Evaluasi Pendaftaran Partai Politik Peserta Pemilu: Konsistensi Regulasi dan Upaya Mewujudkan Keadilan Elektoral Jakarta, 22 Oktober 2017
Pendahuluan Partai politik peserta pemilu merupakan partai politik yang telah ditetapkan/lulus verifikasi oleh KPU (vide Pasal 173 ayat (1) UU No. 7/2017 tentang Pemilihan Umum). Persyaratan partai politik peserta pemilu diatur rinci dalam Pasal 173 ayat (2) UU 7/2017. Ketentuan lebih lanjut tentang pendaftaran, verifikasi, dan penetapan partai politik peserta pemilu diatur dalam Peraturan KPU No. 11/2017. Tahapan pendaftaran, verifikasi, dan penetapan partai politik peserta pemilu berlangsung 3 Oktober – 17 Februari 2018 (vide Peraturan KPU 7/2017). Pendaftaran: 3-16 Oktober 2017. Penelitian administrasi: 17 Oktober – 11 Desember 2017. Verifikasi faktual: 15 Desember 2017 – 3 Februari 2018. Penetapan partai politik peserta pemilu: 17 Februari 2018. Pengundian dan penetapan nomor urut serta pengumuman partai politik peserta pemilu: 18 Februari 2018.
Partai Politik dapat menjadi Peserta Pemilu wajib memenuhi persyaratan (Pasal 173 ayat (2) UU 7/2017 jo Pasal 10 ayat (1) PKPU 11/2017: berstatus badan hukum sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang tentang Partai Politik; memiliki kepengurusan di seluruh daerah provinsi; memiliki kepengurusan paling sedikit di 75% (tujuh puluh lima persen) jumlah daerah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan; memiliki kepengurusan paling sedikit di 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di daerah kabupaten/kota yang bersangkutan; menyertakan paling sedikit 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan pada kepengurusan Partai Politik tingkat pusat, dan memperhatikan 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan pada kepengurusan Partai Politik tingkat provinsi dan kabupaten/kota; memiliki anggota paling sedikit 1.000 (seribu) orang atau 1/1.000 (satu perseribu) dari jumlah Penduduk pada kepengurusan Partai Politik sebagaimana dimaksud dalam huruf c yang dibuktikan dengan kepemilikan kartu tanda anggota dan kartu tanda penduduk elektronik atau Surat Keterangan; memiliki Kantor Tetap untuk kepengurusan pada tingkatan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sampai berakhirnya tahapan Pemilu; mengajukan nama, lambang, dan tanda gambar Partai Politik kepada KPU; menyerahkan nomor rekening atas nama Partai Politik tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota kepada KPU; dan menyerahkan salinan AD dan ART Partai Politik.
Dr. Marcin Walecki (pakar partai politik internasional asal Polandia) dalam ceramahnya di Jakarta (2016) menyebutkan persyaratan menjadi parpol berbadan hukum dan parpol peserta pemilu di Indonesia adalah salah satu yang paling berat di dunia. Persyaratan yang berat tersebut diformulasikan dalam berbagai dokumen administratif mulai dari kepengurusan, kepemilikan kantor, sampai kartu tanda anggota (KTA). “Rezim administrasi” yang rumit dan kompleks ini mewajibkan KPU memastikan validitas dan faktualitas keterpenuhan persyaratan oleh partai politik. Karenanya, sebagai konsekwensi logis dari kompleksitas rezim administratif tersebut adalah sebuah keniscayaan bila KPU menggunakan sistem teknologi informasi sebagai intrumen untuk memastikan KPU bisa melaksanakan perintah UU, bekerja benar, akurat, berkepastian hukum, tertib, proporsional, profesional, akuntabel, efektif, dan efisien sesuai prinsip-prinsip penyelenggaraan pemilu. Dalam konteks kompleksitas teknis pelaksanaan pemilu, Sipol menemukan esensi kehadirannya. Muncul temuan terkait manipulasi data keanggotaan (asal comot dari biro jasa perijinan dan keuangan, serta jasa penyedia KTP), misal di Brebes.
