan agar mempunyai rasa penyesalan; Pelaksanaan peradilan anak restoratif bertujuan untuk mencari untuk memperbaiki, rekonsiliasi dan menentramkan hati.
Munculnya ide keadilan restoratif sebagai kritik atas penerapan sistem peradilan pidana dengan pemenjaraan yang dianggap tidak efektif menyelesaikan konflik tersebut korban tidak dilibatkan dalam penyelesaian konflik
Tujuan utama keadilan restoratif memberdayakan korban, yaitu pelaku didorong agar memperhatikan pemulihan. Keadilan restoratif mementingkan terpenuhinya kebutuhan material, emosional dan sosial sang korban.
Restorative Justice Sebagai konsep pemidanaan tentunya tidak hanya terbatas pada ketentuan hukum pidana (formil dan materiil). Restorative Justice harus juga diamati dari sisi kriminologi dan sistem pemasyarakatan karena konsep Restorative Justice terlahir oleh keadaan sistem pemidanaan yang sekarang berlaku, Restorative Justice belum sepenuhnya menjamin keadilan terpadu (intergrated justice), yaitu keadilan bagi pelaku, keadilan bagi korban dan keadilan bagi masyarakat dalam mekanisme di luar peradilan pidana.
PERBANDINGAN KEADILAN RETRIBUTIF & RESTORATIF PERADILAN RETRIBUTIF PERADILAN RESTORATIF Kejahatan adalah pelanggaran sistem Kejahatan adalah pelukaan terhadap Individu atau mayarakat Fokus pada menjatuhkan kesalahan dan pada perilaku masa lalu. Fokus pada menimbulkan rasa bersalah dan pada perilaku masa depan. Korban diabaikan Hak dan kebutuhan korban diperhatikan Pelaku pasif Pelaku didorong untuk bertanggung jawab Pertanggungjawaban pelaku adalah hukuman Pertanggungjawaban pelaku adalah menunjukan empati dan menolong untuk memperbaiki kerugian Respon terfokus pada perilaku masa lalu pelaku Respon terfokus pada konsekuensi menyakitkan akibat perilaku pelaku Stigma tidak terhapuskan Stigma dapat hilang melalui tindakan yang tepat Tidak didukung untuk menyesal dan dimaafkan Didukung agar menyesal dan maaf sangat mungkin diberikan Bergantung pada aparat Bergantung pada keterlibatan langsung orang-orang yang tepengaruh oleh kejadian Proses sangat rasional Diperbolehkan untuk menjadi emosional
Model ini diharapkan dapat menyentuh 3 (tiga) aspek dalam perlindungan bagi anak yang berhadapan dengan hukum, yaitu (1) pencegahan, (2) penanganan, (3) rehabilitasi dan reintregrasi.
Howard Zehr sebagai perintis keadilan restoratif di Amerika Serikat memperkenalkan “lensa restoratif”, yaitu kejahatan dilihat sebagai pelanggaran terhadap individu dan relasi antar individu, sedangkan keadilan dimaknai sebagai pencarian bersama atas solusi melalui penyembuhan dan rekonsiliasi
Keadilan resoratif dapat dikualifikasikan dalam tiga bentuk utama, yaitu sebagai berikut : Victim Offender Mediation (mediasi antara pelaku dan korban) Dalam penerapan model ini dibuat suatu forum yang mendorong adanya pertemuan antara pelaku dan korban yang dibantu oleh mediator sebagai koordinator dan fasilitator dalam pertemuan tersebut. Conferencing Dalam model ini pendekatan keadilan restoratif yang dikembangkan di New Zealand merupakan refleksi dari proses penyelesaian perkara pidana secara tradisional dalam suku Maori, penduduk asli bangsa New Zealand dalam bentuk musyawarah.
Circles Dalam penerapan pendekatan keadilan restoratif dengan model ini, maka para pihak yang terlibat meliputi pelaku, korban, keluarga dan pihak lain yang terlibat termasuk di dalamnya para aparat penegak hukum.
Prinsip dasar PBB telah menetapkan bahwa dalam penggunaan keadilan restoratif dapat menjadi bagian dari sistem peradilan pidana : Tiga model yang menempatkan hubungan antara keadilan restoratif dengan sistem peradilan pidana yaitu : Sebagai bagian dari sistem peradilan pidana; Di luar sistem peradilan pidana melalui lembaga/ institusi lain di luar sistem; Di luar sistem peradilan pidana dengan tetap melibatkan pihak penegak hukum.
New Zealand sebagai negara pertama di dunia yang semula menerapkan proses restoratif dalam sistem peradilan pidana anak, kemudian diintegrasikan ke dalam peradilan umum family group conference. Belanda, Sanksi bagi anak di dalamnya harus terkandung unsur pedagogik. Italia, tidak tercapainya tujuan pemenjaraan pun untuk merehabilitasi. Belgia, yaitu tindak pidana dari yang ringan sampai terberat dapat diserahkan pada Lembaga Mediasi Thailand, Stimulusnya adalah kekecewaan terhadap sistem pemidanaan yang bersifat retributif, akhirnya menurut Kittipong Kittayarak pelanggaran pidana kecil-kecilan di beberapa kawasan di Thailand sampai sekarang diselesaikan oleh musyawarah desa FCGC (Family Community Group Conferencing). Sri Lanka (terhadap perkara-perkara ringan ) harus didamaikan dahulu oleh Dewan Mediasi, kalau gagal perkara boleh diserahkan pada pengadilan, akan tetapi harus disertai “surat keterangan gagal didamaikan .
TERIMA KASIH