Altobeli Lobodally, S.Sos, M.Ikom Kekerasan di Layar Kaca
Kekerasan di Layar kaca dapat dibedakan menjadi dua hal Baik kekerasan secara verbal (berupa kata-kata) Maupun kekerasan secara non verbal (fisik) Sejumlah acara di televis kerap kali mempraktekkan kekerasan tersebut Mulai dari sinetron, ajang pencarian bakat, lawak bahkan juga tak jarang berita di televisi
Kasus kekerasan verbal di layar kaca bahkan tak jarang menyebabkan pertikaian antara para pelakunya Olga yang menyebut dokter Febby Karina telah merusak rumah tangga orang lain, dan meragukan gelar dokternya. Febby justru melaporkannya kepada pihak berwajib, hingga Olga ditetapkan menjadi tersangka Kasus Rasisme dalam Penayangan Acara "Ini Talkshow" tertanggal 2 Juli 2015
Fakta yang menyebabkan kekerasan biasa ditunjukkan pelajar/generasi muda dalam kehidupan sehari-hari, tidak terlepas dari tontonan kekerasan di layar kaca Terkadang menampilkan kekerasan sebagai salah satu jalan keluar dari penyelesaian dalam masalah. Maka, akan timbul pemikiran siapa yang kuat dialah yang menang.
Wirodono (2005) Proses wiring: proses penyambungan antara sel-sel saraf dalam otak menjadi tidak sempurna Pengaruh buruk tontonan TV pada pelajar berawal dari kebiasaan sedari kecil untuk mengkonsumsi TV Anak dibawah dua tahun yang dibiarkan orang tuanya menonton TV dapat menyebabkan terjadinya wiring.
Kemampuan televisi melakukan efek demonstrasi sebuah adegan, membuat sebuah adegan menjadi tereskploitasi lebih bombastis ketimbang media lainnya. Danesi (2012) televisi mampu membentuk cara kita memroses informasi, bahkan menurut Danesi televisi mampu membentuk sejarah sekaligus
Lobodally (2014) bahkan menyebut televisi sebagai ‘the magic box’ Pemirsa hanya punya sedikit waktu untuk merenungkan topik, implikasi dan makna yang terkandung dalam televisi Secara alamiah dan wajar, televisi mampu meringkas kognisi mengenai beberapa hal untuk diterima, dimengerti dan dipahami masyarakat sebagai sebuah kebenaran.
Kekerasan biasanya akan disertai pornografi, kalau kita teliti maka kedua unsur tersebut memiliki porsi besar, apalagi dalam film laga (hero) yang menjual seputar kekerasan. Selain itu dapat juga dijumpai dalam film kartun, film lepas, serial dan sinetron. Tidak luput juga pada berita, khususnya berita kriminal. Sangat jelas dan vulgar dalam menampilkan korban kekerasan.
Christian Science Monitor (CSM) melakukan penelitian tahun 1996 terhadap 1.209 orang tua yang memiliki anak umur 2 – 17 tahun. Mereka mengajukan pertanyaan seberapa jauh kekerasan di TV mempengaruhi anak. Hasilnya: 56% responden menjawab amat mempengaruhi. Sisanya, 26% mempengaruhi, 5% cukup mempengaruhi, dan 11% tidak mempengaruhi
Jika anda berpikir bahwa kini terlalu banyak media yang dikonsumsi anak-anak, sehingga televisi tersisihkan, ternyata anggapan ini tak sepenuhnya benar Undip (2009) Anak2 SD di Jawa Tengah masih menonton Tv setidaknya 4 jam sehari Herieningsih (2014) - Anak2 di DKI Jakarta dan Semarang menonton televisi 4,3 jam sehari Tv telah menjadi ‘baby sitter’ buat anak-anak mereka bagi para orang tua
Jika 4 dikalikan dengan 7 hari seminggu, maka ada 28 jam yang terhitung Jika 28 dikali 4 untuk sebulan maka sama dengan 112 jam yang mereka alokasikan untuk menonton dalam satu bulan Jika 112 dikalikan dengan 12 maka didapatkan angka sekitar 1344 jam mereka menonton televisi dalam setahun Dapat dikatakan masih cukup tinggi frekuensi anak-anak menonton dewasa ini
UU 32 tahun 2002 khususunya Pasal 5 belum mampu melindungi kita dari isi siaran yang berdampak buruk Pasal 5 padahal menjelasan bahwa penyiaran diarahkan untuk: Menjunjung tinggi pelaksanaan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Menjaga dan meningkatkan moralitas dan nilai-nilai agama serta jati diri bangsa; c. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia;
Valkenburg (2004) melakukan sebuah penelitian yang menarik mengenai parental mediation perilaku anak-anak menonton televisi Valkenburg menyebutkan tiga tipe mediasi orang tua: Restrictive Mediation - Menetapkan aturan menonton dan memberikan batasan waktu menonton Active Mediation Membicarakan dan mendiskusikan dengan anak mengenai tayangan dan pesan-pesannya
Valkenburg menyebutkan tiga tipe mediasi orang tua: Restrictive Mediation - Menetapkan aturan menonton dan memberikan batasan waktu menonton Active Mediation Membicarakan dan mendiskusikan dengan anak mengenai tayangan dan pesan-pesannya Coviewing Menonton TV bersama
Valkenburg menyebutkan tiga tipe mediasi orang tua: Restrictive Mediation - Menetapkan aturan menonton dan memberikan batasan waktu menonton Active Mediation Membicarakan dan mendiskusikan dengan anak mengenai tayangan dan pesan-pesannya Coviewing Menonton TV bersama
Berdasarkan peraturan penyiaran, setiap stasiun TV wajib menampilkan tulisan seperti R, SU, A, D, dan BO di sisi kanan/ kiri tayangannya. Ini berfungsi sebagai penanda bahwa acara yang ditayangkan oleh stasiun TV pada suatu waktu peruntukannya untuk siapa.
P = Pra Sekolah, acara yang ditayangkan untuk anak yang belum sekolah atau yang berusia 2-6 tahun; A = Anak-anak, acara yang ditayangkan untuk anak usia 7-12 tahun; R = Remaja, acara yang ditayangkan untuk remaja usia 13-17 tahun;
D = Dewasa, acara yang ditayangkan untuk orang dewasa berusia 18 tahun ke atas; dan SU = Semua Umur, acara yang dapat ditonton oleh semua orang yang berusia di atas 2 tahun. Sekarang ditambahkan BO (Bimbingan Orangtua), maksudnya orangtua bertugas mengawasi acara yang ditonton. Biasanya tulisan BO ini ditambahkan di acara yang tergolong kategori R (R-BO) dan A (A-BO).
SIMPANG SIUR KEPEMILIKAN TELEVISI INDONESIA