UU Pemilu & Konsolidasi Sistem Presidensial Indonesia Oleh Syamsuddin Haris
Sistem Pemilu yang Ideal? Banyak yang bertanya tentang format atau sistem pemilu yang ideal. Pertanyaannya, ideal bagi siapa? Bagi parpol atau bagi pemerintah? Karena ideal bagi parpol atau pemerintah belum tentu ideal bagi rakyat. Karena itu konsep ideal semestinya mengacu untuk semua pemangku kepentingan, yakni kepentingan kolektif bangsa kita? Pada dasarnya tidak ada jawaban tunggal tentang “sistem pemilu ideal”, karena sangat tergantung pada konteks politik dari pemilu di satu pihak, dan tujuan dari pemilu itu sendiri di lain pihak; Semua sistem pemilu memiliki kelebihan dan kelemahan atau kekurangan yang melekat pada dirinya sendiri, sehingga pilihan sistem pemilu sangat tergantung pada kebutuhan suatu negara, sejarah politik, dan potensi konflik sosial yang mungkin terjadi di balik pilihan2 sistem pemilu;
Apa Masalah Pemilu-pemilu Kita? (1) Pemilu-pemilu (dan Pilkada) semakin bebas, demokratis, dan bahkan langsung, tapi tidak kunjung menghasilkan pemerintahan yang efektif, sinergis, serta berorientasi kepentingan rakyat; Relatif rendahnya kualitas akuntabilitas para wakil rakyat dan pejabat publik yang dihasilkan pemilu-pemilu dan pilkada seperti tercermin dari masih maraknya kasus korupsi dan penyalahgunaan dana publik untuk kepentingan pribadi dan partai; Intensitas penyelenggaraan pemilu dan pilkada terlampau sering sehingga berdampak pada rendahnya tingkat partisipasi sebagai akibat kejenuhan publik;
Apa Masalah Pemilu-pemilu Kita? (2) Skema penyelenggarakan pemilu yang didahului Pileg sebelum Pilpres tidak sesuai sistem presidensial. Skema yang anomali ini berdampak pada mekanisme Pilpres yang terpenjara oleh hasil Pileg melalui ketentuan pemenuhan ambang batas pencalonan Presiden. Seperti diketahui, untuk mengajukan pasangan capres/cawapres, parpol dan gabungan parpol harus memperoleh minimal 25 persen suara secara nasional atau 20 persen kursi DPR; Singkatnya, pemilu-pemilu (Pileg, Pilpres dan Pilkada) kita belum dirancang untuk memperkuat skema demokrasi presidensial dan juga tidak didesain dalam rangka meningkatkan efektifitas dan sinergi pemerintahan hasil pemilu.
Apa Konteks & Tujuan Pemilu? Perlu disadari bahwa konteks politik dari pemilu kita adalah kebutuhan pelembagaan sistem demokrasi presidensial yang efektif. Konsekuensi logisnya adalah keniscayaan memilih skema dan sistem pemilu yang sesuai dengan kebutuhan peningkatan efektifitas sistem presidensial; Sedangkan tujuan pemilu di antaranya adalah: (1) terpilihnya para wakil rakyat dan pemimpin yang tidak hanya representatif, tetapi juga bertanggung jawab; (2) terbentuknya pemerintah yang bisa memerintah (governable); (3) terbitnya kebijakan publik yg berpihak pada kepentingan rakyat dan bangsa kita, yakni terciptanya keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat; Lalu apa solusinya?
Apa Solusinya, Mengapa Pemilu Serentak? Secara umum pemilu serentak dapat didefinisikan sebagai pemilu yang diselenggarakan untuk memilih beberapa wakil dan atau pimpinan lembaga demokrasi sekaligus pada satu waktu secara bersamaan. Bertolak dari definisi tsb, bangsa kita sebenarnya telah menyelenggarakan pemilu serentak, yakni ketika anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dipilih secara bersamaan. Sejak Pemilu 2004, anggota DPD juga dipilih secara serentak dengan anggota DPR dan DPRD. Namun demikian yang dimaksud sebagai pemilu serentak pemilu dalam artian concurrent election di sini adalah penyelenggaraan pemilu legislatif yang dilakukan secara serentak atau bersamaan dengan pemilu eksekutif dan didesain dalam kerangka penguatan sistem presidensial.
