حدثنا ابوا صالح الأصبهاني حدثنا الحنيني ثنا أبو حذيفة ثنا سفيان عن طلحة بن يحيى عن أبي بردة عن موسى ومعاذ بن جبل حين بعثهما رسول الله صلى الله عليه و سلم إلى اليمن يعلمان الناس أمر دينهم : لا تأخذوا الصدقة إلا من هذه الأربعة الشعير والحنطة والزبيب والتمر
مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (7)
Contoh populer untuk hal ini adalah pembagian tanah (al-Fa’i’ atau harta rampasan perang) di Irak pada masa Umar. Illat pembagiannya adalah agar tidak menjadi monopoli orang-orang kaya saja (Q.S. al-Hasyr : 7). Pada masa Rasul kebun orang-orang Yahudi yang kalah perang di Madinah dan Khaibar dibagi-bagikan kepada kaum muslimin, tetapi Umar tidak mau membagi lahan pertanian di Irak tersebut setelah menang perang. Menurutnya pembagian itu akan melahirkan orang-orang kaya baru yang justru dihindari oleh al-Qur’an. Tanah tersebut harus menjadi milik negara dan disewakan kepada penduduk yang dikuasainya. Hasil sewa inilah yang dibagikan kepada orang-orang yang tidak mampu dan pihak yang memerlukan bantuan keuangan negara
Contoh lain adalah larangan Umar terhadap laki-laki muslim menikahi wanita ahl al-kitab, padahal didalam al-Qur’an menikahi wanita ahl kitab diperbolehkan (Q.S. al-Maidah : 5). Al-Jashshash meriwayatkan dalam tafsirnya, bahwa Hudzaifah kawin dengan orang Yahudi, maka hal itu dilarang oleh Umar dengan alasan dikhawatirkan terjadinya percampuran keturunan, dan pernikahan tersebut dilandasi faktor kecantikan semata, dimana hal ini akan mendatangkan fitnah bagi wanita-wanita muslim
Contonhnya illat untuk melakukan shalat khauf dalam al-Qur’an adalah rasa takut (Q.S. Al-Baqarah 239). Jumhur ulama menafsirkan illat tersebut secara sempit, yaitu mencakup rasa takut karena perang atau binatang buas. Tetapi saat ini ulama menafsirkan lebih luas lagi yaitu tidak hanya mencakup hal di atas, tetapi juga takut kehilangan harta, kehormatan diri, bahkan HAMKA dalam tafsirnya Al-Azhar juga menafsirkan takut dalam ayat tersebut antara lain takut kehilangan tempat duduk dalam kereta api
Contoh lain adalah definisi pencurian sebagai illat adanya hukuman (had) potong tangan. Mencuri seperti diartikan ulama dahulu dirasakan kurang cocok untuk diterapkan dalam kondisi sekarang. Hal ini disebabkan kasus pencurian saat ini dilakukan dengan modus operandi yang sangat canggih. Dari yang telah diuraikan di atas, jelaslah bahwa illat tasyri’i adalah salah satu bagian dari penalaran ta’lili yang dapat memberikan nuansa baru dalam perkembangan ijtihad dengan mencoba kembali memahami teks-teks nash dan menyesuaikan dengan situasi dan kondisi.
Contoh penggunaan illat qiyas adalah jual beli pada saat azan jum’at adalah suatu peristiwa yang sudah ditetapkan hukumnya oleh nash, yaitu makruh (al-Jum’ah : 9). Illat hukum dimakrukannya berjual beli pada waktu azan jum’at karena perbuatan tersebut melalaikan sembahyang. Kemudian mengadakan perikatan muammalah lain selain jual beli yang tidak ada ketentuan hukumnya (nash), tetapi karena illat dari peristiwa itu sama dengan illat yang terdapat pada jual beli, yaitu melalaikan sholat jum’at, maka hukum perbuatan tersebut disamakan dengan hukum berjual beli pada saat azan jum’at dikuamandangkan, yakni makruh. Bahkan haram.
Illat istihsani Salah seorang ulama’ Hanafiyah -yaitu al-Kharkhi- menyatakan bahwa yang dimaksud istihsan adalah berpalingnya seorang mujtahid dari suatu hukum pada suatu masalah dari yang sebandingnya kepada hukum lain karena adanya suatu pertimbangan yang lebih utama yang menghendaki perpalingan.
istihsan itu ada dua bentuk : Mentarjihkan qiyas yang tidak nyata atas qiyas yang nyata berdasarkan suatu dalil. Inilah yang disebut dengan qiyas khafi. Mengecualikan hukum juz’iyah dari hukum kulliyah dengan suatu dalil
Contoh Apabila jatuh suatu najis ke dalam sumur tidak mungkin membersihkannya, karena setiap air yang dituangkan ke sumur untuk mensucikannya akan menjadi najis dengan najis yang ada di dalam sumur. Untuk menghilangkan kesulitan dan memelihara manusia dari kesukaran, maka mensucikan sumur itu cukup dengan menuangkan beberapa timba air ke dalamnya.
Sisa minuman burung buas, seperti gagak, rajawali, elang, dan lain-lain, menurut istihsan adalah suci, sedangkan menurut qiyas adalah najis. Dalam qiyas, sisa minuman burung yang haram dagingnya adalah sama dengan sisa minuman binatang buas, seperti harimau dan singa. Dengan menggunakan istihsan sisa minuman burung buas adalah suci karena burung buas meskipun haram (dagingnya) dimakan, tetapi ludah yang keluar dari perutnya tidak akan dapat bercampur dengan sisa bekas air yang diminumnya, sebab burung itu minum menggunakan paruhnya, yaitu sejenis tulang yang suci. Berbeda dengan binatang buas selain burung, jika minum menggunakan mulut, yaitu sejenis daging, sehingga sisa minuman tersebut sangatlah mudah bercampur dengan ludahnya.