SEJARAH POLITIK HUKUM ADAT
MASA KOMPENI (VOC) VOC mempunyai 2 sifat, yaitu : (1) saudagar/pedagang, dan (2) badan pemerintahan dengan hak mengurus susunan rumah tangganya sendiri. Pada tempat pusat pemerintahan untuk segala orang golongan bangsa apapun berlaku hukum kompeni, yaitu hukum Belanda. Nyata bahwa hukum adat anak negeri tidak diindahkan. Prinsip : di daerah yang dikuasai oleh VOC harus berlaku hukum VOC baik bagi orang VOC sendiri maupun orang Indonesia serta orang asing lainnya yang ada di daerah itu. Prinsip tersebut pada kenyataannya tidak dapat berjalan dengan baik. Resolusi 21 Desember 1708 dan resolusi 30 November 1747 (pemberlakuan hukum adat di beberapa pengadilan di daerah) (prinsip) tidak dapat dipertahankannya itu disebabkan kekurangan alat-alat pemerintah (aparatur pemerintah) VOC sebagai akibat politik VOC yang dititikberatkan pada mencari keuntungan (laba) sebanyak-banyaknya.
Pandangan VOC terhadap hukum adat : masih belum menemukan hukum adat sebagai hukum rakyat (volksrecht) -- hukum adat diidentifikasikan dengan hukum Islam atau hukum raja-raja (vorstenrecht) dan apabila ada kesempatan hukum adat itu direproduksi dengan memuat banyak anasir-anasir hukum barat. Mengira bahwa hukum adat itu terdapat dalam tulisan-tulisan berupa kitab-kitab hukum Menjalankan suatu politik hukum adat yang -- dalam praktek bersifat oportunis -- , apabila keadaan memerlukan, maka prinsip (diatas) ditinggalkan dan ditetapkan adat bagi orang Indonesia atau orang Indonesia tersebut dibiarkan hidup menurut hukum adat.
MASA PEMERINTAHAN GUBERNUR JENDERAL DAENDELS (1808-1811) Daendles mengambil jalan tengah dari diberlakukannya pasal 86 Charter 1804 (27 september 1804) yang disahkan oleh pemerintah republik pada saat itu. Kebijakan Daendles : pada pokoknya hukum adat akan diperlakukan untuk bangsa Indonesia, hanya hukum adat haruslah tidak dipakai jika : hukum ini berlawanan dengan perintah yang diberi kemudian atau perintah umum bertentangan dengan dasar-dasar utama dari keadilan dan kepatutan oleh karenanya dalam perkara hukum siksa tak tercapai kepentingan yang besar dan keamanan umum
Charter 1804 : susunan pengadilan untuk bangsa bumiputera akan tetap tinggal menurut hukum serta adat mereka. Pemerintah Hindia akan menjaga dengan alat-alat yang pantas, supaya dalam daerah yang langsung dikuasai oleh pemerintah sedapat-dapatnya tersapu segala perbuatan sewenang-wenang yang masuk dengan diam-diam, yang berlawanan dengan hukum serta adat anak negeri, lagipula diikhtiarkan supaya anak negeri mendapat keadilan dengan cepat dan baik, dengan menambah jumlah banyaknya pengadilan-pengadilan negeri atau pengadilan pembantu, kemudian ditentang segala pengaruh yang buruk dari kekuasaan politik apapun juga. Pandangan terhadap hukum adat : Daendles melihat hukum adat identik dengan hukum Islam dan Daendles mempunyai penghargaan rendah terhadap hukum adat itu, hal ini dibuktikan dengan peraturan “jika orang Eropa melakukan kejahatan bersama-sama dengan orang Jawa asli, maka Raad van Justitie berhak untuk mengadilinya menurut hukum Eropa”.
MASA PEMERINTAHAN LETNAN GUBERNUR RAFFLES (1811-1816) Pada umumnya dalam perkara-perkara antara orang-orang Indonesia dijalankan dengan hukum adat. Akan tetapi dianggap perlu untuk mengadakan syarat tentang berlakunya hukum adat, yaitu bahwa hukum adat tak boleh bertentangan dengan the universal and acknowledged principles of substantial justice. Hukum adat dianggap tidak mempunyai derajat setinggi hukum Eropa, hukum adat hanya dianggap baik untuk bangsa Indonesia, akan tetapi tidak patut jika diberlakukan terhadap orang Eropa. Hal ini dibuktikan dengan peraturan “jika salah seorang dari pihak yang berselisih, baik pihak penuntut, maupun yang dituntut, adalah orang Eropa maka perkara harus diadili oleh Court of Justice yang memberlakukan hukum Eropa”.