Sistem Demokrasi Presidensial (1) Presiden adalah pusat kekuasaan yang menjabat kepala pemerintahan sekaligus sebagai kepala negara; Pemilihan secara langsung Presiden (dan Wapres) oleh rakyat atau oleh dewan pemilih (seperti di AS); Masa jabatan Presiden bersifat tetap (fixed term); Presiden (eksekutif) dan Parlemen (legislatif) adalah dua institusi terpisah yang memiliki legitimasi politik berbeda (karena dihasilkan oleh pemilu yang berbeda) dan relasinya berdasarkan prinsip checks and balances; Parlemen tidak bisa menjatuhkan Presiden kecuali melalui proses pemakzulan (impeachment) yang panjang karena Presiden dinilai melanggar konstitusi (dalam konteks kita melalui pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi);
Sistem Demokrasi Presidensial (2) Sebaliknya, Presiden tidak bisa membubarkan Parlemen; Presiden tidak bertanggung jawab kepada Parlemen, melainkan bertanggung jawab kepada konstitusi dan rakyat yang memilihnya; Lembaga kepresidenan adalah eksekutif yang bersifat tunggal. Konsekuensinya, walaupun menurut konstitusi Presiden dibantu oleh Wapres, kekuasaan Presiden tidak terbagi, kecuali dikehendaki oleh Presiden; Menteri-menteri diangkat dan diberhentikan oleh serta bertanggung jawab kepada Presiden; Berlaku prinsip supremasi konstitusi, sedangkan dalam sistem parlementer berlaku prinsip supremasi parlemen;
Dilema Sistem Demokrasi Presidensial Akibat prinsip pemisahan kekuasaan eksekutif dan legislatif, muncul fenomena “legitimasi demokratis ganda” (dual democratic legitimacy) dalam relasi Presiden-Parlemen sehingga timbul persaingan legitimasi yang memicu konflik; Cenderung terjadi fenomena “pemerintahan terbelah” (the divided government) ketika lembaga kepresidenan dan parlemen dikuasai partai politik yang berbeda; Dampak berikutnya terjadi instabilitas demokrasi yang akhirnya berpotensi pada terbentuknya pemerintahan tidak efektif;
Dilema Kombinasi Sistem Presidensial dan Sistem Multipartai (1) Kemungkinan besar terpilih “Presiden minoritas”, yakni presiden dengan basis politik relatif kecil di Parlemen; Parlemen sangat fragmentatif serta tanpa partai atau kekuatan politik mayoritas; Potensi konflik akibat dual democratic legitimacy, begitu pula perbedaan basis politik antara Presiden dan Parlemen memicu munculnya konflik; Konflik antara Presiden-Parlemen bisa mengarah pada “pemerintahan terbelah” (the devided government) dan jalan buntu politik (deadlock), sehingga berujung pada instabilitas demokrasi presidensial dan pemerintahan tidak efektif;
Dilema Kombinasi Sistem Presidensial dan Sistem Multipartai (2) Pemilu 2004, 2009, dan 2014 menghasilkan “Presiden minoritas”, presiden dengan basis politik reklatif kecil di parlemen serta DPR tanpa kekuatan mayoritas; Meskipun pada periode 2004-2014 dibentuk “pemerintah mayoritas”(KIB), tetapi tidak efektif karena koalisi yang semu; Terjadi persaingan legitimasi Presiden-DPR yang memicu munculnya konflik (14 usulan interpelasi dan 9 usulan angket yang didukung parpol2 pendukung pemerintah; SBY tidak pernah hadir dalam rapat paripurna DPR); Periode 2004-2009 konflik Presiden-DPR tidak berdampak pada deadlock dan instabilitas, tapi sifat relasi cenderung transaksional ketimbang institusional;
Pemilu Serentak dan Penguatan Demokrasi Presidensial Berbagai komplikasi sistem presidensial berbasis multipartai (presiden “minoritas”, parlemen fragmentatif tanpa kekuatan mayoritas, fenomena “pemerintahan terbelah”, dll) perlu dikelola secara benar, cerdas, dan tepat; Atas dasar pengalaman sejumlah negara penganut sistem presidensial berbasis multipartai, berbagai komplikasi politik tsb bisa dikurangi melalui skema pemilu serentak; Pertanyaannya kemudian: pemilu serentak seperti apa yang dapat meminimalkan berbagai komplikasi politik yang muncul di balik skema presidensial multipartai?
