PERJALANAN HIDUP MANUSIA : DARI ALLAH, KEMBALI KE ALLAH

Slides:



Advertisements
Presentasi serupa
DENGAN MEMBACA BAB KE-2 TENTANG Iman Kepada Allah
Advertisements

“... dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati (Nya).”
Oleh: Prof. Dr. M. Ghalib M., M.A
KEMBALI FITRAH KEMBALI KE SYARIAH
Hakikat Manusia dan Perkembangannya
A. Makna Anak Didik dan Hakikatnya Anak didik adalah anak (manusia terdidik) yang sedang belajar, berguru dan bersekolah. Dalam terminologi (istilah) lain.
ISLAM DAN ILMU PENGETAHUAN
AQIDAH Mmtc, ‘ 11.
Agama Islam Pertemuan ke-3.
PANCASILA SEBAGAI SISTEM FILSAFAT
ETIKA , MORAL & AKHLAQ BY: FIRNAWIDA,M.Pd.I.
Pengalaman Religius Keyakinan akan adanya Allah [Iman] tidak lepas dri kehidupan manusia, maka kepercayaan dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman. Ada.
Keterpaduan Islam dan Iptek
KELOMPOK 2 ANISA KHAFIDA MADINATUL MUNAWAROH NURUL HASANAH
 Abdul Ghofur  Setiawan Gusmadi  Tedi Hendrawan  Afniati Fitriah Duru  Indra arif bismantoro
TAK KENAL MAKA KENALAN Nama : Heryani, S.Kep TeTaLa: Riwayat Pendidikan:  SD,SLTP Tulang bawang  SPK depKes Baturaja 2002  STIKES Binahusada.
IBNU ARABI (560 .H/1164 M – 638 H/1240 M) Muhammad Ibn ‘Ali Ibn Muhammad Ibn al-‘Arabi al-Tha’i al-Hatimi.
Manusia dan Agama.
Athik Dwi Prastiwi D Menurut At-Taftazani, tasawuf falsafi mulai muncul dalam Islam sejak abad keenam Hijriyah. Sejak itu, tasawuf ini terus.
BERIBADAH DENGAN IKHLAS
Ma’rifatul Insan Kompetensi Dasar : Mengetahui asal usul manusia
TEORI SASTRA ISLAM DALAM PERSPEKTIF SHALIH ADAM BAYLU
IMAN KEPADA RASUL.
NAMA : - Maya Indah. S ( ) -Sri Hardiyanti ( )
Assalamu'alaikum ETIKA, MORAL DAN AKHLAQ Oleh: Nurhasan, M. Ag Hmmm…..
Hakekat Manusia dan Pengembangannya
BAB II IMAN DAN TAQWA.
Studi Islam 2 Wujudullah Tahun Akademik 2015
A. Manusia dan Alam Semesta
ETIKA, MORAL DAN AKHLAK DALAM ISLAM
    
Manusia dan alam semesta Manusia menurut agama islam
Kur Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti Untuk SMP Kelas VII.
Oleh: Rohmansyah, S.Th,I., M.Hum
AKHLAQ KEPADA ALLAH SWT
KONSEP (PENGERTIAN), HUKUM, TUJUAN, URGENSI, DAN HAKIKAT DAKWAH
ETIKA, MORAL DAN AKHLAK DALAM ISLAM
Filsafat Ketuhanan Muhammad Noor, M.H.I.
Kedahsyatan Dua Kalimah Syahadat
BHP FILSAFAT ILMU KELOMPOK A
Membangun Bisnis dengan Nilai-nilai Islam
MATA KULIAH TAUHID AKIDAH AKHLAK Dosen: Sarah Wulan, S.Ag, MPd
Perkuliahan Tatap Muka Ke-4 Ilmu Tasawuf 8 November 2008
Azaria Cahyarani Muhammad Dicky Niea Ardella Wahyu Sada
SUDAHKAH ANDA SIAP??? BERKONSENTRASILAH!!!!!.
HAKEKAT MANUSIA MENURUT ISLAM
HAKIKAT MANUSIA MENURUT ISLAM
SUDAHKAH ANDA SIAP??? BERKONSENTRASILAH!!!!!.
HAKIKAT MANUSIA MENURUT ISLAM
Tuhan Yang Maha Esa dan Ketuhanan
Tuhan Yang Maha Esa dan Ketuhanan
KONSEP TUHAN MANUSIA & ALAM
HAKIKAT PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
STUDI ISLAM 3 HAKIKAT ISLAM DAN KARAKTERISTIKNYA
Asal mula agama? Ketika manusia menemukan tiga hal: kebenaran, kebaikan dan keindahan , gabungan ketiganya dinamakan suci, manusia ingin mengetahui siapa.
HUBUNGAN MANUSIA DENGAN AGAMA
3.
UQDATUL KUBRO Dari mana saya? Mau apa saya? Mau kemana saya?
Eksplorasi ayat-ayat al-qur’an dengan ilmu
Assalamualaikum wr. Wb. Alik Murih Prabowo A
O. Solihin Blog: Akidah Islamiyyah Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang.
HAKIKAT MANUSIA MENURUT ISLAM
AL-’AQIDAH AL-ISLAMIYAH
ASSALAMUALAIKUM.
O. Solihin Blog: Akidah Islamiyyah Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang.
(E 11) اَلتَّوَازُنُ.
Pengertian Agama Islam
IMAN KEPADA MALAIKAT. 1. Pengertian malaikat Allah Kata ‘malaikat’ berasal dari kata malak, bentuk jamaknya adalah malaikah. Kata malak memiliki arti.
IMAN KEPADA KITAB ALLAH SWT. DENGAN MEMBACA Y  N  Y  QW  Y  W  N  WQ  Y  TPV  Y  TN Y 
Kusandarkan aktifitasku hanya kepada Allah
Transcript presentasi:

PERJALANAN HIDUP MANUSIA : DARI ALLAH, KEMBALI KE ALLAH

Wahdah al-Wujud Islam, menurut ‘irfan, bukan hanya menekankan pada kepercayaan kesatuan/ketunggalan Tuhan, melainkan kesatuan/ketunggalan semua realitas (semua yang ”ada”, wujud). Dengan kata lain, meski sama sekali tak mengurangi sifat transendensi (tanzih) Tuhan, cara pemahaman teologis ini juga menempatkan Tuhan sebagai tidak terpisah dari ada-ada yang lain. Atau, tepatnya, ada-ada yang lain – yang nota-bene tercipta/bersumber/terlahir dari-Nya – sesungguhnya adalah bagian atau manifestasi (pengejawantahan, tajalliy) dari wujud Tuhan juga. Jadi, selain bersifat transenden, Tuhan juga bersifat imanen (tasybih, menyatu dengan alam – ’alam, yakni segala sesuatu yang ”selain” Tuhan, ma siwa Allah).

Wahdah al-Wujud (2) Keseluruhan ada (wujud atau eksistensi) dan apa saja yang mengada atau teradakan (maujud) -- merupakan ketung­gal­an, kesatuan. Be­ragam realitas ”non-Tuhan” itu tak me-wujud sendiri melainkan “se­­­kadar” sebagai pengungkapan dari realitas atau wujud— Realitas atau Wujud—tunggal. Itu  semua, baik yang bersifat indrawi maupun intelek­tual (noninderawi), hanyalah seperti bayangan. Yakni, sebagaimana bayangan yang bermain dalam pi­­kir­an kita sebagai citra-kedua se­buah objek di mata seorang yang juling. Meskipun demikian, tidak dikatakan bahwa realitas-realitas itu semu. Semuanya itu benar-benar ada, hanya saja keber-ada-an mereka bergantung dan meminjam dari Ada atau Wujud-nya Tuhan. Dalam cara pemahaman seperti ini – yakni dalam sifat-gandanya sebagai Tunggal, Yang Melahirkan yang majemuk -- Tuhan disebut sebagai Yang Tunggal/Yang Majemuk (Al-Wahid Al-Katsir).

Wahdah al-Wujud (3) Wujud tak hanya berarti “ber-ada”, me­lainkan juga “menemukan” dan “ditemukan” – sebagaimana arti-asli kata ini. De­ngan kata lain, wujud menampilkan bukan hanya eksistensi, melainkan juga kesadaran-diri. Ia ”sadar” tentang diri dan apa-apa yang ada di sekitarnya). Nah, dalam menyadari dirinya sendiri  Ia me­mahami kemungkinan-ke­mung­kinan yang tak ter­batas dan sempurna mengenai dirinya sendiri. Maka, lahirlah dari kesadaran diri Wujud Ketuhanan akan Diri-Nya sendiri ini pengungkapan-pengungkap­an dalam berbagai modus, yang bukan hanya beragam, melainkan juga bertingkat-tingkat, meski tetap dalam ma­triks suatu wujud tunggal. Inilah yang disebut sebagai tajally (pengejawantahan), yang paralel dengan  emanasi (luberan) Tuhan dalam filsafat.