MASA 1816-1848 Peraturan yang berlaku pada masa ini adalah bersifat sementara, menunggu konkordansi yang akan diberlakukan di Negeri Belanda. Pada prinsipnya diterima suatu unifikasi hukum di Indonesia, yaitu satu hukum untuk semua golongan hukum, tetapi yang menjadi ukuran unifikasi itu adalah hukum yang berlaku di Negeri Belanda. Dan hukum adat telah ditempatkan di bawah ancaman akan didesak oleh hukum Belanda. Jika terjadi perselisihan antara 2 golongan yang berbeda maka yang dipakai adalah hukum dari pihak yang dituntut. (Stbl. 1825 No. 42)
MASA 1848-1928 Tahun 1848 merupakan tahun yang sangat penting dalam sejarah hukum perundangan Indonesia, oleh karena sejak tahun ini dimulai pengkodifikasian hukum (pembukuan hukum ke dalam kitab perundangan yang disusun secara sistematis). Pengkodifikasian itu dimulai dari hukum perdata yang berlaku bagi golongan penduduk bangsa eropa dengan mempertahankan asas konkordansi. Sehingga hukum perdata yang berlaku bagi golongan eropa adalah tiruan dari kodifikasi hukum perdata yang dibuat di negeri Belanda pada tahun 1838. Kodifikasi hukum di Indonesia pada tahun 1848 tidak meliputi hukum yang berlaku bagi rakyat Indonesia, tidak meliputi hukum adat. Untuk mensiasati hal itu maka di dalam pasal 11 AB yang merupakan dasar berlakunya hukum adat dinyatakan, hukum perdata yang berlaku di Hindia Belanda sejak waktu itu berdasarkan dua asas, yaitu asas konkordansi untuk golongan eropa, sehingga diperlakukannya hukum perdata barat yang sama dengan hukum perdata yang berlaku d Belanda dan asas dualisme bagi golongan pribumi dan timur asing, dimana berlaku hukum perdata barat atas dasar ‘menaatinya secara sukarela’ dan berlakunya hukum perdata adat yang berupa aturan keagamaan, kelembagaan rakyat dan kebiasaan mereka.
Peraturan perundangan yang telah berhasil dikodifikasikan (Stbl Peraturan perundangan yang telah berhasil dikodifikasikan (Stbl. 1847 Nr. 23) diantaranya : Algemeene Bepalingen van Wetgeving voor Nederlands Indie (AB) yaitu Ketentuan-ketentuan Umum tentang Perundangan di Indonesia. Burgelijk Wetboek (BW) atau Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Wetboek van Koophandel (WvK) atau Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het heleid der Justitie (RO) atau Peraturan Susunan Pengadilan dan Kebijaksanaan Justitie. Pada mulanya kodifikasi hukum pidana di Indonesia itu berbeda-beda antara yang berlaku bagi golongan eropa dan bagi golongan pribumi dan timur asing. Keadaan tersebut berlaku sejak 1866 sampai dengan 1918. Pada tahun 1915 baru dibuat kodifikasi hukum pidana yang bersifat unifikasi, yaitu suatu hukum pidana yang berlaku bagi semua golongan rakyat di Indonesia. Kodifikasi ini mulai berlaku sejak 1918 dalam bentuk Wetboek van Strafrecht (WvS) yang masih berlaku sampai sekarang (2008) yang tidak lain merupakan tiruan dari KUH Pidana Belanda tahun 1881. Diantara tahun 1870 sampai dengan 1900 muncul dari beberapa pihak yang menghendaki agar bagi golongan pribumi dilakukan kodifikasi hukum adat, dan selanjutnya diadakan unifikasi berdasarkan hukum eropa, tetapi hal ini ditentang oleh van Vollenhoven. Pasal 11 AB dan pasal 131 ayat 2b IS, yang merupakan dasar berlakunya hukum adat terdapat perbedaan, yakni untuk pasal 11 AB ditujukan kepada hakim dan untuk pasal 131 ayat 2b IS ditujukan untuk pembuat ordonansi.