Berbagai Varian Pemilu Serentak Pertama, pemilu serentak sekaligus untuk semua jenis pemilihan pejabat publik di tingkat nasional hingga lokal, diselenggarakan satu kali dalam periode waktu tertentu, misalnya lima tahun. Kedua, pemilu serentak hanya untuk seluruh jabatan legislatif (pusat dan daerah) dan kemudian disusul dengan pemilu serentak untuk jabatan eksekutif (pusat dan daerah). Ketiga, pemilu serentak yang diselenggarakan berdasarkan tingkatan pemerintahan, yakni pemilu serentak nasional dan pemilu serentak lokal dengan jeda waktu tertentu. Keempat, varian lain yang prinsipnya bertolak dari tiga varian utama tersebut.
Problem Pemilu Serentak versi MK Mahkamah Konstitusi telah memutuskan bahwa pemilu serentak akan diselenggarakan pada Pemilu 2019. Hanya saja persoalannya, pemilu serentak “versi MK” adalah pemilu lima kotak (untuk memilih Presiden/wapres, DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kab/kota) yang diselenggarakan secara serentak pada 2019. Problem pemilu serentak “versi MK”: (1) tujuan yang dicapai hanya efisiensi waktu dan dana, padahal yang tak kalah pentingnya adalah tujuan efektifitas pemerintahan hasil pemilu; (2) jika yang harus dipilih terlampau banyak, kualitas pilihan rakyat cenderung buruk; (3) pilkada serentak diselenggarakan terpisah, padahal semestinya diselenggarakan sebagai bagian pemilu serentak lokal atau daerah yang diselenggarakan dua setengah tahun sesudah pemilu serentak nasional.
Kelebihan Skema Pemilu Serentak Varian Nasional-Lokal (1) Pertama, peningkatan efektifitas pemerintahan karena pemerintahan hasil pemilu lebih stabil sebagai akibat coattail effect, yakni keterpilihan calon presiden dari parpol atau koalisi parpol tertentu akan mempengaruhi keterpilihan anggota legislatif dari parpol atau koalisi parpol yg sama. Artinya pemilu serentak berpotensi memperbesar dukungan politik DPR terhadap Presiden terpilih. Kedua, pembentukan koalisi politik yang dilakukan sebelum pemilu legislatif diharapkan dapat “memaksa” parpol mengubah orientasi koalisi dari yang bersifat jangka pendek dan cenderung oportunistik menjadi koalisi berbasis kesamaan ideologi, visi, dan platform politik.
Kelebihan Skema Pemilu Serentak Varian Nasional-Lokal (2) Ketiga, varian nasional-lokal diharapkan berdampak positif pada tiga hal: (1) ada jeda waktu bagi rakyat menilai kinerja pemerintahan hasil pemilu serentak nasional dan sebaliknya; (2) terbuka peluang besar bagi terangkatnya isu lokal ke tingkat nasional yang selama ini “tenggelam” oleh isu nasional; (3) semakin besar peluang elite politik lokal yang berhasil untuk bersaing menjadi elite politik nasional. Keempat, diharapkan terjadi penyederhanaan sistem kepartaian menuju sistem multipartai sederhana (moderat). Sebagai akibat terpilihnya parpol atau gabungan parpol yang sama dalam pemilu presiden dan pemilu DPR, fragmentasi parpol di parlemen berkurang dan pada akhirnya diharapkan berujung pada terbentuknya sistem multipartai moderat.