SIPOL dan Demokratisasi Intenal Parpol Sebelum mendaftar sebagai calon Peserta Pemilu, Partai Politik wajib memasukkan data Partai Politik ke dalam Sipol (vide Pasal 13 ayat (1) PKPU 11/2017). Data Partai Politik yang diunggah ke dalam Sipol mencakup (vide Pasal 13 ayat (2) PKPU 11/2017): data kepengurusan Partai Politik tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan; data keanggotaan Partai Politik tingkat kabupaten/kota; dan data pendukung sebagai pemenuhan syarat Partai Politik menjadi Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a, huruf e, huruf g, huruf h, dan huruf I PKPU 11/2017. Partai Politik yang tidak memasukkan data ke dalam Sipol sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tidak menyerahkan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (4), tidak dapat mendaftar sebagai Peserta Pemilu (vide Pasal 13 ayat (5) PKPU 11/2017). Sipol “sekedar” mengkonsolidasi segala persyaratan yang sudah ditentukan Pasal 173 ayat (2) UU 7/2017 tentang Pemilihan Umum. Penyajian keterpenuhan persyaratan peserta pemilu dalam bentuk instrumen teknologi informasi. Sipol bisa menjadi instrumen pelembagaan dan penguatan struktur partai politik yang akan berkontribusi memudahkan kerja-kerja pemenangan pemilu. Sipol sebagai modalitas untuk strategi pemenangan pemilu 2019. Sipol memperkuat basis data keanggotaan parpol sesuai amanat UU Partai Politik yang menempatkan anggota sebagai pemegang kedaulatan dalam partai. Konsolidasi anggota parpol akan memperkuat tuntutan atas demokratisasi internal partai. Faktanya Partai butuh anggota. Anggota tidak hanya formalitas. Anggota punya posisi tawar, selain sebagai target suara.
Evaluasi Peraturan KPU sebagai dasar pelaksanaan teknis pendaftaran, penelitian administrasi, dan verifikasi faktual parpol peserta pemilu baru diundangkan Kemenkumham pada (tertanggal) 20 September 2017. Publikasi resmi PKPU ini baru dilakukan pada 27 September 2017 melalui laman KPU. Pasal 180 UU 7/2017 memerintahkan Bawaslu dan jajaran melakukan pengawasan tahapan verifikasi parpol. Namun sampai berakhirnya pendaftaran parpol, Peraturan Bawaslu yang mengatur ini belum juga disahkan. Informasi yang diperoleh karena belum diundangkan oleh Kemenkumham. Terjadi perbedaan pendapat antara sesame penyelenggara terhadap kehadiran Sipol. Bawaslu melalui Surat 0890/Bawaslu/PM.00.00/IX/2017 menyatakan Sipol tidak menjadi syarat wajib dalam pendaftaran, penelitian administrasi, dan verifikasi faktual parpol peserta pemilu. Meski telah merilis portal infopemilu.kpu.go.id per 17 Oktober 2017. Sipol awalnya tidak transparan dan aksesibel bagi pengawas pemilu maupun publik. KPU mengeluarkan SE 585 tertanggal 16 Oktober 2017 yang memperpanjang waktu pengunggahan Sipol sampai 1x24 jam setelah penutupan pendaftaran. Diskresi yang tidak ditemukan nomenklaturnya dalam UU PKPU 7/2017 (tahapan, program, dan jadwal pemilu 2019) maupun PKPU 11/2017. Evaluasi pengawasan Bawaslu menemukan troubleshooting, traffic uploading data, dan kendala SIPOL tidak bisa mengidentifikasi dokumen ganda (seperti, PSI) serta tidak ada pemberitahuan (notifikasi) pada saat melakukan upload dokumen SIPOL.
Per 17 Oktober 2017, tercatat 14 parpol yang dokumennya dinyatakn lengkap dan 13 parpol yang dokumennya tidak lengkap. Jika merujuk Pasal 13 ayat (5) PKPU 11/2017, maka 13 parpol ini “tidak dapat mendaftar sebagai Peserta Pemilu”. Terjadi kegamangan terkait upaya hukum yang dapat ditempuh oleh 13 parpol yang dokumennya dinyatakan tidak lengkap tersebut sebab terhadap 13 parpol ini tidak ada dokumen baik berita acara maupun keputusan yang diberikan KPU terkait status mereka. Bawaslu sesuai Pasal 460 dan Pasal 466 UU 7/2017 memiliki kewenangan menyelesaikan pelanggaran administratif pemilu dan sengketa proses pemilu yang putusannya bersifat eksekutorial. Pelanggaran administratif Pemilu meliputi pelanggaran terhadap tata cara, prosedur, atau mekanisme yang berkaitan dengan administrasi pelaksanaan Pemilu dalam setiap tahapan Penyelenggaraan Pemilu (vide Pasal 460). Sedangkan Sengketa proses Pemilu meliputi sengketa antar-Peserta Pemilu dan sengketa Peserta Pemilu dengan Penyelenggara Pemilu sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, keputusan KPU Provinsi, dan keputusan Kabupaten/Kota (vide Pasal 466 UU 7/2017). Putusan Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota untuk penyelesaian pelanggaran administratif Pemilu berupa: a. perbaikan administrasi terhadap tata cara, prosedur, atau mekanisme sesuai dengan ketentuan peraturan penundang-undangan; b. teguran tertulis; c. tidak diikutkan pada tahapan tertentu dalam Penyelenggaraan Pemilu; dan d. sanksi administratif lainnya sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini (vide Pasal 461 ayat (6) UU 7/2017). Sangat disayangkan, sampai hari ini Peraturan Bawaslu mengenai penanganan pelanggaran administratif maupun penyelesaian sengketa proses pemilu belum juga diundangkan.