MASA 1928-1945 Politik hukum adat di masa Hindia Belanda bahkan sejak tahun 1930 diadakan perubahan politik hukum adat yang baru dimana hukum adat ditingkatkan penelitiannya untuk menjajagi kemungkinan dilakukannya kodifikasi. Menjelang runtuhnya kekuasaan kolonial Belanda, Indonesia mempunyai 2 konsep tentang hukum adat, yaitu : Konsep hukum adat dari pemerintahan kolonial Belanda yang dituangkan dalam pasal 131 ayat 2b IS yang ditujukan kepada pembentuk UU, dan Konsep hukum dari Kongres Pemuda Indonesia, yang ditujukan kepada seluruh rakyat Indonesia Konsepsi para Pakar a. Konsepsi Soepomo “...sudah semestinya masyarakat dan negara Indonesia menjadi masyarakat dan negara yang modern. Hukum modern itu bukan hukum Belanda, melainkan hukum yang berisi asas-asas modern universal. Kodifikasi itu sejauh mungkin harus bersifat unifikasi, terutama di bidang hukum kekayaan. Sebaliknya unifikasi itu masih sukar diselenggarakan di lapangan hukum kekeluargaan, karena berhubungan erat dengan dan dipengaruhi oleh kepercayaan batin dari golongan-golongan rakyat yang bersangkutan. Hukum adat tetap memberi bahan-bahan bangunan dan menjadi sumber bagi penyusunan dan pembinaan hukum baru itu.” [Dies Natalis I UGM 17 Maret 1947]
Unifikasi tidak begitu diutamakan Unifikasi tidak begitu diutamakan. Untuk sementara waktu perbedaan-perbedaan dalam kebutuhan-kebutuhan sosial dan hukum harus diperhatikan. Kebutuhan-kebutuhan sosial itu meliputi yang berhubungan dengan hukum harta kekayaan orang Indonesia asli. Unifikasi baru dapat diadakan bila sudah ada persamaan keadaan dan kebutuhan. [1952] b. Konsepsi Hazairin Pentingnya hukum Eropa dalam proses modernisasi masyarakat, sebab hukum itulah yang merupakan jembatan bagi bangsa dan negara Indonesia dalam hubungannya keluar; Hukum Eropa yang berlaku tersebut harus dianggap sebagai hukum nasional. Sebab ia berlaku atas sebagian rakyat yang bukan hanya penduduk tetapi juga warga negara, termasuk juga bangsa Indonesia asli; Proses asimilasi ke arah kebudayaan dan teknik Barat tidak dapat dihindarkan lagi. Namun dalam proses tersebut porsi hukum adat haruslah lebih besar; Hukum Eropa dan hukum adat itu akan dipertautkan sehingga dibutuhkan ‘hukum lalu lintas’; Proses pertautan tersebut dilakukan secara berangsur-angsur. [1950]
Masa 1945-1950 Tata susunan hukum nasional tidak banyak memperoleh tanggapan dari kalangan ilmu hukum. Hukum adat tetap sebagai hukum golongan disamping hukum golongan yang lain. Hukum adat masih terbatas lingkungan kuasa berlakunya, baik personal maupun teritorial. Masa UUDS 1950 UUDS merupakan hasil cerminan hasil kompromi maksimal antara negara-negara bagian dari RIS dengan Republik Proklamasi, dengan mengemban paham demokrasi liberal. Pasal 25, 102, dan 104 merupakan bukti bahwa Hukum Adat didesak ke belakang oleh hukum tertulis ataupun kodifikasi. Hukum Adat dinyatakan sebagai suatu hukum golongan yang lambat laun harus hilang karena perkembangan dan karena tertuang ke dalam kodifikasi dan/atau Undang-undang. Dalam bidang keilmuan, terdapat keengganan untuk memakai istilah Hukum Adat dikarenakan menimbulkan kesan salah paham, seolah-olah bersifat zaman dulu dan bersifat hukum yang bukan Islam, sehingga muncul saran untuk menggantinya dengan istilah “hukum yang tidak tertulis dalam peraturan legislatif” (non-statutory law). (Soepomo)
Masa 1959-1965 Adanya pandangan Hukum adat sebagai satu-satunya stelsel hukum yang sesuai dan mampu mendukung pembangunan tatahukum nasional selaras dengan kepribadian bangsa Indonesia. Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960 lampiran A menjadikan hukum adat sebagai landasan tata hukum nasional. 3 butir perubahan dalam MPRS : Mengenai tempatnya Hukum adat bukanlah hanya sebagian dari hukum nasional, melainkan hukum nasional itu sendiri. Mengenai pengertiannya tidak lagi identik dengan pengertiannya sebelum PD II dengan segala cirinya. (seperti apa?) Mengenai isinya tidak lagi dihubungkan dengan kebiasaan-kebiasaan daerah yang dinamakan hukum, melainkan dengan suatu tingkat yang lebih tinggi dan abstrak. Lingkungan kuasa berlakunya sudah meliputi semua warga negara dan daerah hukum RI. Mulai 1966 Pada tahun 1965 terjadi pergeseran politik mempengaruhi cara pandang terhadap Pancasila, UUD 1945 dan pembukaannya. Usaha melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 sumber segala hukum adalah Pancasila sebagai pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita hukum serta cita-cita moral luhur yang meliputi suasana kejiwaan serta watak bangsa Indonesia.