Dialog Seputar KMB Segala sesuatu yang diungkapkan di atas bukan berarti bahwa Bung Hatta tidak pernah marah terhadap saya, ataupun dalam hubungan antara beliau dan saya tidak ada perbedaan paham yang serius mengenai beberapa masalah. Ada beberapa peristiwa penting dalam ingatan saya waktu terjadi perselisihan pendapat, bahkan pertentangan pendirian. Ada saat-saat juga Bung Hatta secara terus-menerus menunjukkan amarahnya terhadap diri saya. Peristiwa pertama ialah pada tahap akhir perundingan di KMB. Perbedaan paham timbul dalam penilaian masing-masing sekitar masalah hutang Negara kita terhadap Belanda, dan masalah Irian Barat (nama waktu itu). Saya berpendirian bahwa tidak wajar hutang pemerintahan Nederlands Indie (cabang kolonial dari Negeri Belanda) harus diambil alih oleh dan dibebankan pada Pemerintah Indonesia yang merdeka. Bahkan menurut cara perhitungan yang saya lakukan, Pemerintah Belandalah yang sebaliknya berhutang kepada Pemerintah Indonesia. Mengenai Irian Jaya, menurut hemat saya, ditangguhkan penyelesaiannya sampai di hari kemudian, karena tidak akan menguntungkan kita. Pertimbangan saya bahwa perimbangan kekuatan di perundingan (bargaining strength) bisa dirongrong, sehingga kedudukan kita lebih lemah dalam perkembangan selanjutnya. Pembicaraan antara Bung Hatta dan saya mengenai kedua masalah tersebut diadakan pada suatu malam di kamar hotel di mana Bung Hatta singgah, beberapa hari sebelum Persetujuan KMB akan ditandatangani. Malam itu selain kami berdua, Saudara Mohammad Roem juga ikut hadir. Perdebatan hangat, kadang-kadang mirip pertengkaran, berlangsung larut malam tanpa tercapainya titik temu. Oleh Saudara Roem, satu sama lain telah dibeberkan dalam sebuah tulisannya beberapa tahun yang lalu. Dalam pertemuan itu, Bung Hatta beberapa kali dengan nada marah menegur saya karena saya mengambil sikap bersikeras, seakan-akan tidak mau mengerti serangkaian pertimbangan yang telah diutarakannya selaku pimpinan Delegasi. Akhirnya walaupun tidak dapat melepaskan keyakinan saya, saya harus tunduk kepada keputusan Ketua Delegasi, yang didukung oleh sebagian terbesar anggota Delegasi Republik Indonedia maupun Delegasi BFO (wakil-wakil dari negara-negara bagian ciptaan Belanda di luar wilayah kekuasaan Republik Indonesia). Di tahun-tahun kemudian, walaupun berbeda pendapat, saya lebih memahami betapa sulitnya kedudukan dan peranan Bung Hatta selama memimpin perundingan di KMB, yang harus dihadapi dan memperhitungkan berbagai masalah majemuk di dalam negeri maupun dalam dunia internasional. Soemitro Djojohadikoesoemo, Pribadi Manusia Hatta, Seri 8, Yayasan Hatta, Juli 2002