Kelebihan Skema Pemilu Serentak Varian Nasional-Lokal (3) Kelima, pemilu serentak nasional yang terpisah dari pemilu serentak lokal diharapkan dapat mengurangi potensi politik transaksional sebagai akibat melembaganya oportunisme politik seperti berlangsung selama ini. Tidak ada lagi peluang anggota DPRD maju dalam Pilkada karena pemilu DPRD berlangsung secara bersamaan dengan pemilu kepala daerah; Keenam, pemilu serentak nasional yang terpisah dari pemilu serentak lokal diharapkan dapat meningkatkan kualitas hasil pilihan masyarakat karena perhatian pemilih tidak harus terpecah pada pilihan yang terlampau banyak sekaligus di saat yang sangat terbatas dalam bilik suara. Dengan begitu, maka para pemilih memiliki waktu yang lebih luang untuk memutuskan pilihan secara matang sebelum mencoblos atau menandai pilihan mereka.
Problem Pileg dalam UU Pemilu (1) Mengingat tidak ada perubahan mendasar dalam sistem pemilu dan mekanisme pencalonan, fenomena Pileg 2019 akan cenderung sama dengan Pileg 2014. Artinya, politik uang masih tetap marak dan bahkan mungkin lebih massif; dan “kanibalisme politik” antarcaleg di internal parpol tetap berlangsung seperti sebelumnya; Besaran Dapil yang juga tidak berubah, yakni 3-10 kursi per Dapil untuk DPR dan 3-12 kursi untuk DPRD, berdampak pada tidak adanya kekuatan mayoritas, baik di DPR maupun DPRD, sehingga fragmentasi DPR tetap tinggi; Ambang batas parlemen 4 persen, meningkat 0,5 persen dibandingkan Pileg 2014, juga cenderung tidak memberi insentif bagi kebutuhan lahirnya kekuatan mayoritas di parlemen karena potensial tetap menghasilkan peta politik yang sangat fragmentatif di DPR;
Problem Pileg dalam UU Pemilu (2) Salah satu dampak dari Dapil yang terlampau besar adalah munculnya situasi di mana para wakil rakyat tidak dikenal oleh konstituennya, dan sebaliknya para pemilih tidak mengenal wakilnya, sehingga membuka peluang sebesar2nya bagi wakil untuk melarikan diri dari tanggung jawab; Pengecilan Dapil, apa boleh buat, memang merugikan partai kecil, namun jika kita konsisten hendak melembagakan sistem multipartai moderat dan penguatan presidensialisme, maka pengecilan Dapil adalah suatu keniscayaan politik; Implikasi lain yang tak terelakkan dari realitas UU Pemilu yang sangat konservatif tersebut adalah terus melembaganya politik transaksional dalam pembentukan kebijakan di DPR dan DPRD;
Problem Pilpres dalam UU Pemilu (1) Ambang batas pencalonan presiden berbasis hasil pileg, yang sesungguhnya bersifat anomali di dalam sistem presidensial, ironisnya masih dipertahankan dalam UU Pemilu yang baru. Padahal, sebagai konsekuensi logis pemilu serentak antara Pileg dan Pilpres, maka ambang batas pencalonan presiden semestinya tidak berlaku, bukan hanya karena tidak relevan lagi, tapi juga tidak masuk akal; Konsekuensi logis dari dipertahankannya ambang batas 20% kursi atau 25% suara partai hasil pileg adalah: (1) merosotnya derajat legitimasi politik Pilpres 2019 karena hasil Pileg 2014 sbg basis sudah digunakan; (2) potensi munculnya paslon tunggal dalam Pilpres 2019 mendatang jika sebagai besar parpol lebih mendukung pencalonan kembali Jokowi;
Problem Pilpres dalam UU Pemilu (2) Salah satu soal penting namun kurang memperoleh perhatian parpol selama ini adalah urgensi peningkatan kualitas calon presiden dan wapres melalui mekanisme pencalonan yang benar2 terbuka dan demokratis; Untuk memperoleh kandidat terbaik, studi LIPI-KPK (2016) merekomendasikan agar dilembagakan mekanisme pemilihan pendahuluan oleh parpol dan/atau gabungan parpol yang mengusung pasangan calon presiden/wapres. Pemilihan pendahuluan dilakukan secara terbuka, demokratis, dan berjenjang serta melibatkan anggota partai dan pengurus, mulai tingkat kabupaten/kota, provinsi, hingga tingkat nasional. Melalui mekanisme seperti ini diharapkan terpilih kandidat presiden/wapres yang tidak sekadar populer dan bermodal besar, tapi juga memiliki kapasitas, kompetensi, dan juga akar di partai;