Wahdah al-Wujud (4) Wujud bisa dianalogikan dengan ca­ha­ya, sementara maujud-maujud (segala sesuatu yang terwujud) analog dengan war­na yang spesifik dan khas. Meski termanifestasi dalam suatu spektrum warna, wujud sesungguhnya tunggal. Setiap war­na tak memiliki eksistensi tanpa adanya cahaya tapi, pada saat yang sama, realitas masing-masing warna tak kemudian hilang oleh kenyataan bahwa warna-warna itu merupakan unsur-unsur sua­tu cahaya tunggal. Demikian pula, meski setiap warna identik dengan cahaya, tapi cahaya tetap saja bersifat khas dan tak bisa dibandingkan dengan masing-masing warna, bahkan dengan jum­lah total warna-warna. Dengan demikian, se­gala se­­­su­atu identik dengan Wujud dan sekaligus ber­beda dengannya. Tuhan mengejawantah di alam dan dalam diri manusia, tapi Tuhan tak identik dengan alam, dan manusia bukanlah Tuhan. Alam dan Manusia mengambil bagian dalam Wujud Tuhan, tapi manusia dan alam bukanlah Tuhan.

Wahdah al-Wujud (5) Adalah keterbatasan kemampuan penampakan (persepsi) yang membuatnya gagal untuk melihat ketunggalan wujud ini. Kenyataannya, jika seseorang telah dapat mencapai maqâm (tataran) spiritual tertentu dalam ke­hidupan spiritualnya, maka ia akan bisa melihat be­tapa—meski, dilihat dari satu sisi, Wujud Allah berbeda dari wujud-wujud maujud (selain) Allah, di lain sisi, sesungguhnya keseluruhan wujud adalah bersifat Tunggal.

Beberapa Perumpamaan Huruf-huruf yang ditulis oleh tinta pada hakikatnya tak pernah wujud sebagai huruf-huruf. Karena huruf pada hakikatnya adalah berbagai bentuk dari (adanya) tinta yang dibentuk berdasarkan ke­sepakatan. Keberadaan huruf-huruf itu pada hakikat­nya tak lain dan tak bukan adalah keberadaan tinta. Cara me­lihat yang benar adalah, pertama, melihat ke­ber­­­­ada­an tinta di semua huruf itu dan, kemudian, me­lihat huruf-huruf itu sebagai berbagai modifikasi (per­ubah­an bentuk) dari tinta yang dipakai.

Beberapa Perumpamaan (2) Samudra, selama ia adalah sa­mudra, tak pernah dapat memisahkan-diri dari ge­lombang-gelombang. Tak pula gelombang bisa memi­sahkan diri dari samudra. Gelombang—sesungguhnya juga sungai—tak lain adalah “pengungkapan” samudra ke dalam bentuk gelombang dan sungai. Selanjutnya, bisa dikatakan bahwa gelombang-gelombang dan su­ngai-sungai bukanlah samudra, tapi di sisi lain kese­mua­nya itu sesungguhnya satu saja, yakni samudra. “Samudra,” kata ‘Amuli, “jika ditetapkan (bentuknya) sebagai gelombang, disebut gelombang. Jika ditetap­kan dalam bentuk sungai, ia menjadi sungai. Dengan cara yang sama, samudra bisa disebut sebagai salju, hujan, es, dan sebagainya. Tapi dalam hakikatnya, sama sekali tak ada sesuatu yang lain kecuali samudra.

Hirarki Alam Martabat Dzat al-Wujud atau Ghayb al-Ghuyub Misteri Mutlak) . I Martabat Ahadiyah (Martabat al-Kanz) (Ruhani-Tunggal) Martabat Wahidiyah (Martabat Asma’ dan Sifat/al-a’yan al-tsabitah) (Ruhani-Majemuk) Alam Mitsal (Alam Khayal/Alam Barzakh) (Antara Ruhani dan Material-Majemuk) Alam Syahadah (Empiris) (Materi-Majemuk)

Simbol Hirarki Alam

Dasar-dasar Naqli Tiada tuhan (wujud) kecuali Tuhan/Allah (Wujud) (Syahadat) Katakan : “Tuhan itu Ahad (QS. 112 : 1) Dia yang Pertama dan Terakhir, Dia yang Lahir dan Yang Batin (57 :3) Tak ada sesuatu yang menyamai-Nya (42:11) Tuhan adalah Cahaya Langit dan Bumi (24:35) Dia lebih dekat kepadamu dari urat lehermu (50 : 16) Dia selalu bersamamu di mana pun kamu berada (5 :4)  

Karier manusia sesungguhnya adalah menempuh dua busur turun naik Karier manusia sesungguhnya adalah menempuh dua busur turun naik. Busur turun (al-qaws al-nuzul) adalah busur penciptaan melalui berbagai tingkatan wujud tersebutg di atas. Sementara busur naik adalah tasawuf : yakni perjalanan kembali kepada Allah melalui penanaman akhlak Allah di dalam diri kita. Inilah, menurut sebagian ‘arif, yang dirujuk al-Qur’an dalam ayat (yang biasa dikaitkan dengan peristiwa mi’raj) berikut ini : Thumma danā fatadallā fakāna qāba qawsayni aw adnā” “Dia (Allah) makin dekat kepadanya (Muhammad saw.), dan makin dekat lagi. Dan dia pun mendekat hingga sejarak dua busur (qaba qawsayn), atau lebih dekat lagi.” (QS.

