“Saya hanya berpikir praktis saja, Pak,” sanggah saya lagi. Masjid dan Gereja (1) Tak banyak yang terungkap, sembari memimpin pertemuan damai, JK juga membuat oret-oretan tangan tentang apa yang pertama dilakukan bila naskah perjanjian damai telah ditandatangani. Dari berbagai oretan tersebut, baik dalam perundingan damai Poso maupun Ambon, JK sangat konsisten. Dalam tahapan implementasi, semua catatan JK selalu memberi tempat utama rehabilitasi masjid dan gereja. Lalu, saya pun bertanya di sebuah keheningan malam di Ambon, “Pak, orang ‘kan bisa salat di mana saja. Rehabilitasi masjid, karena itu, masih bisa jadi nomor berikut, tak perlu nomor satu,” kata saja. “Hamid, orang berperang di Poso dan Ambon, temanya adakah soal agama. Karena itu, institusi agama yang bernama masjid dan gereja selalu menjadi simbol. Ia bisa jadi simbol itu, orang bisa marah lagi,” jawab JK. “Saya hanya berpikir praktis saja, Pak,” sanggah saya lagi. “Begini Saudara, meski mereka telah berpelukan dan berikrar untuk damai satu sama lain, tetapi jika mereka melintasi jalan dan melihat puing-puing masjid dan gereja mereka tetap di sana, memori mereka akan kembali lagi ke belakang. Masjid dan gereja yang gosong karena terbakar itu akan membangkitkan lagi semangat marah dan ingin berperang karena rumah ibadah mereka dibakar atau dirobohkan oleh orang lain. Begitu psikologinya, Hamid. Karena itu, tidak boleh ada puing-puing masjid dan gereja yang berserakan lagi. Harus segera dibangun. Kalau perlu, masjid dan gereja baru sudah dibangun sebelum jamaahnya bangun di subuh hari. Itu baru damai,” tegas JK. Setelah urusan masjid dan gereja, JK berikutnya memberi prioritas pada pemulangan para pengungsi ke tempat mereka masing-masing. “Pak, bukankah kepulangan mereka justru bisa jadi soal besar, sebab mereka masih trauma. Apa tidak sebaiknya kita lakukan kalau segalanya sudah settled down,” kata saya ke JK. “Ai, Hamid, kamu belum lulus dalam bidang perdamaian,” jawab JK. “Ah, Bapak ini tidak konsisten. Bapak sudah memberi saya penilaian bagus karena bisa merumuskan naskah deklarasi perdamaian Poso dan Ambon, dan ikut menegosiasikannya dengan pihak-pihak yang bertikai. Sekarang Bapak bilang saya tidak lulus,” saya menangkis. “Pak, boleh dong saya berpendapat, dan berbeda pendapat dengan Bapak,” kata saya pada JK. “Kapankah saya larang kamu berbeda pendapat dengan saya? Kan sudah reformasi, toh. Apa lagi keberatanmu?”, tanya JK. “Begini ya, Pak Ucup, kalau para pengungsi itu dikembalikan segera, bagaimana jaminan keamanan mereka? Apa tidak jadi soal?”, saya bertanya. “Nah, sekali lagi, kita balikkan logika itu. Kalau mereka di pengungsian, sanak keluarga mereka yang tidak ikut mengungsi pasti gelisah dan merasa mereka yang di pengungsian itu sudah mati atau diculik. Ini ‘kan bisa menimbulkan soal baru. Nanti saling tuding lagi. Padahal sanak keluarga itu masih sehat walafiat di tempat pengungsian. Jadi, jauh lebih baik mereka segera dikembalikan. Soal keamanan, itulah tugas kita semua,” tegas JK. “Lagi pula Hamid, kalau pengungsi, pasti secara kejiwaan, mulai terbangun persepsinya bahwa kita memang sudah damai. Tak ada lagi soal. Ini yang harus dibangun. Biar semua orang tahu dan mengakui bahwa memang Poso dan Ambon sudah damai,” kata JK lagi.