Rekomendasi Harus dibangun protokol komunikasi dan relasi yang terlembaga baik antara KPU dan Bawaslu agar tidak terjadi lagi perbendaan pandangan terkait implementasi dan legitimasi Peraturan KPU oleh sesama penyelenggara. Cukuplah peserta pemilu yang saling berkompetisi. Terlambat atau mepetnya pengundangan Peraturan KPU dan/atau PeraturanBawaslu yang merupakan intrumen hukum teknis dalam penyelenggaraan pemilu adalah preseden buruk yang mestinya tidak berulang. Kemenkumham semestinya peka terhadap penyelenggaraan pemilu yang terikat tahapan, program, dan jadwal yang ketat. KPU dan Bawaslu diharap bisa tegas dan proaktif merespon situasi ini agar tidak perlu terjadi di masa depan dan tidak berakibat melemahkan kinerja lembaga penyelenggara pemilu. Demi kepastian hukum dan keadilan elektoral, Bawaslu harus segera mengesahkan Peraturan Bawaslu tentang penanganan pelanggaran administratif dan Peraturan Bawaslu tentang Penanganan Sengketa Proses Pemilu. Penggunaan teknologi informasi oleh KPU sejak perencanaannya harus transparan, memberi akses pada pemangku kepentingan terkait, dan diujipublikan secara inklusif sehingga tidak ada pemangku kepentingan yang ditinggalkan. Transparansi dan akuntabilitas adalah solusi terbaik untuk menjaga kepercayaan publik dan kemandirian kerja penyelenggara pemilu. Dengan tetap memastikan keamanan sistem dan perlindungan data yang ada. KPU perlu lebih maksmimal dan responsif dalam merespon kendala dan problem teknis dalam tahapan pendaftaran, penelitian administrasi, dan verifikasi faktual parpol peserta pemilu. Sehingga seluruh parpol dapat terlayani dengan baik dan tidak ada disparitas perlakuan antara yang diberikan KPU RI dengan apa yang dimaknai oleh jajarannya di daerah. Satu pemahaman, satu pemaknaad, satu standar layanan.
Parpol yang merasa hak-haknya diciderai dalam proses pendaftaran parpol peserta pemilu harus diberikan mekanisme keadilan elektoral untuk memulihkan hak-hak yang dianggapnya telah terciderai. Adil dan berkepastian hukum adalah asas dan prinsip yang menjadi salah satu esensi penyelenggaraan pemilu yang tidak boleh dinegasikan apalagi disimpangi oleh pihak manapun. Penanganan pelanggaran administratif maupun sengketa proses pemilu adalah mekanisme/upaya hukum yang bisa ditempuh parpol-parpol yang merasa dirugikan pada masa pendaftaran. Dimensi keadilan para pihak bisa lebih optimal jika jalur sengketa proses pemilu (vide Pasal 466 UU 7/2017) yang dipilih untuk digunakan. Sebab apabila dalam penanganan Sengketa Proses dilakukan oleh Bawaslu tidak diterima oleh para pihak, para pihak dapat mengajukan upaya hukum kepada pengadilan tata usaha negara (vide Pasal 469 UU 7/2017). Sementara pada penanganan pelanggaran administratif oleh Bawaslu, putusannya bersifat final. Oleh karena itu, sebaiknya KPU mengeluarkan berita acara/surat keputusan berkaitan dengan status 13 parpol yang dokumennya tidak lengkap.
Terima kasih…….