KORUPSI By : Rakha Abiyasa
Korupsi Korupsi merupakan fenomena sosial yang hingga kini masih belum dapat diberantas oleh manusia secara maksimal. Korupsi tumbuh seiring dengan berkembangnya peradaban manusia. Tidak hanya di negeri kita tercinta, korupsi juga tumbuh subur di belahan dunia yang lain, bahkan di Negara yang dikatakan paling maju sekalipun.
Pengertian Korupsi Korupsi berasal dari bahasa latin, Corruptio-Corrumpere yang artinya busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik atau menyogok. Korupsi menurut Huntington (1968) adalah perilaku pejabat publik yang menyimpang dari norma-norma yang diterima oleh masyarakat, dan perilaku menyimpang ini ditujukan dalam rangka memenuhi kepentingan pribadi. Korupsi merupakan perbuatan curang yang merugikan Negara dan masyarakat luas dengan berbagai macam modus. Seorang sosiolog Malaysia Syed Hussein Alatas secara implisit menyebutkan tiga bentuk korupsi yaitu sogokan (bribery), pemerasan (extortion), dan nepotisme.
Alatas mendefinisikan nepotisme sebagai pengangkatan kerabat, teman, atau sekutu politik untuk menduduki jabatan-jabatan publik, terlepas dari kemampuan yang dimilikinya dan dampaknya bagi kemaslahatan umum (Alatas 1999:6). Inti ketiga bentuk korupsi menurut kategori Alatas ini adalah subordinasi kepentingan umum dibawah tujuan-tujuan pribadi yang mencakup pelanggaran-pelanggaran norma-norma, tugas, dan kesejahteraan umum, yang dibarengi dengan kerahasiaan, pengkhianatan, penipuan, dan sikap masa bodoh terhadap akibat yang ditimbulkannya terhadap masyarakat.
Lanjutan....... Istilah korupsi dapat pula mengacu pada pemakaian dana pemerintah untuk tujuan pribadi. Definisi ini tidak hanya menyangkut korupsi moneter yang konvensional, akan tetapi menyangkut pula korupsi politik dan administratif. Seorang administrator yang memanfaatkan kedudukannya untuk menguras pembayaran tidak resmi dari para investor (domestik maupun asing), memakai sumber pemerintah, kedudukan, martabat, status, atau kewenangannnya yang resmi, untuk keuntungan pribadi dapat pula dikategorikan melakukan tindak korupsi.
Mengutip Robert Redfield, korupsi dilihat dari pusat budaya, pusat budaya dibagi menjadi dua, yakni budaya kraton (great culture) dan budaya wong cilik (little culture). Dikotomi budaya selalu ada, dan dikotomi tersebut lebih banyak dengan subyektifitas pada budaya besar yang berpusat di kraton. Kraton dianggap sebagai pusat budaya. Bila terdapat pusat budaya lain di luar kraton, tentu dianggap lebih rendah dari pada budaya kraton. Meski pada hakikatnya dua budaya tersebut berdiri sendiri-sendiri namun tetap ada bocoran budaya.
Sebab-Sebab Korupsi Ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan dalam posisi-posisi kunci yang mampu memberi ilham dan mempengaruhi tingkah laku yang menjinakkan korupsi. Kelemahan pengajaran-pengajaran agama dan etika. Kolonialisme, suatu pemerintahan asing tidaklah menggugah kesetiaan dan kepatuhan yang diperlukan untuk membendung korupsi. Kurangnya pendidikan. Adanya banyak kemiskinan. Perubahan radikal, suatu sistem nilai yang mengalami perubahan radikal, korupsi muncul sebagai penyakit transisional.
Keadaan masyarakat yang semakin majemuk. Greeds(keserakahan) : berkaitan dengan adanya perilaku serakah yang secara potensial ada di dalam diri setiap orang. Opportunities(kesempatan) : berkaitan dengankeadaan organisasi atau instansi atau masyarakat yang sedemikian rupa, sehingga terbuka kesempatan bagi seseorang untuk melakukan kecurangan. Needs(kebutuhan) : berkaitan dengan faktor-faktor yamg dibutuhkan oleh individu-individu untuk menunjang hidupnya yang wajar. Exposures(pengungkapan) : berkaitan dengan tindakan atau konsekuensi yang dihadapi oleh pelaku kecurangan apabila pelaku diketemukan melakukan kecurangan, dll.
Macam-Macam Korupsi Korupsi telah didefinisikan secara jelas oleh UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 dalam pasal-pasalnya. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, terdapat 33 jenis tindakan yang dapat dikategorikan sebagai korupsi. 33 tindakan tersebut dikategorikan ke dalam 7 kelompok yakni : Korupsi yang terkait dengan merugikan keuangan Negara Korupsi yang terkait dengan suap-menyuap Korupsi yang terkait dengan penggelapan dalam jabatan Korupsi yang terkait dengan pemerasan Korupsi yang terkait dengan perbuatan curang
Korupsi yang terkait dengan benturan kepentingan dalam pengadaan Korupsi yang terkait dengan gratifikasi, dll. Menurut Aditjandra dari definisi tersebut digabungkan dan dapat diturunkan menjadi dihasilkan tiga macam model korupsi (2002: 22-23) yaitu : Model korupsi lapis pertama Berada dalam bentuk suap (bribery), yakni dimana prakarsa datang dari pengusaha atau warga yang membutuhkan jasa dari birokrat atau petugas pelayanan publik atau pembatalan kewajiban membayar denda ke kas negara, pemerasan (extortion) dimana prakarsa untuk meminta balas jasa datang dari birokrat atau petugas pelayan publik lainnya.