Busur Turun, Busur Naik

Tasawuf Tasawuf berarti “(proses) mengaktualkan potensi akhlak Allah yang ada di dalam diri kita, dan menjadikannya akhlak kita” (al-takhalluq bi akhlaq Allah). Sebuah definisi yang ringkas dan simple, tapi dibaliknya terkandung pemikiran yang sangat mendalam. Dan ini terkait dengan gagasan tentang manusia – bahkan alam semesta – sebagai tajally (pancaran, manifestasi) Allah Swt. Yakni, manusia sebagai pembawa ruh-Nya, yang dicipta atas fitrah keilahian. Dengan demikian, kepenuhan dan kebahagiaan hidupnya -- bukan hanya di akhirat, melainkan juga dunia -- tergantung pada keberhasilannya mengaktualkan potensi keilahian-Nya itu.

Tasawuf (2) Berakhlak dengan akhlak Allah identik dengan menanamkan asma’/sifat-Nya di dalam diri kita. Dengan kata lain, menjadikan akhlak kita berakar pada akhlak-Nya. Ibn ‘Arabi segera melihat bahwa kesamaan kata dasar khulq (bentuk tunggal akhlaq) dengan kata khalq (ciptaan) menunjukkan bahwa sesungguhnya potensi akhlak Tuhan sudah tertanam dan menjadi bawaan (fitrah/khalq) manusia – betapa pun masih potensial. Syaikh menyebutnya sebagai kesiapan (jibillah, disposisi). “Dan hadapkanlah wajahmu dengan hanif kepada al-din (cara hidup Islam). Fitrah Allah yang atasnya dia diciptakan (fithrah Allah fathara al-nas ‘alay-ha). Tak ada perubahan dalam ciptaan (khalq) Allah. (QS. : ). (Proses) menuju hidup berakhlak dengan akhlak Allah, itulah tasawuf,

Tasawuf (3) Jika dikelompokkan, Allah memiliki asma’ yang termasuk dalam kelompok asma’ jalaliyah (nama-nama yang mencerminkan kedahsyatannya yang menggentarkan, tremendum) dan kelompok asma’ jamaliyah (nama-nama yang mencerminkan keindahan dan kelembutannya yang memesonakan, fascinans). Manusia harus mampu menanamkan semuanya itu di dalam dirinya, dalam kombinasi yang lengkap dan utuh. Mengambilnya secara parsial dan tidak seimbang akan justru menjadikan akhlak yang berkembang bersifat madzmumah (akhlak yang buruk), bukan justru al-akhlaq al-karimah (akhlak mulia) yang dianjurkan. Kombinasi utuh-menyeluruh dan seimbang ini diwakili oleh nama “Allah” sebagai nama-penghimpun (al-ism al-jami’) semua nama Allah yang tak terbatas itu.Dan, sebaliknya. Nah, melanjutkan tamsil warna di atas, berakhlak dengan akhlak Allah sama dengan menanamkan akhlak Allah itu dalam kombinasi yang utuh dan pas sehingga unsur-unsur akhlak itu menghasilkan warna cahaya putih yang seimbang.

Tasawuf (4) Kombinasi seimbang dari berbagai asma’ Allah itu tidak bersifat netral – yakni gabungan dari yang jamaliyat dan jalaliyat, atau seluruh spektrum-warna sifat-Nya dengan sama kuat – melainkan sebagai didominasi dengan yang jamaliyat. Terkait dengan ini Sang Syaikh merujuk pada berbagai ayat al-Qur’an yang bermakna seperti ini, termasuk : “Kasih-sayangnya meliputi segala sesuatu.” Juga hadis qudsi yang berbunyi “ Kasih-sayang-Ku mendominasi murka-Ku”. Dengan demikian, menanamkan akhlak Allah identik dengan menanamkan sifat cinta di dalam diri kita dan menjadikannya sumber bagi setiap tindakan kita, baik dalam berinteraksi dengan Allah, manusia, maupun alam semesta selebihnya.

Tasawuf (5) Dengan kata lain, bertasawuf adalah berjalan kembali kepada Allah. Dari Allah, kembali kepada Allah. Innaa lil-Lah wa innaa ilay-Hi raji’un. Kita adalah milik Allah, dan kepadanya kita kembali. Dari awal (mabda’) yang bersifat ruhani-keilahian, kembali kepada akhir/tempat kembali (ma’ad) yang bersifat ruhani-keilahian pula. Tasawuf adalah mendaki busur naik (qaws al-su’ud) kepada Allah, setelah sebelumnya kita memancar dari Allah melalui busur turun (qaws al-nuzul). Pendakian dilakukan dengan menanamkan akhlak Allah secara seimbang, yang secara keseluruhannya tertaklukkan atas sifat kasih-sayang.