Hukum Waris Adat
Pengertian hukum adat waris menurut Prof Soepomo Menurut prof soepomo : hukum adat waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda (immateriele goderen) dari suatu angkatan manusia (generasi) kepada turunanya Menurut Prof TerHaar : hukum adat waris meliputi peraturan hukum yang bersangkutan dengan proses yang sangat mengesankan serta yang akan selalu berjalan tentang penerusan dan pengoperan kekayaan materiil dan imateriil dari suatu generasi kepada generasi berikutnya.
Proses peralihan dapat dimulai ketika pewaris masih hidup, 3 (tiga) unsur dalam proses waris: Adanya pewaris yang meninggalkan harta kekayaan Adanya beberapa ahli waris yang berhak menerima harta waris Adanya harta waris yang ditinggalkan Sistem kewarisan adat: Sistem kewarisan individual harta wari dibagi-bagikan antra para ahli waris contohnya : masyarkat suku jawa Sistem kewarisan kolektif -harta waris diwarisi oleh sekumpulan ahli waris semacam badan hukum -harta waris disebut “harta pusaka” - harta waris tidak dapat dibagi-bagi diantara para ahli waris -Ahli warisnya anya memiliki hak pakai atas harta waris, contohnya : Minangkabau
3. Sistem kewarisan mayorat Harta waris secara keseluruhan atau sebagian besar diwarisi oleh seorang anak saja, contohnya: bali, hak mayorat pada anak laki- laki tertua. Hutang pewaris putusan landraad purwerejo tanggal 23 maret 1938 adalah “ ahli waris bertanggungjawab atas hutang pewaris, sekedar harta waris mencakupi” menurut Prof. Djojodiguno “ seringkali ahli waris membayar juga kekurangannya dengan maksud agar tidak memberatkan pewaris dunia akhirat”
Pembagian harta peninggalan “pembagian harta waris dilakukan atas dasar kerukunan atau kekeluargaan” Para ahli waris - berdasarkan Kep. MA tanggal 1 November 1961 Reg No.179 K/sip/1961: “anak perempuan dan anak laki-laki dari seorang peninggal warisan bersama berhak atas harta warisan dalam arti bahwa bagian anak laki-laki adalah sama dengan anak perempuan” Anak yang lahir diluar perkawinan, dalam masyarakat jawa anak luar kawin hanya berhak menjadi ahli waris atau menerima harta peninggalan ibu dan harta peninggalan kerabat/family dari pihak ibu.
Anak angkat: di bali kedudukan anak angkat sama dengan anak kandung dan anak angkat melepas kan pertalian keluarga dengan orangtua kandung sedangkan pada masyarakat jawa dan sunda anak angkat tidak memutus pertalian ke;luarga dengan orangtua kandungnya. Abak tiri, anak tiri yang hidup serumah dengan ibu kandung dan bapak tiri hanya berhak atas harta peninggalan ibu kandungnya anak tiri dapat mendapatkan penghasilan dari bagian harta peningglan bapak tiri yang diberikan kepada ibu kandungnya sebagai nafkah janda (menurut landraad purwerejo, 14-8-1973) Kedudukan janda, janda bukan ahli waris karena bukanlah keturunan pewaris atau orang luar dan menurut Kep. MA tanggal 20 april 1960 reg No. 110/K/SIP/1960: janda juga menjadi ahli waris dari almarhum suaminya:
Thank’s