Lanjutan...... Model korupsi lapis kedua Jarring-jaring korupsi (cabal) antar birokrat, politisi, aparat penegakan hukum, dan perusahaan yang mendapatkan kedudukan istimewa. Menurut Aditjandra, pada korupsi dalam bentuk ini biasanya terdapat ikatan-ikatan yang nepotis antara beberapa anggota jaring-jaring korupsi, dan lingkupnya bisa mencapai level nasional. Model korupsi lapis ketiga Korupsi dalam model ini berlangsung dalam lingkup internasional dimana kedudukan aparat penegak hukum dalam model korupsi lapis kedua digantikan oleh lembaga-lembaga internasional yang mempunyai otoritas di bidang usaha maskapai-maskapai mancanegara yang produknya terlebih oleh pimpinan rezim yang menjadi anggota jarring-jaring korupsi internasional korupsi tersebut.
Contoh Kasus Korupsi Kasus Korupsi pada Jajaran Pemerintahan Daerah Kota Surakarta Korupsi Anggaran DPRD Kota Solo oleh mantan anggota DPRD Solo periode 1999-2004, Hasan Mulachela dan Heru S. Notonegoro yang Dituntut 3,5 tahun hukuman penjara. Mereka dinilai bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama, yang mengakibatkan kerugian negara sekitar Rp 4,27 miliar. Yang pada akhirnya mereka bebas. Korupsi Mantan pejabat Dinas Perindustrian dan Perdagangan Surakarta Abdul Mutholib, yang dijatuhi hukuman penjara dua tahun dan denda Rp 25 juta subsider satu bulan. Selain itu, terdakwa diharuskan membayar uang pengganti sebesar Rp 34.795.681 bersama dengan terdakwa lainnya, yakni mantan Kepala Disperindag Masrin Hadi.
Mereka dinilai bersalah melakukan studi banding fiktif ke Bali pada 5-9 Desember 2006, dan ke Surabaya pada 15-19 Desember 2006. selain itu, Abdul Mutholib juga melakukan tindak pidana korupsi Proyek Wisata Kuliner dengan nilai lebih dari Rp 200 juta yang seharusnya dana tersebut disimpan di kas dan dikeluarkan sesuai kebutuhan. Kasus korupsi dana APBD 2003 yang dilakukan oleh 42 anggota DPRD Kota Surakarta periode 1999-2004. Dari 42 orang tersebut, lima diantaranya telah menjalani pemeriksaan, yaitu Bambang Mudiarto, Ipmawan Muhammad Iqbal, Mujahid, Rio Suseno dan H. Sali Basuki. Kasus Korupsi mantan Wali Kota Surakarta, Slamet Suryanto sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan buku ajar kota ini pada tahun 2003 senilai Rp3,7 miliar.
Cara Pencegahan Dan Strategi Pemberantasan Korupsi Menurut Baharuddin Lopa, mencegah korupsi tidaklah begitu sulit kalau kita secara sadar untuk menempatkan kepentingan umum (kepentingan rakyat banyak) di atas kepentingan pribadi atau golongan. Ini perlu ditekankan sebab betapa pun sempurnanya peraturan, kalau ada niat untuk melakukan korupsi tetap ada di hati para pihak yang ingin korup, korupsi tetap akan terjadi karena faktor mental itulah yang sangat menentukan. Dalam melakukan analisis atas perbuatan korupsi dapat didasarkan pada 3 (tiga) pendekatan berdasarkan alur proses korupsi yaitu : Pendekatan pada posisi sebelum perbuatan korupsi terjadi, Pendekatan pada posisi perbuatan korupsi terjadi, Pendekatan pada posisi setelah perbuatan korupsi terjadi.
Lembaga yang mencegah korupsi Komisi Pemberantasan Korupsi, atau disingkat menjadi KPK, adalah komisi di Indonesia yang dibentuk pada tahun 2003 untuk mengatasi, menanggulangi dan memberantas korupsi di Indonesia. Komisi ini didirikan berdasarkan kepada Undang-Undang Republi Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dasar Hukum Orde Lama Dasar Hukum: KUHP (awal), UU 24 tahun 1960 Antara 1951 - 1956 isu korupsi mulai diangkat oleh koran lokal seperti Indonesia Raya yang dipandu Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar. Pemberitaan dugaan korupsi Ruslan Abdulgani menyebabkan koran tersebut kemudian di bredel. Kasus 14 Agustus 1956 ini adalah peristiwa kegagalan pemberantasan korupsi yang pertama di Indonesia, dimana atas intervensi PM Ali Sastroamidjoyo, Ruslan Abdulgani, sang menteri luar negeri, gagal ditangkap oleh Polisi Militer. Sebelumnya Lie Hok Thay mengaku memberikan satu setengah juta rupiah kepada Ruslan Abdulgani, yang diperoleh dari ongkos cetak kartu suara pemilu. Dalam kasus tersebut mantan Menteri Penerangan kabinet Burhanuddin Harahap (kabinet sebelumnya), Syamsudin Sutan Makmur, dan Direktur Percetakan Negara, Pieter de Queljoe berhasil ditangkap. Orde Baru Dasar Hukum: UU 3 tahun 1971 Korupsi orde baru dimulai dari penguasaan tentara atas bisnis-bisnis strategis.
Reformasi Dasar Hukum: UU 31 tahun 1999, UU 20 tahun 2001 Pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini dilakukan oleh beberapa institusi: 1. Tim Tastipikor (Tindak Pidana Korupsi) 2. Komisi Pemberantasan Korupsi 3. Kepolisian 4. Kejaksaan 5. BPKP 6. Lembaga non-pemerintah: Media massa Organisasi massa (mis: ICW)