Dampak bagi Pilpres 2019 Peta kekuatan politik yang bertarung pada Pilpres 2019 mendatang mungkin tidak banyak berubah dibandingkan Pilpres 2014. Hingga kini belum ada kandidat alternatif di luar Jokowi sbg incumbent dan Prabowo sbg penantang; Karena itu pertarungan akan terpusat pada tarik-menarik dan konfigurasi parpol koalisi pengusung capres yang antara lain ditentukan oleh siapa yang diusung sbg cawapres bagi Jokowi dan Prabowo; Di luar tarik-menarik parpol dalam berkoalisi, tarik-menarik juga akan terjadi dalam memobilisasi massa pendukung masing2, baik pada tingkat kelas menengah perkotaan maupun akar rumput. Dalam kaitan ini, para paslon dalam Pilpres 2019 akan saling merebut simpati pemilih Muslim dan atau ormas Islam yang memiliki kantong2 suara yang signifikan;
UU Pemilu & Konsolidasi Sistem Presidensial (1) Agenda memperkuat dan meningkatkan efektifitas sistem presidensial tentu tidak cukup dengan politik legislasi yang cenderung tambal-sulam, tidak terencana secara baik, dan tidak didesain secara serius seperti dihasilkan oleh DPR-Presiden dalam bentuk UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum; Sebagai unsur pembentuk UU bersama-sama dengan DPR, pemerintah semestinya memiliki visi politik yang jelas dan genuine, ke mana arah demokrasi dan pemerintahan yang hendak dihasilkan melalui Pemilu Serentak 2019. Jika tidak, maka pemilu pada akhirnya tidak lebih sebagai sarana pergiliran kekuasaan di antara para elite politik tanpa insentif yang jelas bagi rakyat dan masa depan bangsa kita. Visi dan komitmen yang sama diperlukan dari partai2 politik di DPR;
UU Pemilu & Konsolidasi Sistem Presidensial (2) Dalam situasi di mana UU Pemilu tidak begitu menjanjikan terwujudnya sistem presidensial yang terkonsolidasi, maka diperlukan perhatian dan pengawalan ekstra dari segenap elemen civil society agar pemilu tidak sekadar menjadi panggung sirkulasi elite belaka; Itu artinya, segenap elemen civil society bukan hanya perlu energi dan stamina lebih agar ada insentif pemilu bagi rakyat dan masa depan bangsa kita, tapi juga perlu kerjasama dan konsolidasi agar tidak menjadi “kuda tunggangan” mereka yang saling berebut kekuasaan, baik dalam Pileg maupun Pilpres yang dilakukan secara serentak pada 2019;
Apa Fokus Pengawalan Demokrasi? Agar penataan demokrasi dan pemerintahan benar2 berorientasi pada obsesi penguatan kedaulatan rakyat di satu pihak, dan penguatan serta efektifitas sistem demokrasi presidensial di lain pihak. Itu artinya, antara lain, UU yang terkait sistem perwakilan (UU MD3), UU Pemilu, dan UU Parpol tidak saling tumpang tindih satu sama lain; Agar pemilu dan pilkada bisa menghasilkan para wakil rakyat (di DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kab/kota) dan pemimpin politik (tingkat nasional dan daerah) yang tidak sekadar representatif, kapabel, dan kompeten, tapi juga bersih, berintegritas, dan akuntabel; Agar demokrasi tidak sekadar memfasilitasi kebebasan dan partisipasi, serta memproduksi kegaduhan politik, tapi juga memberi kontribusi bagi tegaknya pemerintahan yg bersih, serta terwujudnya keadilan dan kesejahteraan rakyat;
Wassalam, Terima kasih